Mohon tunggu...
Bahar Arbi
Bahar Arbi Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist

Truth is an exacting ally.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesenian Gajah-gajahan Plunturan

1 Januari 2020   04:00 Diperbarui: 1 Januari 2020   09:31 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.jalanjalankita.com | Kesenian Gajah-gajahan

Kesenian Gajah-gajahan, sesuai dengan namanya, adalah kesenian daerah dari Ponorogo yang didasarkan pada binatang gajah. Kesenian yang lekat dengan budaya keislamannya ini, berakar dari binatang gajah yang memiliki sejarah besar dalam dunia Islam. Seperti yang kita tahu, nabi Muhammad yang membawa agama Islam dilahirkan pada tahun yang dinamai dengan "Tahun Gajah". Dalam sejarahnya, kota kelahiran nabi Muhammad, Mekkah, pada saat kelahirannya diserbu oleh pasukan yang menunggangi gajah-gajah. Namun, atas kuasa Tuhan penyerbuan tersebut berhasil digagalkan dengan kalahnya pasukan-pasukan gajah. Atas dasar inilah masyarakat Ponorogo membuat kesenian Gajah-gajahan yang mengingatkan kita pada peristiwa di Tahun Gajah.

Di desa Plunturan sendiri, kesenian Gajah-gajahan rutin diadakan sebulan sekali di sana. Menurut Mbah Ghani, salah satu sesepuh budayawan desa, kesenian Gajah-gajahan selalu ikut ditampilkan bersama kesenian Reog. Di Plunturan, dua kesenian ini saling mendukung satu sama lain dalam upaya pelestariannya. Masyarakat sangat antusias terhadap dua kesenian ini. Bahkan, tidak sedikit masyarakat dari luar desa yang ingin ikut melihat dua kesenian ini ditampilkan  di desa Plunturan.

Berbeda dengan kesenian Reog, kesenian Gajah-gajahan tidak mengandung unsur mistis di dalamnya. Karenanya, kesenian Gajah-gajahan mudah diterima oleh masyarakat sebagai bentuk kesenian hiburan. Ditambah lagi, kesenian Gajah-gajahan lekat dengan nilai keislaman, sehingga kesenian yang baru ada pada abad 20 ini mudah diterima oleh masyarakat yang mayoritas Islam.

Kesenian Gajah-gajahan memiliki filosofi di mana pemimpin tidak memiliki arti tanpa adanya rakyat. Karena rakyat yang menggerakkan roda pemerintahan, sedangkan sang pemimpin adalah simbol dari besarnya binatang gajah. Patung Gajah-gajahan, yang terbuat dari gedeg dan dibungkus dengan kain cokelat ataupun hitam, diusung oleh dua orang yang masing-masing berada di depan dan di belakang. Keduanya berfungsi sebagai kaki yang membuat Gajah-gajahan dapat berjalan. Sementara itu, terdapat pengiring yang berada di samping dan di belakang Gajah-gajahan yang bertugas untuk mengarahkan gerak dan menyanyi, karena kedua pemikul yang bertugas sebagai kaki Gajah-gajahan tidak dapat melihat arah karena berada di dalam tubuh Gajah-gajahan. Begitu pula di belakang Gajah-gajahan terdapat orang tua yang bertugas sebagai penggembala sambil membawa cemeti. Kemudian Gajah-gajahan diiringi oleh tabuhan jedor dan gamelan sebagai penanda kapan Gajah-gajahan harus menggoyangkan bokongnya ke kanan maupun ke kiri. Bunyi gamelan juga menandakan kapan Gajah-gajahan harus berjalan atau berhenti.

Dalam sejarahnya, kesenian Gajah-gajahan terbentuk untuk meredam konflik politik di kabupaten Ponorogo. Kesenian ini lahir pada tahun 1965-an. Kehadirannya menjadi penyeimbang dari kesenian Reog yang pada saat itu terlalu sering digunakan sebagai kendaraan politik bagi banyak pihak yang menginginkan kekuasaan di Ponorogo. Dengan hadirnya kesenian Gajah-gajahan mampu meredam konflik yang ada pada tiap daerah di Ponorogo, termasuk di desa Plunturan yang hingga kini kesenian ini terus dilestarikan oleh orang-orang seperti Mbah Ghani.

Narasumber: Mbah Ghani

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun