Dari sini, pada tataran sistem, setidaknya kita melihat bahwa pemerintah Indonesia telah mencoba untuk mengembangkan dan melaksanakan dalam praktek sosial.
Dikaitkan dengan kasus Angeline, keberadaan sistem tersebut ternyata sudah ada dilingkungan di mana Angeline dan keluarga angkatnya berada. Sekarang, situasi penting yang harus dijawab adalah, pada saat masyarakat sekitar, termasuk sekolah di mana Angeline belajar, mengetahui kejanggalan pada Anggeline, mengapa mereka tidak segera melaporkanya pada pihak kepolisian dan P2TP2A?
Dugan saya, penyebanya ada 2 hal. Pertama kurangnya penyebaran informasi dan kedua adanya konflik pemahaman masyarakat.
Kurangnya penyebaran informasi sangat mudah untuk dilacak. Tinggal kita lihat seberapa jauh institusi tersebut mempunyai anggaran untuk melakukan itu. Meski belum sempat menganalisa, saya menduga, institusi tersebut belum melakukan secara optimal. Hal ini terlihat dari hasilnya.
Sedangkan terkait penyebab kedua, menurut saya inilah yang paling penting, yaitu adanya konflik pemahaman di masyarakat. Konflik pemahaman ini adalah di satu sisi, sistem perlindungan anak yang sudah diterapkan hanya berbasis perlindungan dari tindakan kriminal pada anak. Sehingga, program-program yang dilakukan hanya berbasis pencegahan, peanganan dan pemulihan korban tindakan kriminal.
Prespektif perlindungan dari tindakan kriminal ini yang sampai sekarang menyebar, baik di negara, masyarakat maupun keluarga. Pada saat diketahui bahwa Anggeline dibunuh, maka, semua pihak seolah serentak sepakat untuk menyalahkan tindakan kriminalnya.
Namun, di sisi lain, sebelum Angeline diketahui dibunuh, pemahaman masyarakat dan pihak sekolah terkait situasi yang dialami oleh Angeline adalah persoalan pengasuhan. Di mana kita tahu bahwa persoalan pengasuhan ini, dalam masyarakat Indonesia pada umumnya diserahkan kembali pada keluarga masing-masing. Sehingga, secara logika, para pihak yang mengetahui situasi Angeline ini meragukan apakah perlu persoalan engasuhan dilaporkan ke pihak P2TP2A atau pihak Kepolisian. Apalagi ketika berurusan dengan kepolisian, laporan terhadap persoalan pengasuhan bisa jadi bumerang bagi si pelapor, karena bisa diancam dengan pasal pencemaran nama baik.
Terakhir, sekali lagi saya ulang bahwa kasus Angeline kegagalan kita semua dalam menalar symptom dinamika sosial, khususnya dalam penerapan sistem perlindungan anak di Indonesia. Baik itu dari pihak pemerintah, masyarakat dan juga keluarga, seharusnya mulai berbenah. Mencari pola terbaik untuk melindungi generasi penerus kita.
Â
Jakarta, 14 Juni 2015
Bagus Yaugo Wicaksono