Mohon tunggu...
Bagus Wicaksono
Bagus Wicaksono Mohon Tunggu... lainnya -

Warganegara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kasus Angeline dan Kegagalan Kita Membaca Symptom

14 Juni 2015   16:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:03 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang, mari kita lihat situasi saat Angeline dilaporkan hilang dan ditemukan meninggal.

Sejak dilaporkan menghilang, 15 Mei 2015, gerakan simpati terhadap Angeline meningkat drastis. Tidak hanya dari kalangan masyarakat, namun, simpati juga mebgalir deras dari para tokoh dan pejabat. Solopost (10/06/2015) membuat urutan kejadinya sebagai berikut:

  1. Sabtu (16/5/2015): Angeline dilaporkan hilang sekitar pukul 15.00. Versi sang ibu angkat, Margareth, Angeline hilang saat bermain di depan rumah.
  2. Minggu (25/5/2015): Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mendatangi lokasi dan sempat beradu mulut dengan Margareth. Arist menyatakan lokasi tinggal Angeline dinilai tidak layak
  3. Senin (1/6/2015): SD 12 Sanur mengadakan persembahyangan guna memohon petunjuk keberadaan Angeline.
  4. Rabu (3/6/2015): Yayasan Sahabat Anak Bali, KPAI Bali dan Lembaga Perlindungan Anak Bali menggelar aksi bertema Join The Search for Angeline.
  5. Jumat (5/6/2015): Menpan RB Yuddy Chrisnandi mendatangi lokasi, tetapi ditolak masuk oleh penghuni rumah
  6. Sabtu (6/6/2015): Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mengunjungi lokasi, tetapi ditolak masuk.
  7. Rabu (10/6/2015): Aparat Polresta Denpasar menemukan jenasah Angeline terkubur di pekarangan rumah.

Setelah ditemukanya Angeline, masyarakat termasuk para pejabat menunggu langkah penegak hukum dan penegak keadilan untuk mengganjar pelaku semaksimal mungkin. Kasus Angeline seolah selesai. Angeline dibunuh. Pembunuh dihukum semaksimal mungkin. Kasus ditutup. Macam sesederhana itu.

Belajar dari kegagalan

Tulisan ini ingin menunjukan bahwa logika semacam itu telah gagal dalam memahami perlindungan anak. Dalam pendekatan perlindungan anak yang berbasis hak, ada tiga tahapan yang perlu untuk diterapkan, pencegahan, penanganan dan pemulihan. Tiga hal ini harus melekat dan menjadi kesatuan yang wajib tanpa ada yang didahulukan.

Dalam kasus Angeline, sangat kuat menunjukan bahwa upaya perlindungan anak, khususnya tahap pencegahan sangat lemah. Pihak-pihak yang seharusnya bisa mencegah terjadinya kematian Angeline terpaksa harus gigit jari. Mereka sedih dan menyesal dikemudian hari. Para pihak tersebut, yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi Angeline tidak melakukan apapun. Apa mereka salah? belum tentu! Lalu di mana lubang atas sistem perlindungan anak ini.

Mari kita coba runut dari sistem yang ada. 

Dalam tataran normatif, perlindungan anak di Indonesia mungkin sudah bisa dikatakan mengalami banyak perkembangan. Pasca dimasukan Konvensi Hak Anak menjadi instrumen hukum di Indonesia, keberadan hukum domestik yang mengatur perlindungan anak, setahap-demi setahap meningkat. Tahun 2014 lalu, kita tahu bahwa UU Perlindungan Anak (PA) telah di revisi. Salah satu poin utamanya adalah meningkatkan hukuman pidana bagi pelaku kejahatan anak. Tentu saja ini sebuah langkah yang perlu dicungi jempol. Selain UU PA, UU lain juga bermunculan; UU Sistem Peradilan Anak (sebagai revisi UU Pengadilan Anak 3/1997); UU tentang Kekerasan Dalam Keluarga; UU Kependudukan; UU Pemberantasan Tindang Perdagangan Orang dll.

Perundang-undangan ini dimplementasikan dengan berbagai program yang dibuat. Setidaknya, langkah-langkah ini ditempuh, salah satunya oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Di dalamnya, menggagas berbagai upaya untuk menuju Indonesia yang peka terhadap hak-hak anak. Ada upaya pembentukan kota layak anak. Selain itu, didorong untuk membuat Pusat Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan (P2TP2A). Fungsi utama P2TP2A ini adalah menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk saksi dan/korban tindak kekerasan.

Di sisi lain, aparat penegak hukum, dalam hal ini adalah kepolisian telah siap sedia untuk menangani kasus-kasus kriminal terhadap anak. Upaya ini ditunjukan dengan adanya komitment kepolisian dengan membentuk Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). Terakhir, unit PPA disediakan dalam satuan tingkat resort--sekarang akan diperluas ke tingkat Polsek.

Kedua hal ini merambah, hampir ke setiap pemerintah daerah di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun