Mohon tunggu...
Bagus Suminar
Bagus Suminar Mohon Tunggu... Wakil Ketua ICMI Orwil Jawa Timur, Dosen UHW Perbanas Surabaya dan Pemerhati SPMI Perguruan Tinggi

Ayah dgn 2 anak dan 1 cucu, memiliki hobi menciptakan lagu anak dan pemerhati manajemen mutu pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa SPMI Perlu Inspirasi dari Para Guru TQM

14 Desember 2024   16:36 Diperbarui: 14 Desember 2024   18:36 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebagai contoh, sebuah perguruan tinggi vokasi sukses menerapkan konsep trilogi mutu Juran dalam pengelolaan program studi berbasis industri. Pada tahap perencanaan mutu, perguruan tinggi tersebut menjalin kemitraan dengan dunia usaha dan industri (DUDI) untuk merancang standar kompetensi lulusan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Pengendalian mutu diterapkan melalui audit mutu internal yang menilai kesesuaian pelaksanaan kurikulum dengan standar yang telah ditetapkan. Dalam peningkatan mutu, perguruan tinggi tersebut meluncurkan program upskilling bagi dosen melalui pelatihan teknologi terbaru di sektor industri terkait, memastikan lulusan tidak hanya memenuhi, tetapi melampaui harapan dunia kerja yang terus berkembang.

Baca juga: Optimalisasi SPMI dengan Model Mixed Scanning

Zero Defects dan Konsistensi Pelaksanaan

Prinsip zero defects yang dipopulerkan oleh Philip B. Crosby memiliki relevansi yang kuat dalam konteks SPMI. Crosby menegaskan bahwa mutu harus dirancang sejak awal, bukan diperbaiki setelah masalah muncul. Pesan ini menggarisbawahi pentingnya langkah awal yang kokoh dalam Tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP), yang secara signifikan dapat mengurangi risiko kegagalan dan memastikan bahwa sistem berjalan dengan baik sejak implementasi pertama.

Tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) memerlukan konsistensi dan keterlibatan penuh dari seluruh elemen organisasi. Dalam hal ini, teknologi berbasis knowledge management (KM) memainkan peran kunci sebagai alat pendukung. Dengan mendokumentasikan praktik terbaik dan menyebarkan informasi tersebut ke seluruh unit di perguruan tinggi, KM membantu menciptakan keterpaduan kerja yang memungkinkan setiap pihak menjalankan tugas sesuai pedoman mutu. Teknologi ini menjadi jembatan penting untuk memastikan semua unit organisasi berjalan dalam keselarasan yang terukur.

Sebagai contoh, sebuah perguruan tinggi di Indonesia mengimplementasikan prinsip zero defects dengan memanfaatkan sistem informasi manajemen berbasis KM. Sebelum melaksanakan kurikulum baru sesuai Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, perguruan tinggi tersebut terlebih dahulu mengumpulkan dan mendokumentasikan praktik terbaik dari fakultas-fakultas lain yang telah sukses menerapkan program serupa. Sistem ini memungkinkan dosen dan staf untuk mengakses panduan, modul pembelajaran, dan dokumen evaluasi secara daring dengan mudah. Langkah awal yang terencana dan terdokumentasi dengan baik ini tidak hanya meminimalkan kesalahan dalam pelaksanaan kurikulum, tetapi juga memastikan proses pembelajaran berlangsung efektif dan efisien, sekaligus memenuhi standar SPMI yang telah ditetapkan.

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

Alat Praktis dari Ishikawa untuk Evaluasi

Kaoru Ishikawa, melalui konsep fishbone diagram, memperkenalkan alat yang praktis untuk mengidentifikasi akar masalah dalam evaluasi mutu. Alat ini memberikan kerangka sistematis bagi organisasi untuk memahami berbagai faktor yang memengaruhi capaian mutu, sehingga solusi yang dirumuskan lebih terarah dan efektif.

Dalam Tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP), fishbone diagram memungkinkan analisis berbasis bukti yang mendalam. Perguruan tinggi yang mengadopsi metode ini dapat lebih mudah mengidentifikasi akar masalah yang menghambat pencapaian standar mutu. Dengan demikian, perguruan tinggi dapat mengatasi permasalahan secara efektif sekaligus mendorong perbaikan berkelanjutan melalui tindakan korektif dan preventif yang terencana.

Sebagai contoh, sebuah universitas menghadapi kendala dalam memenuhi target publikasi ilmiah dosen. Melalui analisis dengan fishbone diagram, tim evaluasi mutu mengidentifikasi beberapa faktor penyebab, seperti keterbatasan akses ke jurnal berbayar, kurangnya lokakarya penulisan akademik, proses administrasi penelitian yang lamban, serta tingginya beban mengajar dosen. Berdasarkan temuan ini, universitas merumuskan langkah perbaikan, termasuk alokasi anggaran khusus untuk akses jurnal internasional, penyelenggaraan pelatihan intensif penulisan artikel ilmiah, dan memperbaiki beban kerja dosen. Pendekatan ini memastikan bahwa universitas tidak hanya mencapai standar publikasi yang ditetapkan, namun juga menciptakan lingkungan kerja yang lebih kondusif bagi dosen dan tenaga kependidikan.

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!

Taguchi dan Dampak Sosial Mutu

Genichi Taguchi mempopulerkan konsep quality loss function, yang menekankan bahwa kualitas tidak hanya diukur dari produk atau layanan semata, tetapi juga dari dampaknya terhadap masyarakat. Dalam konteks perguruan tinggi, konsep ini menjadi pengingat akan pentingnya mempertimbangkan kebutuhan, harapan, dan tuntutan mahasiswa, masyarakat, serta pemangku kepentingan lainnya sebagai bagian integral dari proses peningkatan mutu. Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap langkah peningkatan mutu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun