Mohon tunggu...
Bagus Aditya
Bagus Aditya Mohon Tunggu... Smk

Biasa aja sih gak ada yang aneh dan unik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

PESUGIHAN: analisis teoritis dalam konteks transmigrasi jiwa dan konteks multiverse

24 September 2025   19:54 Diperbarui: 24 September 2025   19:01 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Abstrak

Pesugihan dalam budaya Nusantara selama ini dipahami sebagai praktik okultisme dengan keterlibatan makhluk gaib. Artikel ini menawarkan reinterpretasi sains-metafisika, dengan memandang pesugihan sebagai bentuk transmigrasi jiwa antar dimensi paralel. Pendekatan ini menggunakan kerangka teori multiverse (Everett, 1957; Tegmark, 2003) serta konsep kesadaran non-lokal (Penrose & Hameroff, 2014), untuk menjelaskan fenomena ritual, perpindahan jiwa, serta implikasi kosmik terhadap struktur realitas.

---

1. Pendahuluan

Pesugihan sering kali dikaitkan dengan kontrak mistik dan tumbal. Namun, bila dimaknai melalui teori multiverse, fenomena ini dapat dipandang sebagai pergeseran kesadaran dari satu realitas menuju realitas lain.

Dalam interpretasi banyak-dunia (many-worlds interpretation) yang diperkenalkan oleh Hugh Everett (1957), setiap keputusan manusia melahirkan cabang realitas baru. Dengan demikian, versi diri seseorang dapat eksis dalam kondisi sosial-ekonomi yang berbeda di tiap dimensi. Pesugihan, dalam kerangka ini, bukanlah kontrak gaib, melainkan akses paksa ke cabang realitas alternatif.

---

2. Landasan Teoretis

2.1 Multiverse dan Realitas Paralel

Everett (1957) mengusulkan bahwa fungsi gelombang kuantum tidak runtuh, melainkan bercabang, menghasilkan realitas paralel.

Tegmark (2003) mengklasifikasikan multiverse ke dalam empat level; fenomena pesugihan paling relevan dengan Multiverse Level I–III, di mana distribusi kondisi dan cabang kuantum memungkinkan variasi nasib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun