(Dikutip dari blog pribadi saya: bagiania.blogspot.com) Senin. Saatnya kembali ke rutinitas, dan ini adalah pertanda bahwa aku harus kembali ke jogja, dimana aku bekerja, belajar, dan menmukan teman-teman yang luar biasa. Seperti waktu-waktu sebelum ini, aku selalu menikmati perjalanan Wonosobo-Jogja, hal ini lebih dikarenakan perjalanan melewati banyak destinasi wisata yang mungkin sebenarnya kurang laku, padahal, keindahannya luar biasa.
Memilih jalur sigedang dan meninggalkan silentho, bukan semata-mata karena waktu tempuh, tetapi "view" yang didapat. Sigedang merupakan jalur yang sangat tidak mudah dilalui untuk pe-motor yang tidak terbiasa, bisa dibilang daerah itu adalah perbukitan yang dipaksakan dibuat jalanan. Beberapa menit masuk jalur tersebut, aku selalu disambut hamparan kebun teh yang luas, hijau, dan sejuk. Menikmatinya, itu yang selalu aku lakukan, mengendarai motor lebih pelan. Tapi, yah, selalu, aku tidak bisa berlama-lama, karena aku sudah ditunggu jogjakarta tercinta.
Dari Jumprit, seperti biasanya, perjalanan berlanjut, baru 1 menit motor melaju dengan kecepatan 80 km/jam, tiba-tiba ada seorang ibu mengenakan kaos dan celana kumal warna biru,topi erah (kalau tidak salah) menghentikan perjalanan saya. Ibu tersebut minta menumpang karena sudah berjalan selama 4 hari dan tidak punya uang. Sudah terlanjur basah, ya saya perbolehkan, tetapi karena ibu tersebut tidak memakai helm, saya hanya sanggup mengantarnya sampai ujung jalan tembusan parakan ini. Ibu tersebut mengiyakan, karena tujuannya sebenarnya cuma Magelang. Aku mulai deg-deg an karena dia orang asing, membonceng di belakangku, ayat kursi aku lafalkan demi keselamatanku, bukan suudzon, tapi antisipasi saja. Tak berselang lama, ibu tersebut mulai bercerita ngalor ngidul tidak karuan, dia mengatakan kalau punya puluhan mobil dan sepeda motor, ingin beli rumah di daerah Ngadirejo (Jumprit), dan mau membawa 3000 orang ke Jumprit dengan transportasi gratis darinya, tapi sebentar kemudian dia bercerita tentang dia bertemu hanoman di Jumprit, dan beberapa waktu lagi dia menceritakan bagaimana perjalanannya 4 hari, tidak punya uang, cuma ada Rp 15.000,- kemudian diberi seorang Kyai Rp 10.000, dan sekarang tinggal Rp 500,-. Mulai muncul rasa suudzonku, apakah ibunya ini mau mengemis, tetapi dengan cara halus? atau ada keinginan lain, entahlah. Sampailah di jalan tembus Parakan, dengan tegas aku meminta maaf kepada si Ibu, harus menurunkan Ibu di tempat tersebut, karena selain alasan helm, aku bertambah tidak nyaman dengan cerita-cerita si ibu yang entah benar atau tidak. Sekalian, aku menyelipkan uang Rp 20.000,- untuk transport si Ibu sampai di Magelang. Entah benar atau tidak perkataan si Ibu, tapi aku mencoba mengikhlaskan uang tersebut, daripada aku harus membonceng si Ibu sampai Magelang, seperti permintaannya secara halus sejak dia tahu tujuanku adalah Jogja. Setelah si Ibu turun, lega rasanya, semoga ibu itu memanfaatkan uangku dengan benar, dan sebagai pengalamanku saja, tidak akan berhenti karena orang asing sembarangan. Perjalananku ke Jogja berlanjut, tetapi jalurnya sudah tidak terlalu menarik untuk diceritakan, karena melewati daerah kota Parakan-Temanggung-Secang-Magelang-Muntilan-Jogja yang kebanyakan orang sudah mengetahuinya. 3 jam perjalanan kemudian sampailah aku di Jogja dengan membawa cerita yang tak terlupakan. Semoga tulisan ini bermanfaat sebagai pengalaman dan referensi bagi kalian. ^^ PICTURE from: sibukforever.blogspot.com (foto pertama-kebun teh) koleksi pribadi nia agustin (foto kedua-view sindoro) wisata.kompasiana.com (foto ketiga-hutan pinus) temanggungkab.go.id (foto keempat-jumprit)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI