Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Biotechnologist and Food Technologist

Konsultan Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Penulis Artikel. Berbagi ilmu dengan cara santai. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/ Email: cristanto.bagas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ada Kehidupan di Balik Makanan Kita

7 Oktober 2025   12:12 Diperbarui: 12 Oktober 2025   22:50 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani, nelayan, dan pedagang yang berperan dalam piring makan kita | Sumber gambar: dibuat oleh AI

Setiap kali kita duduk di meja makan, menatap nasi hangat dan lauk sederhana, apakah kita benar-benar berhenti sejenak untuk bertanya, "siapa yang membuat semua ini ada? Siapa yang menanam padi itu, siapa yang menarik jala di laut sehingga saya bisa makan ikan kembung goreng ini? Siapa yang memberi makan ayam agar saya bisa makan ayam goreng yang nikmat ini? Dan siapa yang berkontribusi untuk menjadikan sambal terasi ini ada di meja makan?"

Kita hidup dalam peradaban yang begitu cepat sampai lupa bahwa makanan bukan sekadar produk, tetapi hasil dari tetesan keringat demi keberlangsungan kehidupan seseorang. Setiap butir beras, setiap tetes susu, dan setiap daun bayam di piring kita memiliki jejak tangan, keringat, dan harapan manusia lain yang mungkin tak pernah kita temui.

Inilah kisah tentang mereka: para petani, peternak, dan nelayan yang diam-diam menjaga kehidupan bangsa.

Pagi yang Dimulai Sebelum Matahari

Ketika sebagian dari kita baru terbangun dan menyalakan ponsel, para petani sudah memanggul cangkul di pundak. Saat kota masih gelap, mereka sudah berada di sawah, menyiapkan tanah, menanam bibit, dan berharap hujan turun tepat waktu. Belum lagi mereka akan merasa khawatir jika cuaca buruk dan gagal panen, bagaimana mereka bisa melanjutkan kehidupannya sedangkan hasil panennya tidak ada dan tidak ada hal yang dapat mereka jual?

Mereka bekerja dalam diam, tanpa ruangan berpendingin udara, tanpa jadwal fleksibel, dan tanpa jaminan harga yang pasti untuk setiap hasil bumi yang mereka jaga dengan sepenuh hati. Tanpa kita sadari, justru dari merekalah datang energi yang menggerakkan negeri ini, yaitu melalui suplai pangan.

Data dari Badan Pangan Nasional (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 33 juta orang Indonesia bekerja di sektor pertanian. Ironisnya, sebagian besar dari mereka yang menanam makanan justru hidup di bawah garis pendapatan layak. Banyak petani yang menyiapkan bahan pangan untuk negeri ini, namun mereka sendiri masih kesulitan memenuhi kebutuhan makannya. 

Jadi, apakah kita masih ingin menghamburkan nasi yang kita peroleh dari restoran atau tempat makan? Bukankah, kita bisa meminta untuk meminta porsi setengah agar nasinya tidak dihamburkan ke tong sampah?

Laut yang Tak Pernah Tidur

Di wilayah timur, saat langit masih gelap, para nelayan menyalakan perahu mereka. Mereka tidak sekadar mencari ikan, tetapi menantang laut, cuaca, dan ketidakpastian. Setiap pagi, mereka menghadapi risiko besar demi membawa protein segar ke pasar agar kita dapat menikmati ikan goreng di rumah.

Nelayan adalah penjaga laut terakhir kita. Mereka tahu kapan arus berubah dan kapan ikan berpindah. Pengetahuan mereka tidak tertulis di buku, melainkan diwariskan dari pengalaman dan intuisi. Tanpa mereka, rantai gizi dari laut akan terputus.

Namun, laporan FAO (2023) menyebutkan bahwa nelayan kecil di Asia Tenggara kini menghadapi ancaman serius akibat polusi laut, overfishing, dan kenaikan harga bahan bakar. Ketika perahu mereka berhenti berlayar, meja makan kita kehilangan sumber protein paling alami yang pernah ada.

Bayangkan, jika laut terkena polusi, ikan tidak ada, mereka pindah haluan untuk mencari sumber mata pencaharian yang lain dan akhirnya tidak ada hasil laut sama sekali, kita mau makan dari sumber apa? Kemudian kondisi laut itu mengikuti cuaca dan pertaruhannya adalah nyawa secara langsung. 

Yakin, kita ingin menghamburkan ikan utuh hanya karena kita sudah "terlalu kenyang karena kebanyakan mengambil lauk?"

Dari Kandang dan Ladang

Di pinggir desa, para peternak ayam dan sapi menjaga hewan-hewan mereka dengan kesabaran yang luar biasa. Setiap pagi mereka membersihkan kandang, memberi makan, dan memastikan hewan-hewan tetap sehat. Tidak banyak yang tahu bahwa satu peternak kecil bisa mengurus lebih dari dua ratus ekor ayam hanya dengan bantuan keluarga.

Peternakan kecil seperti ini menopang hampir 70 persen pasokan protein hewani domestik (Kementan, 2023). Akan tetapi, mereka sering hidup di antara harga pakan yang terus naik dan harga jual yang tidak menentu. Tanpa mereka, kita tidak akan memiliki telur rebus di meja sarapan atau segelas susu hangat untuk anak-anak.

Yakin kita menghamburkan daging atau tidak menghabiskan steak karena kita karena kekenyangan? Memangnya kita mau repot membersihkan kotoran sapi, kambing, atau domba setiap hari? Memangnya kita mau membersihkan hewan ternak itu supaya kita bisa mengonsumsi daging dengan nyaman dan enak?

Pasar: Ruang Hidup yang Menghubungkan Semuanya

Semua hasil kerja itu akhirnya bertemu di satu tempat, yaitu pasar tradisional. Pasar bukan hanya ruang ekonomi, tetapi juga ruang sosial di mana gizi berpindah tangan dari produsen ke masyarakat. Di situlah kita melihat rantai kehidupan berjalan dalam bentuk paling jujur: tawar-menawar, tawa, dan aroma bahan makanan segar.

Di pasar, seorang ibu bisa memberi makan keluarganya dengan uang dua puluh ribu rupiah. Ia bisa membeli sayur, tahu, ikan kecil, dan nasi untuk semua anggota keluarga. Setiap transaksi kecil itu, tanpa kita sadari, menjaga sistem pangan nasional agar tetap hidup dan berdenyut.

Di dalamnya, kita bisa mendapatkan banyak informasi yang berharga. Dari mana sumber sayurannya, peternakannya, sumber nelayannya, dan apa pun itu.

Di Balik Piring, Ada Dunia yang Bekerja

Ketika makanan sampai ke piring kita, rantai panjang itu sudah menyelesaikan perjalanannya. Dari tangan petani, nelayan, peternak, pedagang, hingga juru masak di rumah, semuanya berperan menjaga kehidupan tetap berjalan.

Namun dunia modern sering memutus hubungan antara kita dan mereka. Kita lebih mengenal merek produk dibanding asal bahan makanan. Kita tahu harga daging naik, tetapi tidak tahu betapa sulitnya peternak bertahan saat pakan melonjak. Kita tahu ikan enak, tetapi tidak tahu nelayan harus berlayar empat jam hanya untuk membawa dua keranjang hasil tangkapan.

Setiap sendok nasi sebenarnya adalah hasil gotong royong dari banyak tangan yang mungkin tidak pernah makan di meja kita, tetapi selalu memastikan kita tidak kelaparan.

Mengembalikan Nilai Hidup di Meja Makan

Mungkin sudah saatnya kita makan dengan kesadaran yang lebih dalam. Makan bukan hanya soal menghitung kalori atau menilai harga, tetapi tentang menghargai kehidupan yang melahirkan makanan itu. Ketika kita memandang piring, kita sebenarnya sedang melihat wajah-wajah yang tak terlihat: petani, nelayan, peternak, dan para ibu pasar yang bekerja setiap hari agar hidup terus berjalan.

Gizi sejati tidak hanya ada pada kandungan protein dan vitamin, tetapi juga pada rasa terima kasih atas proses panjang yang terjadi sebelum makanan itu tiba di depan kita.

Pada akhirnya, setiap suapan adalah bentuk cinta dari bumi, dari tangan-tangan yang bekerja tanpa nama, dan dari kehidupan yang terus memberi meski jarang disyukuri.

Daftar Pustaka

  • Badan Pangan Nasional. (2024). Profil Tenaga Kerja Pangan dan Ketahanan Nasional.

  • Kementerian Pertanian RI. (2023). Peta Peternakan dan Produksi Protein Hewani Nasional.

  • FAO Indonesia. (2023). Small-Scale Fisheries and Food Security in Southeast Asia.

  • Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2024). Data Produksi dan Tantangan Perikanan Tangkap Rakyat.

  • Hidayat, A. (2022). Antropologi Pangan dan Identitas Sosial di Pedesaan Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun