Setiap budaya di dunia punya kisah tentang fermentasi. Kita mengenalnya lewat tempe di Indonesia, kimchi di Korea, keju di Eropa, dan yogurt di Timur Tengah. Fermentasi adalah bagian dari kehidupan manusia sejak ribuan tahun lalu, tentang cara alami untuk  melestarikan makanan, memperkaya rasa, dan menjaga gizi. Namun hari ini, fermentasi tidak lagi hanya terjadi di dapur atau dalam kendi tanah liat. Di laboratorium modern, fermentasi telah berubah bentuk menjadi proses canggih yang dikenal sebagai fermentasi presisi.
Di sinilah mikroorganisme tidak lagi bekerja secara alami dan acak, tetapi diprogram dengan presisi ilmiah untuk menghasilkan bahan-bahan tertentu. Dari protein susu tanpa sapi hingga enzim yang mempercepat pembuatan roti, fermentasi presisi menjadi tulang punggung baru bioteknologi pangan abad ke-21.
Asal dan Makna Istilah "Fermentasi Presisi"
Istilah precision fermentation pertama kali dikenal luas dalam laporan industri pangan berkelanjutan pada akhir 2010-an, dan mulai populer sejak The Good Food Institute (GFI) menerbitkan laporan berjudul "Fermentation: The Next Pillar of Alternative Proteins" pada tahun 2020. Laporan ini menandai fermentasi presisi sebagai pilar ketiga dalam revolusi protein, setelah protein nabati dan daging hasil kultur sel.
Secara ilmiah, fermentasi presisi mengacu pada proses bioteknologi yang memanfaatkan mikroorganisme (seperti yeast (kamir), jamur, atau bakteri) yang telah dimodifikasi secara genetik untuk memproduksi molekul tertentu secara terarah. Dalam bahasa sederhana, kita "mengajari" mikroba untuk membuat zat yang kita butuhkan, baik itu protein, lemak, enzim, atau senyawa bioaktif lainnya.
Berbeda dengan fermentasi tradisional yang hasilnya kompleks dan tidak selalu konsisten, fermentasi presisi menghasilkan satu jenis molekul yang sangat spesifik, dengan kemurnian tinggi dan kontrol proses yang ketat.
Dari Fermentasi Dapur ke Fermentasi Digital
Fermentasi tradisional adalah seni yang diwariskan turun-temurun. Kita memanfaatkan mikroba alami yang hidup di lingkungan untuk mengubah bahan mentah menjadi makanan baru. Prosesnya bisa berbeda tergantung waktu, suhu, dan jenis mikroba yang tumbuh. Karena itu, hasilnya sering tidak persis sama, tapi justru memberi kekayaan cita rasa dan keunikan budaya.
Namun, fermentasi presisi membawa kita ke era baru. Kita tidak lagi mengandalkan mikroba yang tumbuh secara kebetulan. Kita memilih dan merekayasa mikroba yang paling efisien, lalu memberi mereka cetak biru genetik untuk memproduksi molekul tertentu. Dengan bantuan teknologi DNA rekombinan, CRISPR-Cas9, dan bioreaktor otomatis, fermentasi kini menjadi proses ilmiah yang terukur dan bisa dioptimalkan hingga ke level molekul.
Bagaimana Fermentasi Presisi Bekerja
Proses ini dimulai dengan mengidentifikasi gen yang mengkode protein atau molekul yang kita inginkan. Misalnya, jika kita ingin membuat protein whey yang biasanya ditemukan dalam susu sapi, kita mengambil gen penghasil whey dari sapi dan menyisipkannya ke dalam DNA mikroorganisme seperti Trichoderma reesei atau Pichia pastoris.
Setelah mikroorganisme menerima gen tersebut, ia akan mulai memproduksi protein whey di dalam tubuhnya saat difermentasi dalam bioreaktor. Dari situ, protein dipisahkan, dimurnikan, lalu digunakan untuk membuat produk akhir---misalnya susu tanpa sapi, es krim, atau keju vegan. Prosesnya mirip seperti membuat bir, tapi alih-alih etanol, yang dihasilkan adalah protein murni identik dengan protein hewani.
Fermentasi presisi disebut "presisi" karena setiap langkahnya dikendalikan dengan parameter ilmiah yang jelas: suhu, pH, kadar oksigen, hingga waktu inkubasi. Tidak ada yang kebetulan, tidak ada yang dibiarkan terjadi secara alami.
Aplikasi dalam Dunia Pangan
Bidang pangan adalah ladang utama penerapan fermentasi presisi. Perusahaan seperti Perfect Day (AS) dan Formo (Jerman) memanfaatkan teknologi ini untuk memproduksi protein susu tanpa hewan. The Every Company membuat putih telur dari fermentasi mikroba, sementara Impossible Foods menggunakan fermentasi presisi untuk memproduksi heme, molekul yang memberi rasa "daging" pada burger nabatinya.
Selain itu, teknologi ini digunakan untuk menghasilkan:
Enzim industri untuk keju, roti, dan minuman fermentasi;
Vitamin B12 dan asam amino esensial tanpa sumber hewani;
Zat bioaktif seperti kolagen vegan dan peptida fungsional;
Probiotik khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan tertentu.
Semua produk tersebut dibuat tanpa peternakan, tanpa lahan luas, dan tanpa polusi yang besar. Prosesnya efisien dan ramah lingkungan, sehingga menjadi pilihan utama dalam upaya mencapai produksi pangan berkelanjutan.
Aplikasi di Dunia Bioteknologi yang Lebih Luas
Fermentasi presisi juga memainkan peran penting di luar pangan. Dalam industri farmasi, teknologi ini digunakan untuk menghasilkan insulin sintetis, antibiotik, dan antibodi terapeutik dengan kualitas tinggi. Di bidang kosmetik, protein kolagen hasil fermentasi digunakan dalam produk perawatan kulit tanpa perlu mengambil bahan dari hewan.
Bahkan di industri energi, fermentasi presisi mulai diterapkan untuk membuat biofuel generasi baru dan bioplastik yang sepenuhnya dapat terurai. Dengan kemampuan memproduksi senyawa kompleks dalam kondisi terkendali, fermentasi presisi menjembatani bioteknologi dengan hampir semua aspek industri moderen.
Dampak dan Tantangan
Meski menjanjikan, teknologi ini juga membawa tantangan baru. Dari sisi produksi, bioreaktor berskala besar masih mahal dan sulit diakses. Dari sisi regulasi, produk hasil fermentasi presisi harus melalui penilaian ketat untuk membuktikan keamanan konsumsinya, meskipun secara kimiawi identik dengan bahan alami.
Ada pula tantangan sosial: sebagian masyarakat masih memandang produk hasil rekayasa genetika dengan kecurigaan. Kita perlu memastikan bahwa inovasi ini disampaikan dengan transparansi dan edukasi yang baik agar diterima secara luas.
Namun secara keseluruhan, potensi positifnya sangat besar. Menurut laporan Boston Consulting Group (2023), fermentasi presisi dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 90 persen dibandingkan industri peternakan konvensional. Ia juga memungkinkan produksi pangan di wilayah yang sebelumnya tidak produktif, bahkan di luar bumi, dan NASA kini meneliti penerapannya untuk misi jangka panjang ke Mars.
Peluang untuk Indonesia
Indonesia sebenarnya memiliki modal besar untuk ikut dalam gelombang teknologi ini. Kita kaya akan sumber daya mikroorganisme tropis dan punya tradisi fermentasi yang panjang. Kolaborasi antara universitas, startup pangan, dan industri bioteknologi dapat membuka jalan bagi pengembangan produk fermentasi presisi lokal, misalnya pengganti susu atau bahan pangan fungsional dengan mikroba asli Indonesia.
Selain menjadi konsumen teknologi, kita punya potensi besar untuk menjadi produsen inovasi berbasis biodiversitas mikroba lokal. Namun hal itu hanya bisa tercapai jika kita berani berinvestasi dalam riset bioteknologi, membangun infrastruktur laboratorium, dan memperkuat jejaring ilmiah antar lembaga riset.
Kesimpulan
Fermentasi presisi bukan sekadar inovasi teknis; ia adalah cara baru kita memandang pangan dan kehidupan. Ia mengubah mikroba menjadi mitra produksi, menghapus batas antara alam dan teknologi. Lewat proses sunyi di dalam bioreaktor, kita sedang menulis ulang sejarah bagaimana manusia memenuhi kebutuhannya. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah fermentasi presisi akan menjadi bagian dari masa depan kita, melainkan seberapa siap kita mengadopsinya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Daftar Pustaka
The Good Food Institute. (2020). Fermentation: The Next Pillar of Alternative Proteins.
BCG & Blue Horizon. (2023). Food for Thought: The Protein Transformation.
Perfect Day. (2023). Animal-Free Dairy Technology Overview.
Formo. (2023). Fermentation for Sustainable Dairy Alternatives.
Nature Biotechnology. (2021). Precision Fermentation and the Future of Food.
GFI Europe. (2023). The Role of Microbial Fermentation in Food Innovation.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI