Kisah Harimau Bali (Panthera tigris balica) adalah salah satu tragedi paling pahit dalam sejarah keanekaragaman hayati Indonesia.
Hewan megah yang dulu pernah menjelajahi hutan-hutan di Pulau Dewata ini resmi dinyatakan punah pada abad ke-20. Kehilangannya adalah luka ekologis sekaligus peringatan agar kita tidak mengulang kesalahan yang sama terhadap satwa lain yang masih bertahan.
Harimau Bali merupakan salah satu dari sembilan subspesies harimau di dunia. Ukurannya paling kecil dibandingkan kerabatnya, seperti Harimau Bengal (Panthera tigris tigris) atau Harimau Siberia (Panthera tigris altaica). Subspesies ini hanya hidup di Pulau Bali dan tidak ditemukan di tempat lain (Seidensticker, 1987).
Populasi Harimau Bali mulai merosot drastis pada awal abad ke-20 akibat perburuan intensif. Pertumbuhan penduduk, pembukaan lahan untuk perkebunan kolonial, serta hilangnya habitat alami memperparah keadaan. Harimau terakhir yang terdokumentasi ditembak pada tahun 1937 di daerah Sumbar Kima, Bali Barat (Seidensticker, 1987; WWF, 2024). Setelah itu, tidak ada lagi bukti keberadaannya. Pada tahun 2008, International Union for Conservation of Nature (IUCN) secara resmi menyatakan Harimau Bali punah (Goodrich et al., 2015).
Karakteristik Harimau Bali
Meskipun sudah tiada, catatan ilmiah dan spesimen museum memberi kita gambaran tentang keunikan Harimau Bali.
- Pertama, ukuran tubuhnya kecil. Jantan dewasa diperkirakan hanya memiliki berat 100–140 kg, sementara betina lebih kecil lagi, sekitar 65–80 kg (Kitchener & Yamaguchi, 2010). Jika dibandingkan, Harimau Sumatra memiliki berat 100–140 kg untuk betina dan bisa mencapai 140–170 kg untuk jantan.
- Kedua, pola lorengnya khas. Loreng Harimau Bali lebih tipis, jarang, dan lebih gelap dibandingkan harimau Asia lainnya. Hal ini membuatnya tampak lebih “ringkas” dalam penampilan.
- Ketiga, warna bulu bagian bawahnya relatif lebih pucat, dengan rambut perut yang pendek. Tidak ada “surai” panjang pada jantan sebagaimana terlihat pada Harimau Sumatra.
- Keempat, karena endemik, Harimau Bali tidak pernah ditemukan di luar Pulau Bali. Habitat aslinya adalah hutan hujan tropis, hutan bakau, hingga padang rumput kering di wilayah barat pulau.
Dengan ciri khas tersebut, Harimau Bali adalah representasi unik adaptasi harimau di pulau kecil. Kehilangannya membuat dunia kehilangan potongan penting dari mosaik evolusi kucing besar.
Fakta Kepunahan Harimau Bali
Kisah punahnya Harimau Bali adalah kombinasi antara eksploitasi manusia dan kelalaian ekologi.
Harimau Bali terakhir ditembak di Sumbar Kima, Bali Barat pada 1937. Beberapa laporan menyebut masih ada individu yang bertahan setelah itu, namun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung. Selama periode kolonial Belanda, perburuan harimau menjadi “olahraga” kaum elite. Kulit dan tengkoraknya disimpan sebagai "trofi" (Boomgaard, 2001).
Sejak abad ke-20 awal, wilayah hutan Bali mulai beralih fungsi menjadi perkebunan kopi, cengkeh, dan tanaman komoditas lain. Hilangnya hutan mempersempit ruang gerak Harimau Bali, memperbesar konflik dengan manusia.
Tragisnya, tidak ada upaya konservasi modern yang sempat dilakukan. Berbeda dengan Harimau Sumatra yang masih mendapat perhatian hingga kini, Harimau Bali punah sebelum kesadaran konservasi muncul.
Dampak Ekologis dan Sosial
Kehilangan Harimau Bali bukan sekadar hilangnya seekor hewan. Sebagai predator puncak, harimau berperan menjaga keseimbangan ekosistem. Tanpa mereka, populasi mangsa seperti rusa dan babi hutan bisa meledak, mengganggu regenerasi vegetasi (Karanth & Nichols, 2017).
Secara sosial dan budaya, hilangnya Harimau Bali juga berarti hilangnya simbol penting. Dalam seni tradisional Bali, motif harimau sering muncul pada ukiran, patung, dan kain. Kehilangannya membuat generasi sekarang hanya mengenal harimau sebagai mitos, bukan realitas hidup.
Pelajaran untuk Masa Kini
Kisah Harimau Bali adalah peringatan bahwa kepunahan bukan cerita fiksi. Indonesia kehilangan dua subspesies harimau: Harimau Bali dan Harimau Jawa. Kini hanya tersisa Harimau Sumatra, dengan populasi liar diperkirakan 400–600 individu (WWF, 2024). Jika pola eksploitasi dan perusakan habitat terus berlanjut, bukan tidak mungkin Harimau Sumatra mengikuti jejak saudaranya.
Pelajaran yang bisa kita petik jelas: menunggu hingga populasi kritis sama dengan menunggu kepunahan. Harimau Bali hilang karena terlambat bertindak. Harimau Sumatra masih punya waktu, jika kita peduli sekarang.
Melestarikan predator puncak seperti harimau bukan hanya menjaga satwa itu sendiri, tapi juga investasi jangka panjang.
- Pertama, menjaga keseimbangan ekosistem. Harimau mengendalikan populasi herbivora sehingga hutan tetap seimbang. Hutan yang sehat berarti udara bersih, air jernih, dan tanah subur.
- Kedua, identitas nasional. Harimau bukan sekadar satwa, tetapi simbol kekuatan yang melekat pada budaya Nusantara.
- Ketiga, nilai ekonomi dari ekowisata. Keberadaan satwa liar ikonik seperti harimau bisa mendukung pariwisata alam berkelanjutan. Bali kini terkenal dengan pantai dan budaya, tetapi jika Harimau Bali masih ada, ia bisa menjadi ikon wisata alam yang mendunia.
Ada anggapan bahwa kepunahan Harimau Bali tidak begitu merugikan karena ukuran pulau kecil tidak cukup mendukung populasi besar. Pandangan ini keliru. Pulau kecil justru penting sebagai laboratorium alami evolusi. Kehilangan Harimau Bali berarti kehilangan contoh unik bagaimana predator besar beradaptasi di ruang terbatas.
Ada pula pandangan bahwa konservasi mahal dan tidak sebanding dengan manfaatnya. Faktanya, biaya mencegah kepunahan jauh lebih murah daripada menanggulangi kerusakan ekosistem setelah predator hilang (Bruner et al., 2004).
Walau Harimau Bali tidak bisa diselamatkan, kisahnya mendorong lahirnya kesadaran baru. Saat ini, upaya konservasi fokus pada Harimau Sumatra, seperti patroli hutan, pemantauan kamera jebak, dan penguatan taman nasional (WWF, 2024).
Namun tantangan masih besar: perambahan hutan, perdagangan ilegal, dan konflik dengan manusia. Jika masalah ini tidak segera diatasi, kita bisa kehilangan satu-satunya harimau yang tersisa di Indonesia.
Solusi Efektif dan Praktis
Kita tidak bisa mengembalikan Harimau Bali, tetapi kita bisa mengambil langkah nyata agar kepunahan tidak terulang.
- Pertama, memperkuat perlindungan habitat Harimau Sumatra dengan penegakan hukum yang tegas terhadap pembalakan liar dan perburuan.
- Kedua, meningkatkan keterlibatan masyarakat lokal melalui program ekowisata dan insentif ekonomi berbasis konservasi.
- Ketiga, memperluas edukasi publik agar masyarakat memahami nilai penting predator puncak.
- Keempat, memperkuat kerja sama internasional untuk pendanaan konservasi, mengingat kepunahan spesies adalah kerugian global.
Kesimpulan
Harimau Bali adalah suara yang telah hilang, simbol nyata dari apa yang terjadi ketika manusia gagal melindungi satwa liar. Ia tak akan kembali, tetapi kisahnya bisa menjadi api semangat untuk menjaga yang tersisa.
Dalam semangat World Animal Day (WAD) 2025, kita diingatkan bahwa setiap spesies memiliki nilai tak ternilai. Dengan mengingat kepunahan Harimau Bali, kita berkomitmen agar Harimau Sumatra dan satwa endemik lain di Indonesia tetap hidup, tetap Lestari, dan menjadi bagian dari masa depan bangsa.
Daftar Pustaka
Boomgaard, P. (2001). Frontiers of fear: Tigers and people in the Malay world, 1600–1950. Yale University Press.
Bruner, A. G., Gullison, R. E., Rice, R. E., & da Fonseca, G. A. B. (2004). Effectiveness of parks in protecting tropical biodiversity. Science, 291(5501), 125–128. https://doi.org/10.1126/science.291.5501.125
Goodrich, J., et al. (2015). Panthera tigris. The IUCN Red List of Threatened Species 2015: e.T15955A50659951. https://doi.org/10.2305/IUCN.UK.2015-2.RLTS.T15955A50659951.en
Karanth, K. U., & Nichols, J. D. (2017). Monitoring tigers and their prey: A manual for researchers, managers, and conservationists in tropical Asia. Centre for Wildlife Studies.
Kitchener, A. C., & Yamaguchi, N. (2010). What is a tiger? Biogeography, morphology, and taxonomy. In R. Tilson & P. Nyhus (Eds.), Tigers of the world (pp. 53–84). Academic Press.
Seidensticker, J. (1987). Bearing witness: Observations on the extinction of Panthera tigris balica and Panthera tigris sondaica. In R. L. Tilson & U. S. Seal (Eds.), Tigers of the world: The biology, biopolitics, management, and conservation of an endangered species (pp. 1–8). Noyes Publications.
WWF. (2024). Tiger conservation in Indonesia. World Wide Fund for Nature. https://www.worldwildlife.org
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI