Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Biotechnologist and Food Technologist

Auditor Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Penulis Artikel. Berbagi Ilmu. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/ Email: cristanto.bagas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Alasan Netizen Kita Sering Berkomentar Hal yang Tidak Tepat

9 Maret 2025   19:52 Diperbarui: 10 Maret 2025   10:36 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berselancar di media sosial | sumber gambar: Austin Distel/unsplash

Ingat, di era digital ini banyak sekali orang yang mulai membuat konten dengan sifat yang eksplisit karena memang pangsa audiens kita ini senang sekali terhadap hal yang eksplisit atau bermuatan negatif. Secara tidak sadar, konten-konten yang seperti itu membawa kita semua ke pola berpikir yang tidak sistematis dan akhirnya karena merasa "wah saya sudah tau ini arahnya ke mana" akhirnya menarik sebuah kesimpulan tanpa melihat isi keseluruhan dari konten tersebut. Membuat kita malah berpikir dan akhirnya kita menikmati konsumsi konten "brain rot".

Brain rot ini sendiri adalah istilah untuk kita yang sangat menikmati konten yang sifatnya "receh" dan benar-benar tidak berbobot karena otak kita sudah "lelah" menerima informasi. Baik itu informasi yang bermanfaat atau hanya sekedar click bait, semua itu kita serap dan akhirnya membuat otak kita menjadi "lelah". Alih-alih menginstirahatkan diri, eh malah sengaja mencari konten yang joget-joget atau hanya menikmati konten eksplisit.

2. Media Sosial, Algoritma, dan Fenomena Clickbait

Algoritma media sosial dirancang untuk mempromosikan konten yang memiliki engagement tinggi, sering kali memicu reaksi emosional yang kuat. Hal ini telah dikonfirmasi dalam penelitian oleh Vosoughi, Roy, & Aral (2018) yang menemukan bahwa berita palsu dan informasi yang bersifat provokatif lebih cepat menyebar dibandingkan fakta.

Selain itu, clickbait menjadi salah satu metode utama dalam produksi konten digital. Judul yang dibuat untuk menarik perhatian sering kali tidak mencerminkan isi sebenarnya, sehingga banyak orang yang hanya membaca judul tanpa memahami keseluruhan konten. Hal ini diperparah dengan efek negativity bias, di mana individu lebih cenderung memberi perhatian lebih besar pada informasi yang menimbulkan kecemasan atau ketakutan (Baumeister et al., 2001).

Sebagai contoh, artikel dengan judul "Makan Buah Berlebihan Bisa Berbahaya!" mungkin akan langsung menimbulkan kepanikan bagi pembaca. Padahal, jika membaca keseluruhan isi artikel, pembahasan lebih berfokus pada keseimbangan asupan serat dan bukan larangan konsumsi buah secara umum.

Sebetulnya, kita tidak bisa "mengendalikan" algoritma media sosial atau platform lainnya karena semua itu diatur oleh kecerdasan buatan. Hal yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana kita dengan sengaja mencari konten yang memang bermanfaat. Jadi, kalau misalnya memang kita hanya ingin mencari video pendek atau tulisan-tulisan eksplisit, otomatis alogritmanya akan mengarahkan kita untuk menampilkan konten serupa lebih banyak dibandingkan yang edukatif. Hal ini dilakukan oleh algoritma karena sistem menilai ketika algoritma menyajikan konten seperti itu kepada kita, artinya sistem memberikan "manfaat" untuk penggunanya.

Menurut sistem sih iya bermanfaat, kalau bagi kita? Makin dikendalikan dan kecanduan dengan konten-konten itu. Haduh.

3. Bias Kognitif dan Efek Dunning-Kruger dalam Pemahaman Informasi

Dalam psikologi kognitif, confirmation bias adalah kecenderungan seseorang untuk mencari dan menginterpretasikan informasi dengan cara yang mendukung keyakinan sebelumnya (Nickerson, 1998). Individu dengan bias ini akan lebih mudah menerima informasi yang sesuai dengan apa yang mereka yakini, tanpa mempertimbangkan bukti yang bertentangan.

Selain itu, Efek Dunning-Kruger juga berperan besar dalam kesalahan interpretasi informasi. Efek ini menjelaskan bagaimana individu dengan kompetensi rendah dalam suatu bidang cenderung melebih-lebihkan pemahaman mereka (Kruger & Dunning, 1999). Dalam konteks konsumsi informasi digital, individu dengan pemahaman yang terbatas tentang sains atau kesehatan sering kali merasa lebih yakin terhadap kesimpulan mereka dibandingkan dengan para ahli yang memiliki wawasan yang lebih luas.

4. Kurangnya Skeptisisme terhadap Informasi yang Diterima

Sebagian besar masyarakat tidak memiliki kebiasaan untuk melakukan verifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Dalam dunia akademik, metode validasi informasi melibatkan peer review, pengecekan sumber, dan pembandingan dengan literatur ilmiah yang sudah mapan (Hansson, 2017). Namun, dalam lingkungan digital, informasi sering kali dikonsumsi dan disebarkan tanpa melalui proses verifikasi yang memadai.

Fenomena ini semakin diperparah oleh fakta bahwa emosi memainkan peran besar dalam cara seseorang menerima informasi. Studi menunjukkan bahwa informasi yang membangkitkan reaksi emosional kuat lebih mungkin dibagikan dibandingkan dengan informasi yang netral atau berbasis data (Berger & Milkman, 2012). Oleh karena itu, individu cenderung menyebarkan informasi tanpa memastikan akurasinya terlebih dahulu.

Dampak Konsumsi Serat Berlebihan dalam Perspektif Ilmiah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun