Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Biotechnologist and Food Technologist

Konsultan Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Penulis Artikel. Berbagi ilmu dengan cara santai. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/ Email: cristanto.bagas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Kisah Pilu dari Kue Bika Ambon

17 Februari 2025   21:09 Diperbarui: 18 Februari 2025   18:32 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kue Bika Ambon | Sumber gambar: Jago Moto/shutterstock

Soal rasa dari sebuah makanan memanglah subyektif tetapi bukan berarti kita bisa sembarangan memberikan penialaian soal rasa hanya sekedar enak atau tidak enak, manis atau tidak. Jadi penilaiannya itu bukan memberi jawaban "ya atau tidak". Kita perlu menyadari bahwa setiap penyaji makanan, baik itu si pemilik usaha atau tukang masaknya, pasti memiliki target pasar yang berbeda-beda, makanya mereka memiliki preferensi rasa yang berbeda. 

Menurut saya, paling tidak, sebagai seorang food reviewer, minimal mampu mendeskripsikan makanan atau minuman yang dicicipinya. Misalnya teksturnya chewy, kasar, lembut. Kemudian rasanya manis, asin, pahit, gurih. Ada lagi sensasinya dingin, panas, pedas. Buatlah deskripsi yang memang bisa mejelaskan bagaimana pengalaman kita menikmati makanan yang sedang kita nilai. 

Kalau memang belum familiar dengan istilah-istilah dalam dunia kuliner, tidak apa-apa jika hanya sebatas rasa, aroma, dan preferensi rasa menurut penilaian pribadi serta dikemas dalam konteks yang tidak dilebih-lebihkan. Contohnya bukan seperti "kejunya ngeju banget". Contoh deskripsi seperti itu menurut saya kurang cocok kalau dilontarkan oleh seseorang yang mengaku sebagai "food reviewer / food vlogger" yang sejati.

Pandangan Pribadi Saya Tentang Food Reviewer

Intinya, kita sebagai konsumen, penikmat, atau penilai makanan, kita jangan pernah memakai kedok "kejujuran" atau "review jujur" tanpa melakukan filter mengenai konten yang ingin kita buat. Sebetulnya, apa sih tujuan utama dari food reviewer / food vlogger ini? Apakah membahas tentang kebersihan restoran? Kebersihan pangan? Kebersihan pabrik? Bukan ya, itu urusannya pemegang aturan yang melakukan audit seperti dari BPOM atau Kemenkes.

Oleh karena kegaduhan ini, saya merasa tidak dapat mempercayai sepenuhnya ulasan dari food vlogger atau food reviewer yang bermunculan di media sosial. Malahan, saya memiliki pandangan bahwa setiap makanan yang mereka sebut "enak" itu hanya sekedar mendapatkan bayaran dan yasudah, review yang sebatas gimmick, dibayar sebagai buzzer usaha tersebut, dan sudah selesai. Apakah ada jaminan bahwa si pembuat konten itu akan kembali lagi ke tempat makannya? Saya ragu bahwa mereka akan datang lagi setelah tidak ada ikatan transaksional.

Meskipun demikian, saya juga menemukan dan sangat mengapresiasi, bagi para content creator yang bekerja sebagai food reviewer / food vlogger sejati, yang mengerti terhadap panggilannya, bahwa pembahasannya berfokus pada cerita dan rasa dari masakan itu sendiri. Bagi mereka para jurnalis makanan yang mencintai makanan itu dengan sepenuh hati dan menikmatinya di setiap gigitannya. Bagi mereka yang mampu memberikan deskripsi rasa dan membagikannya lewat cerita atau berbagi kisah dengan si pemilik usahanya itu. Sebagai contoh, saya sangat menyukai konten-konten yang dibuat oleh Gastronusa.

Secara singkat, Gastronusa adalah salah satu akun sosial media yang membuat saya sangat mencintai makanan lokal dan menginspirasi untuk saya bisa membuat konten edukatif dan membangun wawasan. Saya tidak dibayar dan memang saya ingin berbagi kepada Kompasianer, jika tertarik bisa mengunjungi media sosialnya. 

Di dalamnya banyak sekali cerita-cerita dan kisah makanan Indonesia dan tujuan utama mereka adalah untuk bisa memperkenalkan makanan Indonesia tidak hanya untuk lokal tetapi bisa hingga ke mancanegara. Saya rasa, kita bisa mencontoh bagaimana mereka dapat membuat konten 1 menit dengan isi yang berwawasan dan bermanfaat.

Oleh karena itu, saya rasa, tugas utama dari seorang food reviewer / food vlogger ini adalah memberikan cerita, memberikan kesan, pengalaman yang kaitannya tentang rasa dari makanan itu sendiri. Mengutamakan penjabaran deskripsi rasa, aroma, dan pengalaman pribadi terhadap makanan yang kita nikmati. Bahkan kalau bisa, kita mendapatkan sejarah dari makanan itu sendiri. Tentu itu akan menjadi nilai tambah dari ulasan yang akan kita buat.

Kesimpulan

Jadi, artikel ini saya buat bukan untuk penggiringan opini, tetapi dengan tujuan untuk memberikan kesadaran bagi kita semua, bahwa sebagai pengulas makanan (food reviewer) itu tidak bisa sembarangan, minimal kita harus memahami etika, akal sehat, dan tujuan yang baik. Memiliki rasa penasaran, mau terus belajar dan bertujuan yang baik untuk mengulas makanan, pasti akan berdampak baik untuk target pasar kita.

Saya ingin mengajak kita semua, yang ingin menjadi jurnalis kuliner, dalam bentuk media apa pun, kita bersama-sama memiliki tujuan yang jelas, tujuan yang pasti, bahwa kita mereview makanan bukan kotoran atau piring patah, atau apa pun itu. Tentu kita harus punya adab dan etika dalam membuat konten ulasan yang ingin dibagikan kepada orang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun