Halo para Kompasianer, bagaimana kabarnya? Semoga sehat selalu dan saya ingin berbagi cerita bahwa, sekarang saya menikmati bika ambon, rasanya sudah tidak seperti dulu lagi. Rasanya sudah bukan menjadi panganan yang manis, asin, dan bersarang, melainkan menjadi kesedihan dan kekhawatiran.
Jadi, ada apa sih dengan bika ambon ini? Sejujurnya, saya tidak suka dengan bika ambon, karena memang tidak cocok untuk saya, tetapi paling tidak saya pernah makan beberapa kali meskipun saya tidak suka.Â
Alasannya? Karena bika ambon itu ya kue khas dari negara kita sendiri, tepatnya dari Medan. Panganan ini tentu saja merupakan makanan yang dapat bertahan kurang lebih satu minggu dan oleh karena itu biasa dijadikan sebagai buah tangan apabila sedang pergi ke Medan.
Awal cerita menyedihkan dari kue Bika Ambon
Masalahnya, saat ini ada cerita sedih mengenai bika ambon ini. Saya melihat, ada seorang ibu-ibu yang memang selalu memberikan gimmick bahwa barang yang beliau jual itu harganya mahal. Hingga akhirnya, pada saat mendekati hari Imlek, si ibu menjual bika ambon dan lapis legit. Saya memang tidak membeli dagangan beliau, tapi saya senang dengan cara beliau mempromosikan dagangannya, apalagi dengan gimmicknya yang penuh gebrakan hahaha.
Saat ini memang sedang ramai, bahwa banyak "content creator" dari berbagai kalangan, ramai sekali mengomentari bika ambon buatan dari tim beliau. Kalau soal rasa, aroma, dan tekstur, semua itu kembali lagi kepada selera masing-masing.Â
Sebetulnya, saya menjadi berpikir, apakah sebagai seorang "reviewer" makanan ini seberapa penting sih? Karena sebetulnya soal rasa itu selera, tidak ada yang sama.
Kalau misal pembahasan makanan dengan mendeskripsikan istilah-istilah tersebut dengan sebutan yang sesuai, misal teksturnya lembut dan penuh di mulut (creamy), kuahnya ringan (light), rasa manis, rasa asin, umami, sensasi pedas, sensasi dingin, dan lain sebagainya, itu saya sangat menyukai penjelasan seperti itu.Â
Tapi sayangnya, market di kita ini lebih menyukai yang seperti ini "kejunya ngejuuuu banget", apa yang disebut "ngeju" ? kemudian "wah saking enaknya gua gak tau lagi harus gimana, mau mati rasanya" walah, ini udah jauh ke mana-mana. Jadi, bukannya fokus dengan cerita dari masakannya tapi malah memperbanyak majas hiperbola.
Kalau yang disebut "ngeju" banget, apakah iya keju yang digunakan itu beneran keju, atau susu sapi yang sudah dicampur tepung-tepungan, dikasih esens keju, pewarna kuning, lalu perisa keju dan garam, sehingga kesannya seperti keju asli? Keju pun juga ada profil rasa dan teksturnya masing-masing, tidak bisa yang namanya dijelaskan "ngeju" banget.Â
Menurut saya dengan menyebutkan "Menurut saya kejunya terasa, aromanya seperti keju Cheddar, meleleh di mulut dan chewy" itu sudah jauh lebih baik dari pada memberikan majas hiperbola yang menurut saya terlalu berlebihan.