Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Biotechnologist and Food Technologist

Konsultan Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Penulis Artikel. Berbagi ilmu dengan cara santai. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/ Email: cristanto.bagas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Kenapa Kita Sering Membuang Ujung Ketimun?

14 Desember 2024   22:00 Diperbarui: 15 Desember 2024   16:41 1486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ketimun | Sumber gambar: Harshal S. Hirve

Sebelum saya menulis artikel ini, saya sedang menikmati nasi kotak dengan hidangan ayam bakar, sambal terasi, kerupuk, dan lalapan. Saat saya menikmati hidangan ini dan sedang mengambil irisan ketimun, tiba-tiba rasa penasaran saya tergelitik, kenapa kalau mau makan ketimun itu ujungnya harus dibuang?

Kita pasti pernah melihat kebiasaan ini, bahkan secara tidak sadar, saya sendiri juga melakukannya. Setiap kali akan makan mentimun, kita memotong bagian ujungnya dan sering kali menggosok-gosok potongan tersebut hingga keluar buih putih. 

Tetapi, pernahkah kita bertanya-tanya, kenapa kebiasaan ini dilakukan? Apakah ini cuma tradisi turun-temurun, ada alasan ilmiah di baliknya, atau hanya mitos belaka?

Nah, kali ini, saya mengajak untuk mari kita bahas secara tuntas alasan ilmiah, tradisi, dan mitos yang melingkupi kebiasaan membuang ujung mentimun. Ternyata ada penjelasan ilmiahnya.

Menghilangkan Rasa Pahit

Salah satu alasan paling umum kenapa kita membuang ujung mentimun adalah untuk menghilangkan rasa pahit. Bagian ujung mentimun, terutama di dekat tangkainya, mengandung senyawa kimia yang disebut cucurbitacin.

Cucurbitacin adalah senyawa alami yang ditemukan pada tanaman dari keluarga Cucurbitaceae, seperti mentimun, pare, dan labu. Senyawa inilah yang bertanggung jawab atas rasa pahit pada mentimun. Bagian ujung mentimun, terutama yang terhubung dengan tangkai, memiliki konsentrasi cucurbitacin yang lebih tinggi dibandingkan bagian tengahnya.

Beberapa orang percaya bahwa dengan menggosok-gosokkan ujung mentimun yang telah dipotong, kita bisa mengeluarkan cucurbitacin tersebut. Proses ini menghasilkan buih putih yang dianggap sebagai "lendir pahit" yang keluar dari mentimun. 

Secara ilmiah, buih ini sebenarnya adalah campuran air, pati, dan senyawa tanaman (termasuk cucurbitacin). Meskipun aktivitas ini tidak sepenuhnya menghilangkan cucurbitacin, proses ini membantu mengurangi rasa pahit, terutama di bagian kulit mentimun.

Meskipun demikian, terkadang saya tetap melahap mentimun tersebut tanpa membuang ujungnya. Apakah pahit? Saya tidak merasakannya sama sekali dan tetap dapat dinikmati. 

Tidak terasa berlendir, hanya mentimun yang renyah dan berair. Tapi bisa jadi juga, ambang batas rasa pahit saya sudah tinggi jadi saraf perasa pahit lidah saya sudah tidak merasakan rasa pahitnya? Atau pahitnya kehidupan sudah melebihi rasa pahit dari mentimun? Hahaha hanya intermezo saja.

Menghilangkan Getah atau Lendir

Gambar Ketimun | Sumber gambar: Harshal S. Hirve
Gambar Ketimun | Sumber gambar: Harshal S. Hirve

Kalau kita perhatikan, saat memotong ujung mentimun dan menggosok-gosokkannya, akan muncul buih putih atau lendir. Banyak dari kita yang percaya bahwa buih ini adalah "lendir kotor" yang harus dibuang agar mentimun lebih bersih dan aman dikonsumsi. Bahkan ibu saya menganggap hal yang serupa.

Dari sudut pandang ilmiah, buih atau lendir ini sebenarnya adalah hasil dari reaksi getah alami yang bercampur dengan air dan pati dari sel-sel tanaman. 

Getah ini tidak berbahaya, tapi proses penggosokan ini dianggap sebagai cara membersihkan mentimun agar lebih segar dan siap dikonsumsi. Oleh karena itu, karena ada getah atau lendir ini dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan harus dibuang.

Faktor Kebiasaan dan Tradisi Turun-Temurun

Selain alasan ilmiah, kebiasaan membuang ujung mentimun juga terjadi karena tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mungkin kita melihat nenek atau ibu kita melakukannya sejak kecil, dan tanpa bertanya alasannya, kita ikut melakukannya juga.

Tradisi ini sudah begitu melekat di masyarakat Indonesia dan dianggap sebagai bagian dari kearifan lokal. Mirip dengan kebiasaan lain seperti mengupas wortel terlalu banyak atau membuang lebih banyak kulit bawang daripada yang seharusnya, kebiasaan ini sering kali dilakukan tanpa banyak bertanya alasannya.

Karena ini adalah kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus, kita cenderung melakukannya secara otomatis setiap kali memotong mentimun. Bahkan, saat kita melihat orang lain tidak membuang ujung mentimun, kita mungkin merasa aneh atau tidak nyaman.

Alasan Kebersihan dan Higienitas

Sebagian dari kita mungkin membuang ujung mentimun karena menganggap bagian ini kotor. Bagian ujung mentimun sering kali bersentuhan langsung dengan tanah, tangkai, atau bagian batang tanaman. 

Meskipun kita bisa mencucinya, beberapa orang lebih memilih untuk membuang bagian ini demi memastikan kebersihan makanan yang akan kita konsumsi.

Prinsip ini mirip dengan kebiasaan kita memotong atau membuang bagian "buntut" dari sayuran seperti wortel, kangkung, atau bayam. Bagian yang paling sering bersentuhan dengan tanah dianggap sebagai bagian yang harus dibuang untuk menjaga kebersihan makanan.

Kesimpulan

Kebiasaan membuang ujung mentimun memiliki beragam alasan, mulai dari yang bersifat ilmiah, tradisional, hingga berbasis mitos. Secara ilmiah, bagian ujung mentimun mengandung cucurbitacin, senyawa yang menyebabkan rasa pahit. Dengan menggosok-gosok ujung mentimun, buih yang keluar dianggap sebagai "racun" yang keluar dari mentimun.

Dari sisi tradisi, kebiasaan ini diwariskan secara turun-temurun tanpa banyak pertanyaan. Beberapa kepercayaan juga mengaitkannya dengan mitos seputar energi negatif atau potensi gangguan kesehatan, meskipun tidak ada dasar ilmiahnya.

Jadi, apakah kita perlu membuang ujung mentimun? Tidak ada keharusan untuk melakukannya jika kita merasa rasanya sudah cukup enak dan tidak pahit, kita bisa memakannya secara langsung tanpa membuang ujungnya. Tapi, jika kita lebih nyaman membuangnya, tidak ada salahnya melanjutkan kebiasaan tersebut.

Daftar Pustaka

  1. Crawford, S. M., & Huxley, R. R. (2013). The effect of cucurbitacin on human health: A review. Journal of Natural Products, 76(12), 2231-2240. https://doi.org/10.1021/np400724d
  2. Rohman, A., & Che Man, Y. B. (2012). Monitoring of cucumber (Cucumis sativus) quality and freshness using physicochemical and sensory properties. Food Chemistry, 132(1), 202-208. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2011.10.067
  3. Holloway, L., & Kneafsey, M. (2016). Traditions and beliefs in food preparation: A study of food customs. Food, Culture & Society, 19(3), 353-372. https://doi.org/10.1080/15528014.2016.1186157

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun