Praktik korupsi yang terjadi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dalam pengurusan izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) bukanlah sekadar masalah administratif, melainkan sebuah serangan terhadap integritas yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap bangsa. Pada periode 2019-2024, pungutan liar yang mencapai Rp 53,7 miliar menunjukkan betapa korupsi telah merajalela di instansi ini. Praktik pemerasan yang terstruktur, sistematis, dan masif ini sangat merusak citra Indonesia di mata dunia.
Korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi di Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kemnaker menunjukkan adanya masalah mendalam dalam sistem birokrasi kita. Bahkan, uang haram yang berasal dari pemerasan ini tidak hanya dinikmati oleh para tersangka, tetapi sebagian juga dibagikan kepada kurang lebih 85 pegawai Direktorat PPTKA sebagai uang "dua mingguan". Hal ini menunjukkan betapa meluasnya praktik korupsi tersebut.
Modus operandi yang digunakan oleh para tersangka sangat mengkhawatirkan. Mereka mempersulit proses perizinan dengan berbagai alasan sehingga pemohon terpaksa membayar "uang pelicin" untuk mempercepat proses perizinan mereka. Kondisi ini tidak hanya merugikan pihak yang membutuhkan izin, tetapi juga menciptakan ketidakadilan yang merusak kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan kita.
Korupsi semacam ini jelas bukan hanya merugikan individu atau perusahaan yang terlibat, tetapi juga merusak citra Indonesia di mata dunia internasional. Jika praktik seperti ini terus berlanjut, Indonesia kemungkinan akan semakin dikenal sebagai negara dengan birokrasi yang tidak berintegritas. Hal ini tentunya dapat menghambat arus investasi asing dan merugikan perekonomian negara kita.
Namun, penegakan hukum saja tidak cukup. Meskipun KPK telah melakukan penahanan terhadap beberapa tersangka, hal ini tidak akan cukup untuk menghentikan praktik korupsi yang sudah merajalela di seluruh sistem perizinan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan reformasi menyeluruh dalam sistem perizinan publik kita. Salah satu langkah strategis yang harus segera dilakukan adalah digitalisasi seluruh proses perizinan, termasuk RPTKA, yang harus dilakukan secara terintegrasi untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas.
Selain itu, pemerintah perlu mereformasi etika dan penegakan hukum yang tanpa pandang bulu dan menyelenggarakan program Pendidikan dan pelatihan anti korupsi bagi seluruh aparatur pemerintahan. Penekanan pentingnya mengamalk budaya berAKHLAK di institusi pemerintahan juga tak kalah penting agar tindakan korupsi dan sejenisnya bisa ditekan menjadi seminimal mungkin bahkan bisa jadi sampai menjadi 0 kasus, siapa yang tahu? Selanjutnya perlindungan bagi pelapor juga harus diprioritaskan agar mereka tidak takut untuk mengungkapkan praktik korupsi yang terjadi di lingkungan birokrasi. Negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura telah berhasil mengurangi praktik korupsi melalui sistem perizinan satu jalur berbasis daring, yang terbukti efektif dan efisien.
Skandal RPTKA ini adalah panggilan untuk bertindak. Jika kita tidak segera melakukan reformasi dan pembenahan dalam sistem perizinan, korupsi akan terus merajalela dan menjadikan birokrasi sebagai ladang pemerasan. Dalam jangka panjang, ini akan menciptakan citra buruk yang sulit untuk diperbaiki. Sudah saatnya Indonesia mengambil langkah nyata untuk memperbaiki sistem perizinannya agar dapat menjadi contoh negara yang berintegritas, transparan, dan akuntabel.
Sumber:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI