Pertanyaan itu tak pernah terjawab. Â Pertanyaan itu hanya menggantung di langit. Â Hingga acara berakhir dengan baca puisi spontanitas. Â Baca puisi Marissa. Suara para penyair yang menembus langit. Â Menembus Kota Binjai. Â Dari rumah yang di dalamnya menyimpan 30 ribu buku ini.
Atmosfir sajak sajak itu juga agaknya merembes ke istri. Â Maka ia juga menulis puisi dan membacakannya buat putri tercinta yang juga ulang tahun. Dan terbakarlah semangat sang ayah. Tak mau kalah. Â Para tamu seperti dihibur oleh keluarga yang menyintai puisi. Â Apalagi suara azan di mesjid menjadi background yang tidak disengaja.
Begitulah, Â hujan telah reda. Â Pukul 17.00 WIB. Â Pesta para penyair usai. Â Kopi Kok Tong dari Siantar yang dibawa Ibra, Â menambah gairah membaca puisi. Â Juga menu Kambing Guling. Â Darah penyair pun panas. Â Langit terkuak oleh syair syair. Â
Diujung acara juga ada pemberian anugerah kepada Dua penyair Kota Binjai, Â yakni H Abdul Jalil Siddin dan Yunus tampubolon, sebagai pewaris sastra lisan Dedeng dari Kosambi.
Alm. Â Jalil diwakilkan oleh anaknya. Â Dalam pidatonya dia menceritakan bagaimana ayahnya berjuang mengenalkan puisi puisinya. Ia terpaksa menerbitkan sendiri, lantaran sulitnya menerbitkan buku puisi. Beberapa buku Jalil yang akan diserahkan ke perpustakaan Tsi Tahura sudah dimakan rayap. Duh!!!
Tsi Taura adalah seorang Jaksa yang menyintai puisi. Dari beberapa literatur mengatakan Tsi Taura suka menulis puisi sejak masih dibangku SMP. Â Tapi nasib membawanya menjadi seorang Jaksa.
Suyadi San menulis, Â Penyair Jaksa, ini dikenal di kalangan penyair di Indonesia. Secara nasional, bersama Kurniawan Junaedhi, dia ahlinya dalam melahirkan puisi bergaya Jepang, Haiku. Banyak puisi haiku-nya terbit dalam antologi bersama. Di Sumatra Utara sendiri, dia merintis kepenulisannya era 1980-an bersama teman seangkatannya, Foeza M. E. Hutabarat, Karahayon Suminar, Ichwan AR, dan beberapa orang lagi.
Tetapi Ayahnya menginginkan dia sukses di jalur ekonomi, sehingga dia masuk STAN di Bandung. Dua tahun di STAN dan hampir mulai bergaji, institusi itu ditinggalkannya. Lalu banting setir ke jalur hukum hingga malang-melintang di tubuh penegak hukum kejaksaan. Â Kini dirinya sebagai jaksa di Kejaksaan Agung.Â
Tsi Taura tetap menulis. Selain haiku, dia tetap menulis puisi. Ada beberapa buku antologi dilahirkannya saat itu.