Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Stabilitas Sistem Keuangan Terjaga Dorong Pertumbuhan Ekonomi

25 Juni 2019   16:50 Diperbarui: 25 Juni 2019   17:09 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB masih jauh dari batas maksimal yang ditetapkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60 % terhadap PDB.  Rasio utang yang masih dibawah ketentuan mengindikasikan bahwa utang Indonesia masih dalam kondisi aman. Jadi masih diperbolehkan tambah utang 4.000 trilyun lagi?  Prinsipnya bisa saja, toh masih dibawah 60%.   Namun Pemerintah menganut prinsip kehati-hatian agar tidak masuk ke lubang yang sama.  Krisis 1997/1998 dan 2008 membuat kita banyak belajar.

Proyeksi Utang Terhadap PDB 2017 (sumber: ask.fm)
Proyeksi Utang Terhadap PDB 2017 (sumber: ask.fm)
Saat  krisis 1997/1998,  kondisi utang Indonesia sebenarnya  masih dalam batas aman yakni 57%  dari PDB.   Seharusnya dengan rasio utang tersebut Indonesia tidak sampai terpuruk.   Masalahnya ketika rupiah melemah,  mulai timbul kredit bermasalah.  Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) meningkatkan tajam akibat  akumulasi utang swasta Indonesia di luar negeri yang begitu cepat dari 1992 hingga Juli 1997 dengan jatuh tempo rata-rata hanya 18 bulan.

Perkembangan Utang Luar Negeri Swasta (sumber: BI)
Perkembangan Utang Luar Negeri Swasta (sumber: BI)
Muncul kekhawatiran di masyarakat bahwa bank tempat dana mereka tersimpan akan mengalami kesulitan likuiditas.   Ujung-ujungnya tabungan mereka akan sulit untuk diambil.  Kondisi ini menimbulkan kepanikan.    Masyarakat beramai-ramai menarik dananya dari bank (bank rush).   Tak pelak, kondisi ini mengganggu perputaran roda perekonomian yang sangat bergantung pada sektor perbankan.  Saat itu kepercayaan publik terhadap pemerintah dan perbankan telah hilang.     

Pertanyaan lain,  bukankah realisasi penerimaan negara kita pada 2017 hanya sebesar Rp. 1.659,9 trilyun?   Tak cukup untuk membayar jumlah utang. Tentunya  jumlah utang itu dibayar sekaligus  tetapi dicicil setiap tahun dan jatuh tempo selama 9 tahun.   Tahun ini utang yang harus dibayarkan adalah  Rp 450 trilyun atau 22 % dari PDB tahun 2017. 

Thailand pun belajar banyak dari krisis keuangan Asia dan mulai membenahi perekonomian mereka.  Berdasarkan riset Bloomberg (2019), Thailand menjadi jawara nomor wahid sebagai negara paling tidak sengsara.  Sedangkan Indonesia berada di peringkat 24.    Berbanding terbalik dengan Malaysia yang terancam bangkrut karena kasus korupsi di negeri jiran itu. 

Lalu mengapa Amerika dan Jepang yang utangnya besar tidak bangkrut?  Seperti mengelola keuangan rumah tangga, negara juga demikian.   Jika pintar mengelola dana yang tersedia tentu akan membawa manfaat.  Sebaliknya, jika salah kelola bisa mendatangkan bencana atau kebangkrutan seperti Yunani dan Venezuela.  

Meski Jepang dan AS memiliki hutang besar, mereka adalah negara maju dan kuat.   Untuk Jepang, utang didominasi dari dana rakyat sendiri.   Lalu siapa yang meragukan kekuatan kekuangan AS?  Hampir semua orang percaya bahwa AS tidak akan bangkrut.  Kepercayaan pasar dunia terhadap AS sangat tinggi. Selain itu perekonomian kedua negara maju ini terus tumbuh.

Yunani dinyatakan bangkrut pada 20 Juni 2015 karena tidak mampu membayar utangnya sebesar 1,54 milyar euro atau sekitar Rp 22 trilyun kepada International Monetary Fund (IMF).   Rasio utang Yunani mencapai 175,1% dari PDB.   Alokasi utang itu kebanyakan digunakan untuk kegiatan sosial yang tidak produktif.

Kebangkrutan Yunani (sumber: www.cc.com.mt)
Kebangkrutan Yunani (sumber: www.cc.com.mt)
Sedangkan krisis di Venezuela berawal dari jatuhnya harga minyak dunia.   Padahal sekitar 96 % PDB mereka  berasal pada ekspor minyak.    PDB Venezuela sebesar 50 milyar dollar AS sedangkan utang membengkak hingga 150 milyar dollar AS.     Tak ayal membuat perekonomian Venezuela menjadi porak poranda.   Pengganguran dan kemiskinan  meningkat.   IMF memperkirakan inflasi mencapai satu juta persen.  Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 4 juta orang warga Venezuela mengungsi ke luar negeri. 

Joseph E, Stiglitz, penerima Nobel bidang ekonomi 2001, berpendapat bahwa krisis ekonomi global (2007) berawal dari runtuhnya keyakinan para pelaku pasar terhadap perekonomian global.  Stiglitz menyatakan bahwa pasa keuangan bergantung kepercayaan dan kepercayaan telah mengalami erosi.     Membangun kepercayaan itu sulit, menjaga kepercayaan  lebih sulit lagi.  Seperti kata penulis AS, R. William, trust is always earned, never given. Bahwa kepercayaan itu selalu diperoleh, tidak diberikan.

Faktor penyebab krisis bisa bermacam-macam.    Kebijakan mikroprudensial difokuskan pada tingkat kesehatan individu institusi keuangan (bank dan non bank) berada dibawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).   Sedangkan kebijakan makroprudensial lebih luas lagi.   Makroprudensial berorientasi pada sistem secara keseluruhan tak hanya mencakup institusi keuangan tapi institusi lain seperti pasar keuangan, koprorasi, infrastruktur keuangan, bahkan rumah tangga.   Wewenang pengawasan ada pada BI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun