Minggu, 11 Juni 2017. Saya merasakan pengalaman berpuasa di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa (khususnya Bima) setahun yang lalu. Â Rasanya baru kemarin saya berkunjung ke Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Tangerang, siang hari yang terik. Â Pukul 15.05 taksi Bluebrid yang saya pesat sudah datang menjemput. Â Padahal saya memesan taksi 15.30. Â Biarlah sang supir tunggu sebentar. Â Â
Tepat sesuai jadwal 15.30 taksi mengantar menuju Bandara Soekarno Hatta Terminal 3. Â Perjalanan ke bandara memamakan waktu sekitar 1 jam. Â Rencananya hari ini saya akan terbang menuju Pulau Lombok,Â
Nusa Tenggara Barat (NTB untuk melaksanakan kegiatan survei jalan di Bima, Pulau Sumbawa. Â Saat itu memang sudah memasuku bulan Suci Ramadhan. Â Â Dapat tiket keberangkatan pasawat Garuda pukul 18.10 dan sudah harus boarding pukul 17.40, pas waktunya dengan saat berbuka puasa.
Jam 16.30, taksi sudah tiba di Bandara Soetta. Â Saya memilih untuk tidak membeli makanan karena berencana nanti saja berbuka di pesawat. Â Toh nanti dapat makanan berat (beda kalau penerbangan dekat seperti ke Semarang, Cuma dapat roti dan air mineral). Â Rupanya azan berkumandang saat masih di ruang tunggu bandara padahal saya hanya membawa satu botol kecil air mineral. Â Minumlah setenguk dua tenguk buat membatalkan puasa. Alhamdulillah. Â Â
Rupanya ada seorang ibu yang memperhatikan saya. Â Mungkin kasihan melihat saya yang hanya berbekal sebotol air mineral, ia dengan baik hati menawarkan kurma dan roti coklat (ukuran besar lagi). Â Alhamdulillah lagi. Â Terima kasih, Ibu......
Di pesawat saya dapat jatah makan ayam semur serta sayur sawi hijau. Â Makan selagi hangat sambil menonton film tentang Perang Dunia II berjudul Hackshaw Ridge di layar monitor depan kursi. Â Filmnya bagus dan berkesan. Â Tentang prajurit yang tak mau menembak lawan, maunya hanya menolong yang terluka. Â Pesan moral film ini bagus juga.
Tak terasa seiring berakhirnya film, pesawat pun mendarat mulus di Bandara Internasional Praya, Kabupaten Lombok Tengah. Â Di pintu bandara terlihat ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H, meski lebaran masih sekitar dua minggu lagi.
"Bapak mau disediakan menu breakfast atau sahur?" tanya resepsionis hotel.
"Saya minta disediakan menu sahur saja, Mas.
Saya juga minta dibangunkan (wake up call) jam 04.00. Â Takut tidurnya kebablasan. Â Apalagi tidur sendirian di kamar.Â
Saya juga bertemu dengan teman-teman daerah yang akan mendampingi saya melakukan survey lapangan. Â Malam itu kami adakan briefing singkat rencana kegiatan di Bima.
Senin, 12 Juni 2017
Saat menjelang sahur saya sempat melihat kondisi Jalan Sudirman Selaparang dari jendela kamar. Â Terlihat begitu sepi dan lenggang. Â Masyarakat sepertinya sibuk menyiapkan sahur di rumah masing-masing.
Suasana saat sahur di Hotel Grand Tulip ternyata cukup ramai, persis saaat breakfast. Â Bahkan ada beberapa tamu yang hanya menggunakan sarung dan membawa al Qur'an saat bersantap, serasa di rumah sendiri. Â
Ada logo halal di pintu masuk restoran hotel. Â Jadi jangan harap menemukan minuman keras atau produk non halal di sini. Â Pulau Lombok memang terkenal dengan wisata Halal-nya dan satu-satunya daerah di Indonesia yang mempunyai peraturan daerah perihal pariwisata halal.
Syukurlah, rapat di kantor Dinas Pekerjaan Umum Propinsi NTB hari ini berjalan dengan lancar. Â Acara yang dimulai jam 09.00, selesai tepat saat menjelang shalat Dzuhur. Selesai shalat, masih ada kesempatan jalan-jalan sebentar di sekitar kantor DPU Provinsi.Â
Terlihat beberapa spanduk dan baliho terkait kegiatan bulan suci Ramadhan. Â Ada parade takjil, lomba adzan, safari ramadhan, shopping Ramadhan, dan lomba tahfidz al Qur'an.
Sambil melihat aktivitas di landasan lewat kaca lounge. Terdengar lagu-lagu religius Islam termasuk alunan Bimbo berkumadang dari audio ruang tunggu. Â Suasana Ramadhan menjadi lebih terasa.
Begitu pula sebaliknya.  Pesawat yang digunakan adalah tipe ATR 72-600 ,dengan mesin baling-baling.  Terus terang saya agak gugup jika  naik pesawat baling-baling. Meski agak mendung, ternyata perjalanan di udara cukup lancar.
Mestinya kami booking tempat dahulu. Tak apalah menunggu barang sebentar. Â Tak percuma kami menunggu, makanan yang disediakan memang enak, segar dan terjangkau. Â Sayang udang pesanan kami sudah habis alias laris manis.
Sahur...sahur....pengalaman pertama kali sahur di Hotel Marina. Suasana tidak seramai sewaktu menginap di Lombok. Â Meski variasi makanan lebih terbatas namun tetap enak.
Namun secara garis besar, jalan di kota ini kondisinya mantap. Â Rasanya kendaraan berat jarang kami jumpai sepanjang perjalanan. Â Tak seperti di Pantura Jawa dimana tonase overload banyak melintas. Â Kami melihat lebih banyak motor yang melintas, itu pun jalannya pelan meski jalanan lenggang. Â Di Jakarta, jalan padat merayap saja motor pada dipacu kencang.Â
Di sela-sela pekerjaan saya mengagumi keindahan alam Bima. Â Sayang di beberapa tempat terjadi alih fungsi lahan. Â Dimana banyak pohon ditembang untuk ditanaman jagung atau tanaman lainnya.
Terlihat teman-teman sedang berdiskusi di lapangan. Â Masalah lahan memang termasuk masalah yang sensitif di Bima. Contohnya beberaapa saluran air ditutup warga karena dianggap berada di lahannya. Â Juga ada kasus jalan tak bisa diperlebar karena lahan dipagari warga. Â Pendekatan kepada masyarakat dan sosialisasi mutlak diperlukan. Â Selain itu, hampir tidak ada rumah makan yang buka. Â
 Potensi pariwisata di Bima ini luar biasa.  Hanya saja belum tergarap maksimal.  Â
Pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia diharapkan mampu mengangkat pariwisata Bima. Â Banyak pantai indah sepanjang perjalanan, namun aksesnya menuju ke sana masih sulit. Â
Selain kondisi medan yang berkelok-kelok, sarana penunjang pariwisata pun kurang.  Rumah makan pun jarang kami jumpai.  Selain itu kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan pantai masih minim.  Contohnya adalah pantai Wilamaci terlihat sampah teronggok  di pinggir jalan. Â
Jika di Kota Lombok dan Kota Bima mudah ditemukan masjid, lain halnya saat kami melakukan survei jalan. Â Jumlah penduduk yang sedikit dan lokasi perumahan yang berjauhan membuat pembangunan masjid menjadi mahal dan tidak efektif. Â
Bayangkan, hampir sepanjang perjalanan kami lebih banyak melihat pepohonan dan semak belukar dibanding rumah. Â Hingga mesjid pun jarang dijumpai di wilayah yang kami survei.
 Jika pun ada perumahan, jumlah penduduknya tak banyak.  Semakin jauh dari kota kita dapat melihat tingkat kesejahteraan masyarakat semakin rendah.  Supir kami yang bernama Salam juga tak berani mengendarai mobil di malam hari.  Â
Kondisi gelap gulita, jalan yang sempit, dan dekat dengan jurang, membuatnya harus ekstra hati-hati. Â Untunglah pekerjaaan monitoring jalan selesai sebelum hari beranjak gelap. Kami harus kembali ke Kota Bima sebelum waktu berbuka puasa.
Pukul 17.00 kami selesai survei dan kembali ke Hotel Marina. Â Kota Bima menjelang berbuka puasa kali ini begitu lenggang karena memang sedang hujan deras. Â Dari jendela hotel di lantai 4 saya bisa melihat suasana menjelang maghrib. Â
Tak banyak orang terlihat di jalan. Â Di Jakarta atau Bandung, menjelang Maghrib justru banyak orang tumpah ke jalan untuk 'ngabuburit' menunggu azan berkumandang.
Sebelumnya batu-batu di gorong-gorong itu pernah dipindahkan oleh pekerja di lapangan. Â Tapi keesokan harinya sudah ditutupi batu kembali oleh warga. Â Ketika kembali akan dibuka, beberapa warga datang sambil marah-marah. Â Mereka mengancam akan menutup jalan kalau batu itu dipindahkan.
Mengapa? Â Rupanya gorong-gorong yang ada dijadikan tempat persembunyian babi liar. Â Babi-babi inilah yang merusak lahan dan tanaman warga. Â Saya juga heran kalau siang babi-babi itu tak terlihat. Â Tetapi kalau malam gelap, puluhan babi muncul entah dari mana. Â Akhirnya, batu-batu itu dibiarkan dulu menutupi gorong-gorong.
Cobaan puasa di Bima adalah terik matahari. Â Kata teman-teman di Bima, di kota ini mataharinya dua. Â Lebih terik dibandingkan Jakarta atau Tangerang. Â Rata-rata yang kami temui adalah saluran yang tertimbun tanah, ilalang yang tinggi hingga ke badan jalan, beberapa titik longsor, dan tiadanya saluran sehingga menimbulkan genangan bila hujan. Â Untungnya di Bima saat itu jarang hujan.
Seperti biasa kami berbuka puasa di kota Bima. Â Kali ini kami berbuka puasa di Rumah Makan Putra Semarang. Â Meski kondisi hujan deras, rumah makan ini tetap ramai. Â Nikmatnya berbuka puasa dengan ikan bakar, sayur asem, dan teh manis hangat. Â Â Rasa haus seharian tadi hilang sudah. Â Sambil makan diiringi dengan nyanyian pengamen jalan yang mampir. Â Â
Â
Rabu, 14 Juni 2017
Jam 6 pagi kami sudah bersiap menuju Bandara Sultan Muhammad Salahudin untuk kembali ke Lombok. Â Tak lupa membawa oleh-oleh madu asli. Â Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda," Hendaklah kalian menggunakan dua obat yaitu madu dan Al Qur'an." (lihat Sunan Ibnu Majah, j.II, h.1142, hadist no.3452, bab Madu). Â Â Pesawat Garuda take off tepat jam 07.40 dan tiba di Lombok jam 08.45.Â
Saya baru sempat memfoto reklame Khazanah Ramadhan  Kota Lombok saat pulang dari Bima.  Kegiatan ini dilaksanakan selama sebulan penuh, dimulai sejak 25 Mei 2017  hingga 25 Juni.  Ada kegiatan ibadah, pemeran, bazar, hiburan islam, talkshow dan masih banyak acara lainnya.  Di luar bandara ternyata banyak penjemput.  Rupanya arus mudik di kota ini mulai terasa.  Banyak saya lihat penjemput berpelukan dengan para sanak saudara mereka yang baru tiba.   Inilah waktu yang tepat untuk berkumpul dan saling bersilahturahmi.
Rapat di kantor DPU Provinsi NTB mulai jam 10 pagi hingga 2 siang. Â Selesai acara kami siap-siap untuk ke Bandara Praya. Tapi sebelumnya kami mampir untuk shalat Ashar di Masjid Islamic Center. Â Banyak orang yang melakukan i'tikaf di salah satu masjid terbesar di Lombok ini.
Dari sana perjalanan dilanjutkan dengan membeli oleh-oleh favorit kami yaitu sate Rembiga Ibu Sinnaseh di Jalan Dr Wahidin.  Rupanya sudah banyak pembeli yang menunggu sate pesanan mereka untuk santapan berbuka puasa.  Sate dari daging sapi dan bercita rasa manis gurih dengan sedikit pedas harganya  ini murah lho, hanya Rp. 2.000/tusuk.  Buat lauk sahur nanti di Tangerang.  Biasanya sih dimakan dengan lontong, tetapi saya lebih memilih pakai nasi.Â
 Ternyata tidak di Tangerang atau di Jakarta, di Lombok pun kala menjelang berbuka puasa, jalan di pusat kota terlihat begitu ramai.  Contohnya di Jalan Cakranegara ini.  Banyak penjual makanan yang diserbu pembeli seperti es buah, buah-buahan, kolak pisang, jajanan pasar dan gorengan.  Kalau saja tak ingat waktu untuk mengejar jadwal pesawat, mungkin kami juga akan mampir.
Hati-hati sambal di rumah makan ini cukup pedas, Kompasianer. Â Pesawat kami take off jam 17.40. Â Untung semua barang yang harus masuk bagasi sudah diurus duluan. Â Kami pun sudah check in tadi paagi lewat website dan sekaligus memilih nomor tempat duduk. Â