Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Media Online Melemahkan Naluri Investigatif Jurnalis

9 Februari 2019   21:30 Diperbarui: 10 Februari 2019   06:39 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, 9 Februari 2019 merupakan Hari Pers Nasional.  Dipilih tanggal 9 Februari bertepatan dengan hari jadi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Keputusan ini ditetapkan melalui  Keputusan Presiden Nomor 5 pada tahun 1985. 

Adapun keputusan yang diterbitkan pada tanggal 23 Januari 1985 ini  adalah  pers nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila (Detik.com, 08/02/2019).

Hari Pers Nasional tahun ini dipusatkan di Surabaya, Jawa Timur, mengusung tema "Pers Menguatkan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Digital". Tema ini sangat beralasan karena kita hidup di era digital. Namun, dalam ulasan kali ini, penulis akan menyoroti media online yang akhir-akhir ini tumbuh bagaikan jamur di musim hujan.

Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, seperti dilansir Merdeka.com (08/02/2018) memperkirakan jumlah media online (siber) di Indonesia mencapai 43.300 media.   Berdasarkan data  yang bersumber dari  buku  'Data Pers 2015', media online yang memenuhi syarat disebut perusahaan pers dan profesional berjumlah 168 perusahaan atau  hanya 0,04 persen media online dikategorikan layak dan profesional. 

Meskipun temuan Dewan Pers bahwa media online yang layak dan profesional tak mencapai 1 persen, keberadaannya membuka peluang makin banyak akses informasi bagi para pembaca. Masyarakat ditawarkan banyak pilihan media. Tak lagi seperti pada era media konvesional (media cetak) yang didominasi media tertentu dan sangat terbatas.

Pertumbuhan media online yang pesat berdampak pada industri media cetak. Hal ini ditunjukkan oleh  rendahnya pertumbuhan sirkulasi oplah dari 1.100 media di Indonesia pada akhir tahun 2013. Pertumbuhannya hanya mencapai 0,25 persen (Kompas.com, 06/02/2014).

Menurut Ketua Dewan Pers, beberapa hal presenden negatif media online di Indonesia sebagaimana dilansir Merdeka.com (08/02/2018). Pertama, sedikit media online yang bekerja secara profesional, selebihnya berorientasi  untuk semata mencari uang. Pernyataan ini dapat dibenarkan. Bila kita menulusuri sejumlah media online lokal misalnya terkesan ada media online dibangun sekedar  meraup keuntungan finansial semata. Pemilik tak peduli dengan tampilan media. Teknik penulisan pun 'amburadul'. Lebih banyak hasil copy paste dari media lain tanpa melakukan parafrase. Kesalahan ketik (typo) pun tak diperhatikan. Lagi, orientasinya semata untuk meraup keuntungan dari jasa pemasangan iklan seperti google adsense.

Kedua, pemerintah mengalami kewalahan menghadapi ledakan pertumbuhan media online. Sebagai contoh, Kabupaten Tanjung Balai Karimun  memiliki  media online menyentuh angka 500 situs.  Sedangkan   di Kabupaten Kediri, media online yang beredar sebanyak  150 media. Fenomena ini terjadi pula di beberapa di lain tempat .

Dengan pertumbuhan yang tak terkendali kadang menimbulkan kewalahan di pemerintah sendiri. Karena semua media online menuntut kerjasama dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD)  sementara jumlah media online begitu banyak dan pemerintah memiliki keterbatasan anggaran. Penolakan kerjasama dapat berbuntut panjang. Media tersebut akan mencari-cari masalah dengan memunculkan berita-berita yang memojokan pemerintah. 

Ketiga, munculnya media online baru tidak ditunjangi dengan wartawan yang profesional. Wartawan yang  memiliki basis pengetahuan jurnalistik dan pemahaman  kode etik jurnalistik secara komprehensif. 

Keempat, banyak media online yang mengunakan nama dan logo yang mirip dengan lembaga negara atau insitusi penegak hukum. Menurut Ketua Dewan Pers, nama-nama dan logo tersebut dinilai efektif dapat menakut-nakuti masyarakat dan memeras narasumber. Kenyataan memang demikian,  ada oknum tertentu yang menggunakan media sebagai alat peras para pejabat dan bahkan menuntut 'amplop' pada hari raya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun