Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

IPK Indonesia Naik dan KPK Semakin Dimusuhi, Saatnya Rakyat Bertindak

4 Februari 2019   22:48 Diperbarui: 6 Februari 2019   22:58 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Depokpos.com)

Sementara sektor penegak hukum, data KPK yang dikutip Katadata.co.id (17/01/2019) memaparkan  19 hakim, 7 jaksa dan 2 polisi yang terlibat terlibat kasus korupsi dalam kurung waktu 2004 - September 2018. 

Barangkali itulah yang menjadi alasan Prabowo Subianto pada debat perdana Pilpres 2019 (17/01/2019) berjanji akan menaikan gaji aparat penegak hukum dengan tujuan untuk membendung korupsi atau mencegah aparat hukum menerima suap. Apakah dengan gaji aparat penegak hukum yang tinggi  menjamin mereka tidak melakukan korupsi lagi? Belum tentu.

IPK Indonesia Periode 1998-2017 (Sumber: katadata.co.id)
IPK Indonesia Periode 1998-2017 (Sumber: katadata.co.id)
Dari data yang diuraikan diatas, maka disimpulkan berdasarkan profesi atau jabatan, anggota DPR/DPRD melakukan  tindak pidana korupsi terbanyak, kemudian disusul  pihak swasta yang melakukan penyuapan terhadap pejabat pembuat kebijakan untuk memuluskan izin atau urusan usahanya. Bayangkan, dalam kurun setahun (2018), terdapat 177 pejabat, swasta, dan korporasi yang terjerat skandal korupsi.  Jumlah tersebut merupakan yang terbanyak dibanding tahun-tahun sebelumnya.  

Lalu bagaimana dengan uang negara yang diselamatkan KPK? Berdasarkan catatan KPK yang dilansir Katadata.co.id (21/11/2018), uang negara yang telah diselamatkan sebesar 1,5 triliun. Pengembalian uang negara dari KPK terbesar  pada 2016 senilai Rp 532 miliar. Selain itu sejumlah aset  telah disita dan digunakan untuk kepentingan pemerintah. Sebuah prestasi besar, bukan?

Data dan fakta di atas menunjukkan bahwa  KPK  terbilang berhasil dan telah banyak memenjarakan pejabat negara maupun swasta yang terbukti merugikan keuangan negara. 

Tapi, keberanian  KPK belum menyurutkan koruptor untuk menggasak uang negara. Hukuman yang diberikan belum memberikan efek jera bagi koruptor. Sebaliknya para penyidik dan pejabat KPK justeru diteror dan dianiyaya. Inilah saatnya ujian bagi KPK untuk tetap berjalan pada rel komitmennya, yakni membasmi korupsi hingga akar-akarnya.

Penganiayaan dua penyidik KPK membuktikan korupsi itu momok yang sangat menakutkan. Penyakit kronis yang susah disembuhkan. Benang kusut yang sulit diurai. Korupsi menggurita dan melilit seluruh sendi-sendi kehidupan. Orang menjadi kehilangan nuraninya. Harta dunia di atas segala-galanya daripada  nyawa manusia.

Dari data dan fakta yang di atas, kita dapat menebak siapa atau kelompok mana di balik teror, ancaman dan penganiyaan terhadap para penyidik KPK. Yang pasti mereka bukan masyarakat kecil. Mereka adalah kelompok-kelompok yang memiliki modal dan power untuk melemah KPK. Namun, untuk menyentuh kepada pelaku yang sebenarnya memerlukan waktu dan usaha penyelidikan aparat penegak hukum. 

Menghadapi situasi  ini, kita mengharapkan polisi untuk menjamin  keamanan bagi KPK baik personil maupun institusinya.  Tentu diharapkan pula kita sebagai rakyat yang empunya negeri ini.  Masyarakat harus berani memerangi korupsi dan menumpas koruptor. Jadilah whistle-blower (pelapor pelanggaran). Tak cukup hanya itu. Masyarakat harus turut mengawas kerja KPK dan menjaganya dari segala ancaman dengan porsi dan cara masing-masing.  Karena koruptor adalah musuh rakyat. Korupsi adalah bentuk kolonialisme gaya baru. Koruptor adalah penghisap keringat rakyat. Bangunlah semangat dwitunggal -- "rakyat -- KPK". Hendaknya romantika perjuangan rakyat dan TNI (dwitunggal) pada jaman perang menginspirasi dwitunggal rakyat-KPK  pada masa kini,  bersatu  memerangi korupsi.  

Data pula mengungkapkan  kelompok profesi yang terjerat kasus korupsi paling banyak, yakni anggota DPR/DPRD, maka rakyat juga berani untuk memberikan sanksi sosial bagi para koruptor di dalam hak-hak politiknya. Menolak atau tidak memilihnya dalam perhelatan Pilkada maupun Pileg. Hukuman semacam ini pantas diberikan kepada mereka  sebagai salah satu cara memutuskan mata rantai korupsi langsung pada sumbernya.

Terakhir, kita berharap pula  aparat penegak hukum termasuk KPK menjadi sumber tauladan. Bila aparat penegak hukum melakukan korupsi, lantas apa yang kita harapkan dari mereka? Sebuah ungkapan yang menarik  "untuk menyapu lantai harus menggunakan sapu yang bersih". Atau, "bagaimana membersihkan orang lain jikalau tubuh sendiri masih berlumpur."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun