Sahabat saya menceritakan banyak hal tentang sosok ini. Katanya ia adalah seroang ibu yang humanis. Sejak itu timbul penasarannya untuk menemuinya. Kesempatan itu tiba. Tepatnya tanggal 31 Mei 2015 yang silam. Menjelang magrib, saya dan Mayus, sahabat saya, meluncur ke kantor pusat Yayasan Nativitas -- dimana staf atau karyawan tinggal. Kebetulan Maria Jeanne Colson E.A.J, nama wanita itu lagi asyik menyeruput kopi sore dengan anak-anak asuhnya. Biasanya ia tinggal di rumahnya yang letaknya tidak jauh dari kantor pusat.
Ia adalah seorang pekerja sosial yang berasal dari Belgia. Ia datang ke Indonesia -- tepatnya Flores berkat perjumpaannya dengan mendiang Uskup Agung Ende, Mgr. Donatus Djagom, SVD pada tahun 1974 di negerinya. Bapak uskup menawarkannya untuk berkarya di wilayah Keuskupan Agung Ende. Ia kemudian memutuskan berkarya di Sikka.
Orang Sikka lebih mengenal dan menyapa dengan panggilan MAMA BELGI. Ia begitu mencintai Sikka. Tentu begitu mencintai karya dan pengabdian serta orang-orang yang dilayaninya. Usai pengabadiannya telah mencapi 42 tahun. Sementara usianya kini sekitar 80-an tahun.
Saat ini Yayasan Nativitas telah memiliki 6 panti asuhan yang tersebar di wilayah Sikka. Ia menceritakan suka duka pengabdiannya. Kesulitan dan hambatan di lapangan. Termasuk biaya untuk menghidupkan ratusan anak asuhnya.
Di tangan Mama Belgi, ia telah menyelamatkan 4000-an anak yang terlantar sejak ia mengabdikan diri di Sikka. Ia telah melakukan banyak hal yang menurut saya tidak masuk akal. Berasal dari negeri yang kaya dan hanya maupun bersusah payah mengurus orang-orang yang bukan dari negeri asalnya. Di luar kebatasan manusia, ia telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan dan menjadi rahim bagi kehidupan orang-orang yang diabaikan sebagaimana namanya yayasannya, NATIVITAS, yang berarti "kehidupan".
Seperti kebanyakan pekerja sosial orang asal negeri biru seperti Sr. Virgula SSpS, pejuang orang kusta dan cacat di Manggarai, begitu pula Mama Belgi ini, mereka tidak mau kisah hidupnya ditulis. Ketika saya menyampaikan untuk menulis kisahnya, ia berdalil; "TUHAN SUDAH MENULISKANNYA DI SURGA."
Dari kisah Mama Belgi di tana nian Sikka, nama Belgia pun terkenang malam ini -- menjelang laga Perancis vs Belgia. Para punggawa dari negeri leluhurnya akan berjuang mati hidup pada laga menentukan malam nanti. Tak mudah Belgia menumpas Perancis karena negeri menara Eifel ini memiliki pengalaman, mental juara dan pelatih sarat pengalaman. Tapi bola itu bundar. Kita sulit menebak kemana arah mana bola itu menggelinding.
Saya bukanlah Griezmann yang tak bisa mengelakan pertandingan melawan Paraguay. Saya hanyalah seorang penonton yang dapat menentukan sikap atau posisi pada laga Perancis vs Belgia nanti. Bila Perancis menundukkan Belgia, saya akan benamkan rasa kegembiraan itu. Sama seperti Griezmann, saya pun tak akan bisa lupa jasa baik wanita Belgia itu.Â
Bila Griezmann berhutang budi dengan pelatihnya di Real Sociedad asal Paraguay, maka saya berhutang budi pada Mama Belgi. Dialah yang memberikan kehidupan bagi kaum terpinggirkan dan terlupakan (penyandang disabilitas dan anak yatim piatu) di tanah Flores. Bila nanti Perancis keluar sebagai pemenang, hatiku tetap pada Belgia. Karena disana ada Mama Belgi, wanita yang telah membaktikan hidupnya bagi tanah leluhur. Bravo Belgia. ***(gbm)