Mohon tunggu...
Azzura Ulfa
Azzura Ulfa Mohon Tunggu... Mahasiswa

Suka membaca dan mencari hal yang positif dalam akademik maupun non akademik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jejak Bung Hatta di Masjid Agung Pondok Tinggi, mengenang warisan budaya yang menghidupkan Pancasila

18 Mei 2025   18:29 Diperbarui: 18 Mei 2025   21:35 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di balik dinginnya udara di Kota Sungai Penuh, berdiri megah sebuah bangunan bersejarah yang telah menjad saksi bisu perjuangan, peradaban, dan kebudayaan masyarakat Sungai Penuh yang sejak lama menjunjung tinggi nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan. Dialah Masjid Agung Pondok Tinggi, masjid kuno yang didirikan tanpa menggunakan satu pun paku, namun mampu berdiri kokoh lebih dari satu abad lamanya. 

Arsitekturnya sangat unik  atapnya tidak berbentuk kubah seperti masjid pada umumnya, melainkan terdiri dari tiga susun yang menyerupai rumah adat.  Filosofi Bapucouk Satau, Barampek Jure, dan Batingkat Tigea tercermin dalam struktur sosial dan nilai-nilai adat yang kuat. Tanpa menggunakan sebatang paku besi, semua sambungan dibuat dengan sistem kunci kayu, apitan, dan teknik tradisional yang menjadikannya fleksibel dan tahan terhadap guncangan, termasuk gempa bumi yang pernah melanda Kerinci. Ini adalah prestasi teknik yang luar biasa, menunjukkan bahwa kerja sama, musyawarah, dan keterampilan lokal dapat menghasilkan karya yang mengagumkan.

Warisan Budaya yang Diresmikan oleh Bung Hatta

"Awalnya bernama Masjid Pondok Tinggi, bangunan ini resmi menyandang nama Masjid Agung Pondok Tinggi pada tahun 1953 atas saran langsung dari Wakil Presiden RI pertama, Dr. Mohammad Hatta, saat beliau berkunjung ke Kerinci (yang saat itu masih wilayah pesisir selatan)", ujar Bapak Jumadi salah satu pengurus Masjid Agung Pondok Tinggi.

Kemudian juga beliau mengatakan bahwa saat itu Bung Hatta juga berpesan agar masjid tidak ditutupi atau diloteng, agar tetap bisa menjadi objek penelitian bagi generasi mendatang. Nasihat ini menunjukkan bagaimana pemimpin bangsa kala itu sangat menghargai warisan lokal dan menjadikannya sebagai bagian dari identitas nasional.

Nilai-Nilai Pancasila yang Hidup dalam Proses Pendirian

Masjid ini mulai didirikan pada 1 Juni 1874, tepat di hari yang kelak menjadi Hari Lahir Pancasila. Sebuah kebetulan yang bermakna, karena semangat yang melandasi pembangunan masjid ini mencerminkan jiwa dan roh Pancasila. Dari awal perencanaan hingga pembangunannya, masyarakat Dusun Pondok Tinggi menunjukkan pengamalan Sila Ketiga - Persatuan Indonesia. Gotong royong menjadi kunci utama seluruh elemen masyarakat dari para tokoh adat, ninik mamak, cerdik pandai, hingga pemuda dan perempuan, semua bahu membahu tanpa pamrih. Bahkan, para ibu bergiliran membawa makanan dan memukul rebana untuk menyemangati para pekerja laki-laki.

Tidak hanya itu, semua keputusan diambil melalui musyawarah mufakat, selaras dengan Sila Keempat - Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Rapat-rapat adat digelar di tiap luhah (kampung kecil) sebelum keputusan besar diambil. Tak ada dominasi, hanya kesepakatan bersama demi kebaikan semua. Dalam pelaksanaannya, nilai Sila Kelima-Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia begitu terasa. Masyarakat bekerja atas dasar keikhlasan, bukan upah. Semua mendapatkan peran sesuai kemampuan, menciptakan keseimbangan tanggung jawab dan kontribusi. Tidak ada kasta, semua sejajar di hadapan tugas mulia membangun rumah Allah dan menjaga marwah budaya.

Mengapa Masjid Ini Penting dalam Pendidikan PPKn?

Masjid Agung Pondok Tinggi berfungsi sebagai sumber pembelajaran kontekstual untuk Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Masjid ini menunjukkan kepada siswa bahwa nilai-nilai Pancasila bukan hanya teori, tetapi telah hidup dan membentuk identitas bangsa sejak lama. Konsep gotong royong, musyawarah, semangat persatuan, dan keadilan sosial semuanya tercermin dalam sejarah masjid ini. Sayangnya, banyak buku teks PPKn yang belum mengangkat narasi lokal seperti ini. Pendidikan karakter akan lebih efektif jika dihubungkan dengan warisan budaya di sekitar siswa, terutama yang pernah dihargai oleh tokoh besar seperti Bung Hatta.

Masjid Agung Pondok Tinggi bukan hanya milik masyarakat Sungai penuh, tetapi juga merupakan warisan budaya bangsa dan simbol nilai Pancasila yang terintegrasi dalam sejarah lokal. Sudah saatnya masjid ini dimasukkan ke dalam kurikulum, dihidupkan dalam literasi pelajar, dan dijadikan sumber inspirasi untuk pendidikan karakter. Sebagaimana yang dikatakan Bung Hatta: "Jangan lupakan sejarah." Oleh karena itu, kita juga harus mengingat masjid yang merupakan bagian dari sejarah itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun