Selama bertahun-tahun, maintainability atau kemudahan pemeliharaan perangkat lunak dianggap sebagai aspek “abu-abu” dalam rekayasa perangkat lunak—penting, tapi sulit diukur dan seringkali dianggap sekadar efek samping dari desain yang baik. Namun, apa jadinya jika kita bisa memprediksi tingkat maintainability secara presisi sejak awal menggunakan kecerdasan buatan?
Sebuah studi menarik dari Jha et al. (2019) menunjukkan bahwa kini hal tersebut bukan hanya mungkin, tapi juga efektif. Dengan memanfaatkan pendekatan deep learning, khususnya Long Short-Term Memory (LSTM), para peneliti mampu membangun model prediktif yang mengungguli metode machine learning konvensional dalam memperkirakan metrik maintainability.
Ini bukan sekadar eksperimen akademik, tapi penanda perubahan paradigma dalam cara kita memandang kualitas dan masa depan pemeliharaan perangkat lunak.
Mengapa Maintainability Itu Krusial?
Maintainability bukan cuma soal “mudah dibaca” atau “mudah dimodifikasi”. Dalam dunia nyata, maintainability yang rendah berujung pada:
Biaya pemeliharaan yang membengkak
Kecepatan pengembangan yang menurun drastis
Bug yang susah ditemukan dan diperbaiki
Kebergantungan terhadap satu developer yang “paling ngerti”
Dalam jangka panjang, sistem yang tidak maintainable adalah bom waktu bagi organisasi. Semakin besar dan kompleks sistem, semakin penting peran maintainability sebagai pilar utama kualitas perangkat lunak.
Namun, mengukurnya bukan hal mudah. Metrik tradisional seperti coupling, cohesion, atau lines of code seringkali tidak cukup menggambarkan kompleksitas sebenarnya. Di sinilah pendekatan deep learning menawarkan sesuatu yang baru.
Dari Data ke Prediksi
Jha et al. menggunakan 299 proyek open-source dan 29 metrik berorientasi objek (object-oriented metrics) sebagai dataset mereka. Model LSTM yang mereka bangun dilatih untuk mempelajari pola hubungan antar metrik dan prediksi nilai maintainability index (MI).
Apa hasilnya? Model deep learning ini menunjukkan performa prediksi yang secara konsisten lebih baik dibandingkan metode seperti Random Forest, Decision Tree, atau Support Vector Machines.
Artinya, dengan cukup data historis, kita kini bisa:
Memperkirakan maintainability sejak awal pengembangan
Mengidentifikasi bagian kode yang akan menyulitkan di masa depan
Menyesuaikan desain secara proaktif untuk mencegah masalah
Ini ibarat punya mesin waktu—tapi untuk kualitas perangkat lunak.
Apa Artinya Bagi Praktisi?
Jika kamu seorang software engineer, tech lead, atau bahkan CTO, ini adalah kabar baik sekaligus tantangan. Kabar baiknya: kamu bisa mulai membangun sistem prediksi maintainability di timmu. Tantangannya: kamu harus siap mengubah cara berpikir dan menyesuaikan proses pengembangan.
Beberapa hal yang bisa dilakukan mulai hari ini:
Kumpulkan data metrik kode secara konsisten. Tanpa data, model tak bisa belajar.
Integrasikan analisis metrik dalam CI/CD pipeline. Biar maintainability bisa dimonitor terus-menerus.
Gunakan hasil prediksi sebagai panduan refactoring. Prioritaskan area kode yang punya maintainability buruk.
Edukasi tim tentang pentingnya maintainability. Jangan anggap enteng kode yang sulit dibaca.
Dengan pendekatan ini, kualitas tidak lagi hanya evaluasi manual atau “feeling senior developer”—melainkan evaluasi berbasis data dan prediksi cerdas.
Tantangan dan Etika
Tentu saja, pendekatan ini bukan tanpa risiko. Model deep learning sering disebut sebagai “black box”—sulit diinterpretasikan. Dalam konteks maintainability, ini bisa memicu resistensi: “Mengapa model bilang ini tidak maintainable, padahal kita tidak melihat masalah?”
Namun justru di sinilah letak nilai kolaborasi antara manusia dan mesin. Model bisa memberi sinyal, manusia tetap memegang keputusan. Gabungan intuisi manusia dan kekuatan analitik mesin adalah resep idealnya.
***
Masa Depan Maintainability Ada di Sini
Bayangkan jika setiap organisasi memiliki dasbor maintainability real-time. Setiap commit bisa segera diprediksi dampaknya. Setiap modul punya skor maintainability yang ter-update. Setiap refactoring bisa dilakukan berbasis data, bukan insting semata.
Pendekatan seperti yang dikembangkan Jha et al. adalah langkah awal menuju visi tersebut. Maintainability yang dulunya subjektif kini bisa menjadi prediksi objektif. Dan prediksi adalah alat terkuat dalam pengambilan keputusan teknis.
Saatnya kita berhenti menganggap maintainability sebagai urusan nanti-nanti. Dengan bantuan kecerdasan buatan, maintainability bisa direncanakan, diprediksi, dan dikelola sejak hari pertama. Maintainability adalah investasi jangka panjang. Deep learning adalah alat barunya. Jangan tunggu sistem ambruk untuk mulai peduli.
Referensi:
Jha, N. K., Kalia, A., & Mehrotra, M. (2019). Deep learning approach for software maintainability metrics prediction. IEEE Access, 7, 46846–46867. https://doi.org/10.1109/ACCESS.2019.2913349
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI