Mohon tunggu...
zaza azza
zaza azza Mohon Tunggu... Tutor - S1 Farmasi, ingin berbagi manfaat

hanya seorang amatiran

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ketika Jurusan di Studi Berbenturan dengan Profesi

24 Maret 2016   21:32 Diperbarui: 24 Maret 2016   21:40 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillahirrahmanirrahim.

 

Di Indonesia, ternyata masih ada sebuah paradigma yang terus-menerus berakar tentang pola pikir pemilihan profesi. Sebenarnya, di satu sisi hal ini tidaklah salah bahkan seharusnya jalan karir seseorang memang harus diprofesionalisasi melalui jenjang studinya. Namun di sisi lain, hal ini perlu terus-menerus dikaji terutama karena bertalian dengan pola asuh dan pola pendidikan di Indonesia yang terus harus diperbaiki. Ya, hampir seluruh masyarakat mengamini bahwa ketika seseorang telah kuliah di salah satu jurusan maka pilihan pekerjaannya pun harus yang berbau studinya. Maka menyambut hal ini, berlomba-lombalah orang-orang mengambil jurusan kedokteran, ekonomi dan manajemen, teknik, dan sebagainya sebagai pilihan utama mengingat kepuasan materi yang akan diperoleh diujung perolehan gelar.

Namun, masuknya perdagangan bebas, meningkatnya kuota penerimaan mahasiswa, mahalnya biaya hidup dan banyak faktor sosial menimbulkan sebuah tanda Tanya: “Masih haruskah kita berpatokan pada paradigm ini dan mengungkung diri kita?”. Suatu ketika Bapak saya nyeletuk ketika ada yang mengatakan bahwa saya yang lulusan Farmasi namun memilih menjadi pengajar anak-anak tidaklah sinkron, “Hari ini kita tidak bisa pilih-pilih pekerjaan karena semakin ketatnya persaingan. Apalagi kalau sebenarnya si anak memang punya passion (hasrat) terhadap jalan karir yang hari ini ia pilih.”

Perlu kita pahami bahwa hari ini pendidikan anak di Indonesia baru memasuki era “ingin berkembang” dikarenakan kesadaran tentang ilmu parenting memang baru-baru saja meledak sekitar tahun 2007an di khalayak, sehingga untuk meratakan sosialisasinya dan merasakan hasilnya masih butuh minimal satu atau dua generasi lagi. Apa pengaruhnya? Adakah hubungannya? Ya, ada implikasi yang secara tidak langsung berimbas terhadap psikologis sebagian besar masyarakat terhadap pandangan ke profesi dan studi. Sebagian besar masyarakat walaupun bertentangan dengan jiwanya, akan memaksa diri untuk menempuh suatu jurusan jenjang studi yang memiliki prospek yang baik dengan harapan mendapatkan penghasilan yang luar biasa. Pada akhirnya, ketidaksinkronan profesi dan jenjang studi akan Nampak sebagai sebuah “keterpaksaan” di mata masyarakat, bahkan banyak yang memilih pengangguran sebagai solusi tak bijak dari efek paradigm ini sebagaimana beberapa berita yang telah kita dengarkan. Misalnya di NTB yang beberapa waktu lalu ricuh kemudian dilaporkan bahwa hal tersebut karena banyaknya sarjana pengangguran yang akhirnya menjadi preman atau tanggapan masyarakat yang mengasihani mereka yang berprofesi kesehatan tetapi memilih menjadi pengusaha butik dan lain-lain, bahkan seperti saya yang menjadi seorang pengajar anak di salah satu Rumah Qur’ani. Padahal untuk menanggapi MEA dan kerasnya kehidupan saat ini, seseorang dengan skill yang boleh jadi multitalent dapat memanfaatkan ilmu yang telah ia peroleh semasa studinya.

Beberapa tokoh yang sedikit menggerak masyarakat untuk terus berkarya walau “keluar jalur” mungkin seperti Bang Ippho, Ibu Septi Peni dan institute Ibu Profesionalnya, tulisan dari bang Hendra Makgawinata di sini, dan lain-lain. Walau sebenarnya sudah jadul, fenomena berulang ini terus-menerus membuat kita mengungkit bahwa tak ada yang tahu pasti bagaimana jalan hidup seseorang, termasuk jurusan studi tak menentukan bagaimana nasib karir yang mengantarkan kesuksesan seseorang, contohnya saja Bill Gates yang sudah fenomenal. Kita perlu terus membuka mata tentang berbagai peluang yang akan menyelamatkan nasib perekonomian kita dan yang harusnya kita pahami bahwa karir tersebut adalah passion kita. Supaya profesi yang terisi tak hanya diisi oleh orang-orang yang hanya tahu “datang, pura-pura sibuk, pulang” atau dalam artian tidak menjiwai profesinya sehingga muncullah pengangguran berjas dan pengangguran berseragam. Seperti yang saya kutip dari hipwee.com yang juga senada dengan tulisan bang Hendra Makgawinata, “Jurusan Gak Menentukan Karirmu, Tapi MEMBENTUK Dirimu”.

Tentunya sebuah tulisan tak serta-merta harus kita rigidkan dengan menelan mentah-mentah kondisi tersebut karena saya pun masih meyakini bahwa masih banyak pelajar Indonesia yang memang menginginkan sebuah karir yang sesuai dengan jurusan studinya agar menjadi seorang profesional, dan bahwa masing-masing pekerjaan pun memiliki pos rezekinya masing-masing. Maka hal ini perlu disikapi dengan bijak dan disesuaikan dengan kondisi yang paling tepat untuk diri pembaca sekalian. Hal ini juga akan didukung dengan peran keluarga (jika anda adalah orang tua) yang memang sedari kecil mempersiapkan anak-anaknya sesuai passionsi anak untuk mengarahkan jenjang studinya sehingga lebih sesuai. Tak hanya sekedar melihat fulus dan memaksakan kehendak si anak untuk menjalani pendidikan tertentu lalu setelah 'keluar jalur' malah menjadi kecewa.

Karir yang hebat berasal dari jiwa yang hebat dan mendapatkan jiwa yang hebat dimulai dari didikan keluarga yang tepat.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun