Mohon tunggu...
Azwar Sutan Malaka
Azwar Sutan Malaka Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Kompasianer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya dan Sang Maestro Idang Rasjidi

21 Oktober 2017   17:10 Diperbarui: 21 Oktober 2017   17:29 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Idang Rasjidi. Sumber Foto Twitter Idang Rasjidi.

Saya tidak tahu tangan Tuhan yang mana yang menggerakkan hati saya untuk mengikuti ajakan sahabat R. Muhammad Mihradi, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, untuk berkunjung ke rumah Idang Rasjidi di Bogor.

Sore itu Erha Limanov, manager program Ngopi Buku, mengabarkan bahwa sebenarnya Bang Idang, --begitu musisi legendaris Indonesia itu kami panggil-- sebenarnya ingin menghadiri bedah Novel Cindakudi Warung Hitz di Jalan Pajajaran, Bogor Minggu Sore 26 Februari 2017 itu. Tapi karena masih ada tamu di rumahnya, Bang Idang tidak jadi datang.

Dengan dua motor, kami menuju rumah Bang Idang dari Warung Hitz. Saya masih menduga-duga mengapa Mihradi mengajak saya ke rumah musisi itu, padahal yang saya tahu Idang Rasjidi mencurahkan minat dan hidupnya untuk Musik Jazz, tidak ada hubungannya dengan dunia sastra yang saya geluti. Sesampai di rumah Bang Idang, saya sudah langsung bisa menebak bahwa rumah ini memang dibangun sebagai bagian dari peradaban.

Di depan rumah Bang Idang, ada sebuah panggung yang cukup luas yang menurut keterangan Limanov sering digunakan untuk acara-acara pertunjukan musik Jazz dan acara budaya lainnya. "Ini adalah ruang publik yang sangat penting bagi keberadaan sebuah kota yang sehat, pemiliknya tentu manusia yang peduli urusan 'manusia'"pikir saya.

Benar saja, ketika kami masuk ke rumah Bang Idang, lelaki 63 tahun itu tersenyum sumringah menyambut kedatangan kami. Dia berdiri menyalami kami. "Ini anak-anak Sumatra, tadi baru saja selesai bedah novel di Ngopi Buku," begitu Limanov memperkenalkan saya dan Rizki kepada Bang Idang.

Bang Idang dan Saya (26 Januari 2017)
Bang Idang dan Saya (26 Januari 2017)
Sore itu kami berdualah yang baru pertama kali berkunjung ke rumah itu. Mihradi dan Limanov sudah bertahun-tahun "mencuri ilmu" di rumah Bang Idang.


"Wah, Sumatra," kata Bang Idang seperti mengingat masa lalunya.

"Begini, coba dengar ya, ini Bang Idang ini sudah menjelajahi Bangkinang sampai pedalamannya dengan sepeda motor. Bang Idang sudah menjelajahi Pasir Pangaraian sampai Lubang Kalam ketika daerah itu masih hutan belantara," kisahnya memulai cerita.

"Kalau di Padang, Bang Idang sudah menjelajahi daerah itu ketika Azwar Anas masih menjadi Dirut PT. Semen Padang," lanjut lelaki yang menjadi tokoh penting bagi kelahiran ASKI Padang Panjang (sekarang ISI Padang Panjang) itu.

Tentang Padang Panjang, dia fasih bicara tentang tempat-tempat makan yang enak di kota itu. Tidak hanya Sate Mak Syukur, tetapi dia lebih suka makan Sate Padang di dalam Pasar Padang Panjang. Bahkan Bang Idang tau dimana tempat penjual ampiang dadiah (makanan fermentasi terbuat dari susu kerbau) yang lezat di Pasar Padang Panjang. Ia hafal liku-liku pasar tradisional di kota kecil yang dingin itu.

Kesetiaan Pada Musik

Mendengar kisah hidup Bang Idang, saya menyimpulkan bahwa dia adalah orang yang setiap pada profesinya. Bang Idang  sudah dua kali ditawari menjadi menteri, dua kali ditawari untuk menjadi Duta Besar, tiga  kali ditawari untuk menjadi Calon Anggota DPR RI, dan entah sudah tak terhitung jumlahnya ditawari menjadi pengurus partai politik. Apalagi didorong-dorong untuk menjadi Calon Gubernur, sudah berkakali-kali. Tapi Bang Idang menolak tawaran-tawaran menggiurkan itu.

Ia lebih memilih untuk menjadi musisi. Pilihan ini menunjukkan kesetiaannya pada musik. Bahkan Bang Idang mengatakan:

"Seandainya Tuhan memberi kesempatan kehidupan kedua di dunia ini, dan bertanya apa profesi yang ingin dijalani pada kehidupan kedua itu, saya akan jawab, Tuhan izinkan saya menjadi musisi kembali," begitu kata Bang Idang dengan yakin.

Lebih jauh Bang Idang melanjutkan ceritanya bahwa "Dalam hidup ini kita harus sadar kapasitas diri, saya merasa tidak memiliki kapasitas menjadi Menteri, menjadi politisi, jadi untuk apa dipaksa?" katanya sambil tersenyum.

"Jangan-jangan nanti kalau jadi Menteri saya buat program ngejazz semua," candanya diikuti tawa kami yang hadir di ruang depan rumahnya yang bersahaja itu. Saya semakin yakin bahwa Bang Idang, musisi kondang itu orang yang setia pada profesinya.

Siang sudah berganti malam, Bogor yang dingin semakin dingin karena hujan turun deras saat itu. Ketika magrib, kami pamit untuk shalat magrib di masjid di depan rumah Bang Idang. Selesai shalat magrib hujan semakin deras. Ketika kami keluar masjid, seorang laki-laki membawa dua payung ke depan masjid menyapa kami.

"Tamu Pak Idang ya Mas?" tanya laki-laki itu. Kami saling berpandangan, lalu Pak Redi mengambil payung yang diantar laki-laki dari rumah Bang Idang itu. Kami kembali ke rumah Bang Idang. Saat sudah berada di beranda depan rumah Bang Idang, di atas meja sudah terhidang berbagai jenis makanan.

"Ayo dimakan," ajak Bang Idang.

"Biasanya yang masak Bang Idang, tapi sekarang Bang Idang belum bisa masak, ini dibeli di langganan depan," cerita Bang Idang.

Banyak hal yang kami ceritakan malam itu sambil menunggu hujan reda. Tapi yang paling berkesan bagi saya adalah pesan Bang Idang pada saya.

"Azwar, kamu novelis, kamu harus fearless, kamu harus berani, tidak mengenal takut dalam berkarya," begitu petuah Bang Idang. 

Saya terdiam, karena seolah Bang Idang tahu kelemahan saya. Padahal saya belum cerita soal ini pada Bang Idang. Mungkin kearifan sebagai orang tua membuat dia bisa membaca persoalan anak-anak muda seperti saya.

"Tulis saja apa yang kamu pikirkan, ingat..., tidak ada yang bisa menghukum imajinasimu itu," lanjutnya. Saya tentu saja bersemangat mendengar petuah Bang Idang itu.

"Tapi kamu juga harus ingat, apa yang kamu tulis itu akan berpengaruh pada pembaca, jadi hati-hati dalam menulis, tulis yang bermanfaat," lanjut Bang Idang.

Malam semakin larut, kami ingin berlama-lama mendengar cerita-cerita dari musisi terkenal itu. Tapi waktu membatasi kami. Terima kasih Bang Idang, atas cerita-ceritanya! (asm)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun