Mohon tunggu...
Azraul Yusuf
Azraul Yusuf Mohon Tunggu... mahasiswa

provokator

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketimpangan Proses Legislasi dalam Omnibus Law: Kajian Normatif dan Kritis melalui Teori Elite, Keadilan, Konstitusional, dan Demokrasi Delibratif

28 Juli 2025   13:15 Diperbarui: 28 Juli 2025   12:09 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peran elite politik dalam perumusan serta  pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2023 ini memperlihatkan dominasi segelintir aktor terorganisir yang secara sistematis mengendalikan proses legislasi demi mempertahankan dan juga memperluas pengaruh politik dan ekonomi mereka. Mengacu pada teori Mosca bahwa minoritas yang terorganisir, yaitu elite politik dan birokrasi eksekutif yang mengesahkan UU ini melalui pendekatan omnibus law yang sangat minim partisipasi publik dan transparansi. Hal tersebut menjadikan lembaga legislatif hanya sebagai instrumen legitimasi formal tanpa adanya kontrol yang kuat atau substantif . Pareto juga menjelaskan bahwa elite menggunakan kapasitas superior mereka, baik itu di dalam hal akses sumber daya maupun jaringan politik untuk menekankan substansi undang-undang melalui kontrol saluran formal serta informal sehingga publik tidak diikutsertakan secara bermakna.

Draf UU dibuat secara cepat oleh lembaga eksekutif yang kemudian disahkan oleh DPR yang sebagian besar pro terhadap keputusan pemerintah, tanpa membuka ruang konsultasi publik yang layak. Ketika Mahkamah Konstitusi menegur melalui putusan inkonstitusional bersyarat, justru elite merespon dengan menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2022, yang menegaskan kembali prioritas elite dalam rangka pengamanan kepentingan ekonomi korporasi besar, bukan untuk memperbaiki legislasi inklusif . Secara menyeluruh proses ini menunjukkan fenomena oligarki yang dijelaskan oleh Mosca dan Pareto, di mana kekuasaan hukum digunakan sebagai instrumen otoriter untuk menjaga kepentingan kelompok kecil saja dan bukan untuk menegakkan prinsip demokrasi deliberatif dan akuntabilitas publik.

Dominasi elite dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja secara menyeluruh mencerminkan kecenderungan negara ini berpindah dan menjauh dari prinsip demokrasi yang semakin mendekati praktik oligarki yang terstruktur. Hal ini tergambar dari minimnya transparansi dalam proses legislasi serta absennya mekanisme konsultasi publik yang baik. Seharusnya transparansi dan aspek lainnya menjadi ciri utama dalam pembuatan kebijakan publik di negara demokratis. Elite politik yang berada di lingkar kekuasaan, termasuk juga di dalamnya aktor-aktor dari partai-partai koalisi pemerintahan, justru memperkuat posisinya melalui kolaborasi erat dengan para elite ekonomi yang berkepentingan dalam sektor investasi, energi, dan pertambangan . UU Cipta Kerja dirancang untuk mengakomodasi kepentingan pemilik modal dengan memberikan kemudahan perizinan, fleksibilitas upah, serta relaksasi standar lingkungan. Semua aspek tersebut akan berdampak langsung pada hak-hak buruh dan keberlanjutan ekologis.

Demokrasi Deliberatif (Habermas)

Jrgen Habermas, dalam teori demokrasi deliberatifnya, menekankan bahwa legitimasi hukum dan kebijakan publik harus berasal dari proses diskursus rasional yang inklusif, bebas dari paksaan, dan simetris. Konsep ini menekankan pentingnya "ruang publik" (public sphere) sebagai arena di mana masyarakat sipil, melalui media dan organisasi, dapat berpartisipasi dalam pembentukan hukum. Proses ini harus memastikan partisipasi yang setara dan komunikasi yang terbuka, dengan proses yang didasarkan pada substansi  demokrasi bukan hanya sebagai prosedural semata.

Absennya deliberasi yang otentik dalam perumusan UU Cipta Kerja menjadi indikasi bahwa demokrasi Indonesia masih beroperasi dalam kerangka prosedural minimalis, belum menuju demokrasi deliberatif yang menekankan kualitas partisipasi warga. Proses legislasi ini berisiko memperdalam alienasi politik, yaitu kondisi ketika warga merasa tidak terhubung dengan sistem politik dan kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara. Sejalan dengan pandangan Ramlan Surbakti, demokrasi tidak hanya diukur dari pemilu yang berkala, tetapi juga dari keberadaan mekanisme deliberatif yang memungkinkan masyarakat menyampaikan aspirasi dan mempengaruhi kebijakan publik. Ketika kanal-kanal tersebut ditutup atau disempitkan, maka yang terjadi bukan penguatan demokrasi, melainkan kemunduran menuju otoritarianisme prosedural.

Kontroversi sekitar UU Ciptaker mencakup protes besar-besaran, dan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menunjukkan kurangnya legitimasi proses. Konsekuensi fatal dari penerapan kebijakan ini berpotensi merugikan hak konstitusional warga negara, yang selaras dengan kritik terhadap kurangnya deliberasi publik. UU Cipta Kerja dapat dipahami sebagai hasil dari konfigurasi kelembagaan yang tidak demokratis sepenuhnya. Di satu sisi, sistem presidensialisme Indonesia memberikan kekuasaan besar kepada eksekutif dalam menginisiasi kebijakan, termasuk penyusunan RUU prioritas. Di sisi lain, parlemen (DPR) cenderung menjadi rubber stamp yang menyetujui inisiatif eksekutif, bukan menjadi lembaga deliberatif yang menyuarakan keragaman kepentingan publik. Hal ini menunjukkan bahwa institusi demokrasi formal seperti pemilu dan partai politik belum sepenuhnya berhasil mentransformasikan diri menjadi kanal representasi yang efektif dalam proses legislasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun