Mohon tunggu...
Azkiya Musfirah A
Azkiya Musfirah A Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Life To Learn

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Minat Baca dan Nilai Budaya Literasi Rendah, Indonesia Butuhkan Solusi Pemecahan Masalah

15 Januari 2024   10:22 Diperbarui: 15 Januari 2024   11:12 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: databoks.katadata.co.id

Berdasarkan laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), nilai budaya literasi Indonesia sebesar 57,4 poin pada 2022. Nilai tersebut tercatat telah meningkat 5,7% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 54,29% walaupun masih dikategorikan rendah. 

Sedangkan data Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) mendapati indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya di angka 0,001 persen. Didukung dengan riset dari Program for International Student Assessment (PISA) terkait minat baca bahwa Indonesia saat ini berada pada peringkat 60 dari 61 negara. Hal ini jelas menunjukkan perlunya tindakan untuk meningkatkan minat baca Masyarakat Indonesia.

Jika ditilik dari segi penyebab, mengapa Indonesia menjadi negara dengan minat baca buku yang cenderung rendah? Jawabannya mungkin saja karena saat ini Indonesia masih mengalami kelangkaan akses terhadap bahan bacaan yang ditandai kurangnya jumlah perpustakaan dan buku referensi sehingga masyarakat masih sulit mengakses informasi dari buku yang sifatnya lebih valid dan dapat dipercaya.

Meskipun begitu, Indonesia sekarang tidak lagi terbelakang soal gadget atau perangkat elektronik, dimana 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang.

Berkaitan dengan data tersebut, Prof. Mochamad Nursalim, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) memberikan komentar bahwa saat ini buku tidak lagi hanya berupa buku cetak, tetapi juga buku elektronik (e-book) maupun jurnal atau hasil riset yang tersedia di platform terpercaya yang dapat diakses di internet. Banyak sekali diskusi, seminar, atau kuliah umum yang bisa disaksikan melalui gawai. Terutama bagi pelajar SMA dan mahasiswa yang sudah lebih dari mampu mengakses dan memahami informasi dari internet dan media sosial.

Di sinilah yang menjadi tantangan sebenarnya bagi pemerintah maupun masyarakat Indonesia sendiri, bagaimana cara memilah dan memilih apa yang akan diambil untuk dipelajari dan menjadi sumber belajar dan mana yang harus dihindari dalam proses belajar. Seringkali kesulitan selalu datang dari hal yang tidak bisa kita tahan, karena terkadang kita lebih memilih terus mengakses media sosial untuk hal yang tidak perlu daripada memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk membaca dan belajar.

Prof. Nursalim kembali memberikan saran terkait hal tersebut, bahwa kenyamanan belajar salah satu faktornya ada pada kecenderungan gaya belajar masing-masing individu, apakah ia visual, auditori, atau kinestetik. Jika individu telah memiliki gaya belajar yang dirasa cocok dengannya, maka minat belajar dari sumber manapun akan meningkat dan mengurangi distraksi hal tidak penting dari media sosial.

"Pemilihan waktu juga dapat mempengaruhi efektifitas belajar seseorang. Pengulangan pembelajaran harus sering dilakukan sehingga materi yang dipelajari dapat dipahami secara lebih mendalam. Bahkan jika memang dibutuhkan praktek atau uji coba langsung," pungkasnya.

Kembali pada keunggulan apabila memiliki sumberdaya manusia yang unggu dan berkualitas, Dimana minat baca dan budaya literasi memberikan pengaruh besar untuk menjadi investasi berharga bagi negara di masa depan. anggota Komisi X DPR RI Muhamad Nur Purnamasidi menilai bahwa perlu adanya koordinasi antar kementerian/lembaga untuk merencanakan anggaran pembangunan literasi nasional secara rutin. "Ketika kita sukses dalam hal literasi, maka otomatis biaya infrastruktur akan berkurang dan itu bisa kita alihkan untuk pengembangan sumber daya manusia," kata Nur dalam kesempatan yang sama. Tentu saja hal tersebut tidak terlepas dari masyarakat sebagai sasaran utama yang harus terus dirangkul dan difasilitasi penuh agar inisiatif dan minat belajar dapat tumbuh dari kesadaran masing-masing individu masyarakat.

Pada kesimpulannya, Tingkat minat baca dan nilai budaya literasi masyarakat Indonesia masih dikatakan rendah dari negara lain yang didasari beberapa faktor seperti kecenderungan mengakses media sosial untuk hal yang tidak perlu padahal fasilitas gawai sudah mumpuni. Distraksi akan hal yang tidak perlu itu dapat diminimalisir dengan kenyamanan membaca dan belajar bagi individu yang telah mengenal gaya belajar masing-masing. Apabila masyarakat bisa memiliki cara belajar yang nyaman, maka pasti minat baca akan meningkat, sehingga dapat berdampak pula pada masa depan negara Indonesia yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun