Mohon tunggu...
Azkia
Azkia Mohon Tunggu... Mahasiswi Universitas Airlangga

membaca

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Obsesi Body Goals yang Mengorbankan Nasi

26 September 2025   10:05 Diperbarui: 26 September 2025   10:39 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Pinterest)

Di era media sosial, tubuh ideal kerap dianggap standar kesuksesan dan kepercayaan diri. Banyak orang rela melakukan berbagai cara agar bisa mencapai apa yang disebut "body goals", mulai dari olahraga berlebihan hingga diet ekstrem. Salah satu tren yang sering muncul adalah menghindari nasi, seolah-olah makanan pokok masyarakat Indonesia ini menjadi musuh utama bagi bentuk tubuh ideal. Padahal, nasi bukanlah penyebab tunggal kenaikan berat badan, melainkan cara kita mengatur pola makan dan gaya hidup secara keseluruhan.

Mengorbankan nasi demi tubuh kurus sering kali justru merugikan. Karbohidrat dari nasi merupakan sumber energi utama yang dibutuhkan tubuh untuk beraktivitas. Jika asupan ini dipotong secara drastis tanpa pengganti yang seimbang, tubuh akan mudah lelah, sulit berkonsentrasi, bahkan mengalami gangguan metabolisme. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa proporsi energi masyarakat Indonesia memang masih didominasi karbohidrat, sekitar 56% dari total energi harian. Angka ini sebenarnya masih sesuai rekomendasi WHO, yang menganjurkan 50--60% energi harian berasal dari karbohidrat. Artinya, menghindari nasi sama sekali justru bisa membuat kebutuhan gizi harian tidak terpenuhi dengan baik (Kemenkes RI, 2019).

Lebih jauh, obsesi tubuh ideal sering membuka jalan pada masalah yang lebih serius. Penelitian di Jakarta Timur pada remaja SMA, misalnya, menemukan bahwa 52,7% siswanya memiliki kecenderungan gangguan makan karena ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh (Syifa & Pusparini, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa tren diet ketat, termasuk menghindari nasi, tidak hanya berdampak pada fisik tetapi juga mental. Remaja yang seharusnya membangun kebiasaan hidup sehat justru terjebak dalam pola pikir negatif bahwa "tidak makan nasi = lebih sehat" atau "kurus = lebih berharga".

Ironisnya, ketika sebagian orang menghindari nasi demi kurus, Indonesia masih menghadapi masalah kekurangan gizi di berbagai daerah, termasuk stunting dan anemia. Ini memperlihatkan adanya paradoks: sebagian masyarakat berjuang keras menurunkan berat badan dengan cara ekstrem, sementara sebagian lainnya justru kesulitan memenuhi kebutuhan energi dasar harian. Alih-alih mengorbankan nasi, seharusnya kita lebih fokus pada pola makan seimbang: porsi nasi yang wajar, ditambah lauk berprotein, sayuran, buah, serta aktivitas fisik yang konsisten.

Obsesi body goals sering kali menyesatkan karena mengubah makanan pokok menjadi kambing hitam. Nasi bukanlah masalah, tetapi cara kita mengelola konsumsi dan gaya hidup yang menentukan kesehatan tubuh. Memaknai tubuh sehat seharusnya tidak melulu tentang angka di timbangan atau bentuk perut rata di cermin, melainkan tentang tubuh yang cukup gizi, bertenaga, dan tahan terhadap penyakit. Dengan begitu, kita bisa melepaskan diri dari jebakan obsesi semu dan kembali melihat nasi bukan sebagai musuh, melainkan bagian dari identitas dan kebutuhan dasar yang penting bagi keseimbangan hidup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun