Oleh: Aziz Amin -- Trainer & Profesional Hipnoterapis di Griya Hipnoterapi MPC, Penulis Buku "Aku Wong Embuh", Penggagas Konsep Berpikir Embuhisme
Ketika mendengar kata hipnosis, tak sedikit orang yang langsung terbayang pada sosok dengan mata tajam, ayunan bandul, atau adegan lucu di panggung hiburan yang seolah-olah "mengendalikan"Â seseorang hingga lupa diri. Padahal, jika dipahami lebih dalam, hipnosis bukanlah tentang menguasai orang lain. Hipnosis sejatinya adalah seni memahami dan menggali potensi terdalam dari dalam diri kita sendiri.
Saya sering berkata kepada klien, "Kamu tidak sedang saya hipnotis, tapi saya sedang menemani kamu menjemput dirimu yang paling utuh." Ya, hipnosis bukan sihir. Ia adalah jembatan lembut menuju kesadaran terdalam, tempat di mana pikiran bawah sadar menyimpan begitu banyak kekuatan, kebijaksanaan, dan kemungkinan perubahan.
Pikiran Bawah Sadar: Gudang Potensi yang Terlupakan
Dalam setiap manusia, tersembunyi ruang pikiran yang sangat luas bernama pikiran bawah sadar. Di situlah tersimpan memori masa kecil, kebiasaan, nilai, luka batin, hingga impian yang diam-diam kita kubur dalam diam. Sayangnya, pikiran sadar kita yang sering merasa paling logis dan kuat hanya mampu mengakses sebagian kecil saja dari semua itu.
Melalui proses hipnosis yang etis, hangat, dan manusiawi, kita dapat mengakses ruang bawah sadar ini. Bukan untuk bermain-main atau sekadar membuat sensasi, tetapi untuk menyapa kembali diri sendiri yang pernah terluka, untuk membuka pintu perubahan yang selama ini terasa berat, dan untuk menyalakan kembali cahaya harapan yang sempat redup.
Hipnosis adalah Seni, Bukan Kendali
Saya mengibaratkan hipnosis seperti seseorang yang sedang membantu teman yang kelelahan di jalan terjal. Ia tidak menggendong atau menarik paksa, tetapi berjalan di sampingnya, sambil membisikkan, "Kamu bisa... kamu kuat... mari kita jalan bareng-bareng."
Hipnoterapis bukanlah dalang yang bisa memainkan siapa pun sesuka hati. Justru, seorang hipnoterapis sejati adalah fasilitator yang penuh empati yang tahu kapan harus diam, kapan harus membimbing, dan kapan harus membiarkan seseorang menemukan jalannya sendiri.
Karena sesungguhnya, setiap orang sudah punya jawabannya di dalam diri.
Dari Embuhisme ke Pemberdayaan Diri