Mohon tunggu...
Azizah Herawati
Azizah Herawati Mohon Tunggu... Penulis - Penyuluh

Pembelajar yang 'sok tangguh'

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Budaya Mengkritik ala Gus Ulil

14 Februari 2021   00:44 Diperbarui: 14 Februari 2021   01:13 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengkritik teman (Foto: idntimes.com)

Ini bukan tulisan tentang politik. Maklum, kalau bicara politik, pasti tidak lepas dari kritik. Bagi anda yang tulisannya dianggap flat dan biasa-biasa saja, sehingga tidak memantik orang untuk kepo dan bergegas membaca, silakan belokkan sedikit ke tulisan berbau politik. 

Dijamin langsung laris manis dan basah kuyup kehujanan komentar. Dari komentar yang adem ayem dan kasih  jempol lima, sampai caci maki berasa nasgor cabe sepuluh. Kalau nggak tahan banting, bisa jadi nggak balik lagi. Yang penting nulis, aman dan nyaman.

Ya, mungkin ini self reminder bagi saya atau bisa jadi kita semua. Manusia yang suka mengkritik, tapi tidak siap untuk dikritik. Lebih memilih zona aman, ikut arus, meski belum tentu yang aman itu menjamin adanya kenyamanan.

Cendekiawan muslim dan penulis produktif Ulil Abshar Abdalla, atau akrab disapa Gus Ulil mengatakan bahwa kebahagiaan yang luar biasa bagi penulis adalah ketika tulisannya dibaca dan dinikmati. Kalau bahasa sekarang ya dikomentari. Sehingga tradisi mengapresiasi tulisan oranglain harus terus dihidupkan.

Tampil sebagai salah satu pembicara dalam sebuah acara yang digelar oleh Komunitas Menulis Sahabat Pena Kita (SPK) dengan tajuk Webinar dan Kopdar 6 SPK mengusung tema "Proses Menulis Kreatif dan Produktif", Gus Ulil menyatakan bahwa kemudahan memperoleh akses yang sangat terbuka pada saat ini hendaknya dijadikan mesin pendorong bagi para pembaca untuk tidak segan berkomentar sebagai wujud dari apresiasi terhadap karya orang lain. 

Dengan demikian, tiap penulis yang sejatinya juga seorang pembaca akan memiliki idola untuk dijadikan kiblat dalam menulis. Hal ini penting, karena penulis akan punya target, ada standar tulisan yang dihasilkan dan pada akhirnya menemukan gayanya dalam menulis.

Gus Ulil dalam acara Webinar SPK
Gus Ulil dalam acara Webinar SPK

Menantu Gus Mus ini sempat mengadakan semacam riset yang membandingkan gaya, materi bahkan sampai pada kualitas antara penulis di eranya, tahun 90-an, Gus Ulil menyebut "Generasi Kompas" dengan penulis saat ini. 

Era digital dan milenial. Menurutnya, tantangan penulis saat ini adalah pada kualitas. Siapa yang dijadikan idola dan model para penulis saat ini? Sudahkah mereka menemukan gayanya? Karena tidak semua penulis mampu menemukan 'suaranya sendiri'. 

Mendapatkan gaya tulisannya. Di sinilah pentingnya idola, figur penulis yang dijadikan model. Harapannya, berawal  dari meniru, lambat laun dia harus mampu memperoleh gayanya sendiri dalam menulis.

Harus diakui bahwa sulitnya akses dalam menulis dan mempublikasikan tulisan para generasi kompas justru menunjukkan bahwa tulisan mereka bukan kaleng-kaleng.

Dunia tulis menulis yang masih sangat langka dan sepi peminat saat itu bukan berarti tulisan mereka mudah untuk diloloskan oleh media. 

Dan terbukti hanya tulisan yang benar-benar bernas yang bisa tembus media dan bertengger dengan gagahnya di surat kabar yang dipajang di etalase koran tempat-tempat publik atau dibaca orang sambil menikmati secangkir teh dan kudapan di pagi atau sore hari. Jangan ditanya seperti apa kualitasnya. Sudah dijamin Te O Pe  Be Ge Te!

Inilah tantangan era media digital saat ini. Era memamerkan kecantikan, tapi tidak mau dikritik. Masa di mana orang sangat sensitif untuk dikritik. Cenderung narsis, kalau diberi masukan, dia marah. Sebaliknya dia sangat gembira dan berbunga-bunga kalau di-like, diacungi jempol. 

Padahal harus ada proses mengkritik dalam menulis. Karena ada banyak aspek yang harus diperhatikan sehingga tulisan bisa dikatakan berkualitas.

Seperti halnya dalam dunia perdagangan, dalam hal kualitas menulispun juga menggunakan prinsip ekonomi. Barang kalau banyak, maka mutunya akan menurun. 

Sebaliknya kalau sedikit, maka nilainya akan naik. Dari sinilah pentingnya upaya menggenjot agar seorang penulis selain harus memenuhi kuantitas, juga dituntut menaikkan kualitas.

Analisis Gus Ulil mengungkapkan bahwa menulis bagi generasi kompas adalah menumpahkan dirinya. Jadi, pembaca tidak hanya membaca tulisan, tapi juga membaca jiwa penulisnya. 

Tulisan yang dihasilkan benar-benar mengguncangkan jiwa pembacanya. Terhanyut dalam bacaan yang dinikmatinya. Sebagai contoh, ketika membaca puisi WS Rendra. Pembaca benar-benar tenggelam dalam lantunan untaian kalimat yang dirangkai Sang Burung Merak.

Itulah mengapa menulis itu butuh perjuangan. Sebuah proses menjadi manusia. Proses menemukan diri kita yang sesungguhnya, "the true self". Dan yang tahu bahwa kita sudah menemukan diri kita, ya diri kita. Sudah 'klik' kalau bahasa orang sekarang.

Tidak alergi terhadap kritik adalah salah satu kunci sukses seorang penulis. Bagaimana sebuah tulisan harus memenuhi beberapa aspek penting sehingga saat dilempar ke pasar akan menimbulkan riak. Membuat orang terhenyak dan bergegas untuk melahapnya. Itulah nikmat yang paling didambakan seorang penulis. 

Oleh karena itu, menulis tidak boleh santai. Harus memenuhi aspek gramatikal. Setiap kalimat harus menjadi kalimat lengkap, yang begitu diucapkan, orang tidak akan bertanya lagi. 

Menanamkan pada diri bahwa tidak ada editor yang baik hati adalah sebuah keniscayaan. Baik tulisan akademis maupun kreatif harus siap dikritik, baik oleh pembaca biasa maupun orang yang mempunyai kapasitas dan tentu saja sangat kritis.

Suami Ienas Tsuroiya ini menutup paparannya dengan menekankan untuk membangun kebiasaan mengkritik. Menurutnya, hal ini akan menjadi kebiasaan baru, dan tentunya sangat bagus. 

Dengan tumbuhnya budaya mengkritik dalam dunia kepenulisan yang terus disemai, insyaaallah akan meningkatkan kualitas tulisan generasi digital saat ini. 

Dukungan kemudahan akses di era digital seperti sekarang ini sudah seharusnya mampu menjadi amunisi besar untuk menghasilkan tulisan bernas layaknya generasi kompas. Salam literasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun