Mohon tunggu...
Azinuddin Ikram
Azinuddin Ikram Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mencintai sastra dan hujan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karena Perpisahan Itu

22 Februari 2014   18:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ah. Dulu aku masih kecil. Kecil sekali. Aku tak tahu apapun. Tak tahu apa yang terjadi saat itu. Yang jelas aku hanya tahu satu hal, ayah dan ibuku berpisah. Dan tiba tiba aku hidup sendiri dengan ibuku. Sedangkan adik laki lakiku bersama ayahku. Semua kejadian itu terjadi sekelebat, terjadi sangat cepat. Sudah bertahun tahun yang lalu hal itu terjadi. Dan selama bertahun tahun itulah aku tak pernah tahu kabar dari ayah kandungku dan adik laki lakiku. Tapi yang jelas, aku masih ingat wajah mereka berdua. Wajah disaat senja. Wajah mereka yang memancarkan cahaya. Wajah mereka yang memancarkan keteduhan. Aku merindukan wajah mereka. Merindukan pelukan mereka. Senja. Satu kata yang menunjukkan keteduhan, memaknai keteduhan. Keteduhan sosok ayah dan saudara. Aku bahkan tak pernah merasakan keteduhan senja itu dari dua sosok lelaki itu. Mereka pergi, pergi meninggalkanku begitu saja. Aku besar dan dididik tanpa senja mereka. Aku memang masih kecil saat itu. Tapi tentu, aku masih ingat banyak kenangan yang terjadi. Yang kuingat dari ayah adalah sesaat sebelum kami berpisah, dia memelukku sambil menangis. Lalu aku bertanya. "Kenapa ayah menangis?" Dia menjawab dengan parau. "Tak usah kau pikirkan nak, cepat tidur." Sambil dia mencoba mencium keningku. Hanya itu ingatanku tentangnya. Ya, hanya itu. Yang aku ingat setelah itu, aku tak bertemu dengannya lagi. Memang saat itu aku masih kecil. Aku tak mengetahui apapun. Senja memang selalu meneduhkan. Saat aku mengerti arti senja itu, aku pasti dapat mengetahui arti hangat, arti teduh. Sementara yang kuingat dari adik laki lakiku adalah bahwa jika setiap kali ia bertemu denganku, dia selalu menangis. Selalu. Hal itu selalu terjadi setiap kali dia melihat mataku. Hanya itu yang kuingat darinya. Ah. Adik cengeng. Dia hanya bisa menangis. Memang senja tak tampak dari adikku, tapi aku percaya, jika kita selalu bersama, aku pasti dapat merasakan senja itu, seperti yang dirasakan teman temanku yang memiliki saudara, arti saudara kandung. Memang terkadang mereka berkelahi, mereka memperbeutkan yang satu, tapi itu lah pelajaran yang didapat, bahwa hidup ini adalah berbagi. Berbagi satu sama lain. Belajar, bemain, bernyanyi, bertengkar bersama. Senja itu lah yang ingin aku rasakan. Tapi sayang, aku tak pernah bisa memiliki senja itu, meski sebenarnya aku punya, punya senja itu, senja yang dipancarkan adik laki lakiku. Hilang. Aku benar benar merasakan artinya kehilangan. Hilang tak sekompleks itu. Hilang itu berputar putar. Mencari. Jika kehilangan sesuatu, kita harus mencarinya. Tapi bagaimana jika sesuatu itu adalah senja? Apakah harus tetap mencarinya? Tapi jika harus mencari, aku harus mencari kemana lagi? Ah. Aku kembali menyalahkan aku kecil. Kenapa saat itu aku masih kecil, kenapa aku tak tahu apapun. Kenapa kita berpisah? Kenapa harus kita berpisah? Cinta. Cenderung mengurungkan beribu ribu misteri di dalamnya. Terkadang senja tampak, tapi kegelapan juga tampak disana. Mungkin itu jawabannya. Jawaban dari pencarianku selama ini. Pencarian yang panjang dan melelahkan. Pencarian yang memakan waktu bertahun tahun. Sangat melelahkan. Hingga sekarang, aku merasa benar benar lelah. Aku lelah, aku ingin beristirahat sejenak. Ibuku. Sosok yang hidup denganku bertahun tahun tanpa senja itu bersamaku. Aku tahu betul bagaimana sifat ibuku. Kami selalu bersama. Tapi disaat kebersamaan itu aku selalu merasa hilang. Kehilangan senja. Dan saat aku mencoba bertanya tentang hilangnya semua senja senja itu pada ibu. Dia hanya tersenyum. Lalu mengatakan. "Ayah dan ibu sudah tak saling mencintai." Hanya itu jawabannya. Berkali kali aku menanyakan hingga lelah, jawabannya juga tak pernah berubah. Sama. Berkali kali pula ia menjawab, dengan jawaban selalu sama. Dan aku hanya berusaha menyatukan semua dengan ingatan masa laluku. Semua karena Cinta. Ya, Cinta. Cinta yang di dalamnya hanya ada senja dan kegelapan. Kenapa? Kenapa cinta harus memisahkan antara ibu dan ayah? Padahal aku yakin, saat ayah dan ibu menikah, mereka mengucapkan janji, janji pernikahan yang setia. Janji yang diatasnamakan dengan cinta. Cinta setia dan abadi. Mungkin sekarang aku tak bisa percaya lagi dengan cinta, bagiku cinta hanyalah bualan semata, cinta setia dan abadi hanyalah kegelapan, hanya kisah kisah dongeng bodoh itu. Patah. Janji itu patah. Tak ada seorangpun lagi yang bisa menyatukan janji itu, mungkin sampai kapanpun. Hanya ayah dan ibu yang bisa menyambungkan itu lagi. Iya, mungkin masih bisa, setelah sekian lama itu. Bertahun tahun setelah perpisaha itu, sekarang, aku duduk di meja hakim tertinggi, dengan jubah hitam yang besar dengan warna merah di bagian atas. Ya, aku seorang pengadil. Pegadil tertinggi dalam jabatan kehakiman. Tak ada orang yang berani menentangku, menentang perkataanku, menentang kebijakanku. Aku sangat ditakuti, aku yang menentukan dan mengakhiri suatu kasus. Sang pelaku kasus hanya diam menatapku. Tatapan mata mereka sama. Tatapan benci. Sementara aku menggedor gedorkan palu di meja, menentukan berakhirnya suatu kasus. Semua pelaku jahat itu bungkam dihadapanku. Koruptor koruptor dari pemerintahpun diam, bisu dihapanku. Sang pengacara juga hanya terdiam, terdiam takut di hadapanku. Aku menangani berbagai kasus, dari pencurian, penyiksaan, pembunuhan, sampai koruptor koruptor tikus itu. Mereka semua takut padaku. Karena di saat aku mengetokkan palu, tak ada orang yang berani menentangku. Kekuasaanku sungguh luar biasa. Bahkan banyak dari mereka tak berani menatapku, tak berani menghadap rezimku. Saat saat dimana aku menjadi penguasa, aku begitu tegas, dan sangat kejam bagi tikus tikus perusak bangsa. Aku seperti menjadi seorang singa yang sangat berkuasa, tak ada seorang pelaku penjahat itu yang berani menikamku, karena aku tahu mereka hanya seorang tikus, tikus yang tidak memiliki taring dan kuku. Aku juga tak tahu apa yang membuatku menjadi sekejam ini, di mata tikus tikus itu. Padahal aku hidup dan tumbuh besar tanpa senja, senja itu. Atau mungkin karena itu, karena aku tak pernah merasakan senja, maka setelah termakannya waktu, aku berubah, berubah menjadi monster singa yang kejam, sangat kejam. Aku menentukan hukuman terhadap suatu kasus. Sudah banyak kasus, banyak sekali. Bertahun, tahun juga aku bekerja di instansi pemerintahan seperti ini, tanpa kesalahan, tanpa cacat, selalu dengan sempurna. Sampai suatu saat, aku menangani kasus yang sangat jarang sekali ada. Yaitu malpraktek kejam yang dilakukan oleh seorang dokter. Sedari tadi, Dokter muda dihadapanku ini hanya terdiam. Menunduk, menunduk takut di hadapanku. Dia tak berani mendongkakkan kepalanya ke arahku, ke arah matakku. Dia membisu. Seperti tak bisa berkata kata, seperti tak bisa berucap, seperti tak bisa mengerti apapun. Diam yang tenang, diam membisu. Mungkin, diam adalah emas. Tapi adakalanya diam juga tak selalu emas. Aku mencoba bertanya banyak hal padanya. Tapi dia masih diam. Diam. Ketika dia memasuki ruangan ini, dia memang sudah tertunduk, tertunduk diam, lemas, lemas sekali. Tak ada semangat dari sikapnya, tak ada pertentangan, tak ada harapan.

Perkataanku tak digubrisnya sedikitpun, mungkin hanya dianggapnya sebagai angin lalu. Dia kesini juga sendiri, tanpa pengacara pendamping, tanpa pembela, tanpa penonton. Pasrah. Dia seperti sangat pasrah. Tanpa harapan. Laki laki itu masih terpaku, siap menghadapi takdir, menerima takdirnya. Sampai dia berucap. "Aku merindukannya. Aku sangat merindukannya." Kali ini, aku yang hanya terdiam. Entah kenapa, suasana di dalam gedung ini sangat menegangkan, setelah laki laki itu berucap hal itu. Aku seperti melihat aura pembunuh dalam dokter laki laki itu. Aku melihat aura pembunuhan dari bahasa tubuhnya. Dia masih tertunduk. Aku belum berani menjawabnya. Aku mencoba membolak balikkan kertas yang berisi kasus tentangnya, aku baca lebih seksama. Dia sungguh manusia kejam. Manusia yang sangat kejam. Dia dokter kejam. Dia telah membunuh ratusan bayi pada prakteknya untuk menghidupkan seseorang. Tapi sayang, rencananya gagal. Dan sekarang, dia hanya terdakwa yang duduk pasrah di hadapanku.

"Kenapa kau membunuh?" Tanyaku padanya.

"Kau takkan mengerti, kau takkan mengerti apa apa." Jawabnya parau. Sesak. Masih tertunduk.

"Memang aku tak mengerti, tapi aku akan berusaha mencoba mengerti, maka aku menanyakannnya padamu." Jawabku tenang. Entah kenapa, aura singaku tak keluar hari ini. Dia tertunduk diam. Mungkin dalam hatinya terjadi gejolak gejolak jeritan yang luar biasa. Gejolak yang terpencar pencar. Hancur. Kenapa aku merasa takut? Kenapa aku merasa takut padanya?

"Hilang. Aku melakukan itu, karena aku merasa kehilangan terhadap seseorang yang kukasihi, kusayangi. Kau tak mungkin merasakan itu. Merasakan pedihnya kehilangan." Aku mencoba mengikuti ceritanya. Mengikuti masa lalunya. Mendengarnya. Dia melanjutkan ceritanya. "Saat aku kecil, ayah dan ibuku berpisah. Kau tak kan pernah mengerti, merasakan artinya kehilangan itu. Setelah itu aku hidup bersama ayahku, bersama ibu baruku. Bertahun tahun kami bersama, tapi aku tetap merasakan kehilangan, kehilangan. Setelah tahun demi tahun, saat aku lulus sma, ayahku meninggal, ayah seorang yang paling aku kasihi. Dan di saat itu pula aku masuk kedokteran. Ibu baruku pergi meninggalkanku sendiri setelah ayah meninggal. Lalu aku sendiri, sendiri selamanya. Hingga aku lulus kedokteran dan aku tahu, aku bisa, bisa menghidupkan seorang yang aku kasihi, ayahku. Meski dengan cara itu, cara memindahkan nyawa. Nyawa bayi bayi tak berdosa itu. Tapi kenapa aku tetap saja gagal?" Katanya parau. Sambil dia mendongkakkan wajahnya, berani menghadapku, menghadap mataku. Hatiku tercekat.

Tiba tiba dia menangis. Dokter laki laki itu menangis, jeritan tangisannya melengking lengking, menukik ke segala arah. Arah jiwaku. Menusuk dalam, dalam sekali. Dan disaat itu juga, aku teringat sesuatu, saat melihat matanya, tatapannya. Teringat ketika melihat dokter laki laki di depanku, seseorang yang selalu menangis di hadapanku. Dia adik kandungku. Adik kandungku yang kehilangan banyak senja. Dan kini setelah lama tak berjumpa pun, dia tetap menangis di hadapanku, masih sama seperti dulu. Aku tak tahu harus berbuat apa. Masa lalu kamipun beradu, berbenturan, bernostalgia. Mencoba mencerminkan diri di atas kaca, kaca yang berdebu. Aku seperti berada di depan kaca itu. Tapi yang kulihat di kaca bukanlah aku, tapi adik laki laki kandungku. Dia mungkin tak mengenalku, tapi jelas aku mengenalnya. Aku dapat melihat dari raut wajahnya, sama seperti dia kecil dulu sebelum kita berpisah, aku tak pernah melupakan wajah itu. Aku tak pernah melupakan wajahnya dan wajah ayah. Karena aku ingin merasakan senja senja itu. Tapi sekarang, setelah sekian lama kami berpisah tak bertemu, masihkah aku harus berharap dapat merasakan senja itu?

Aku menangis sejadi jadinya. Sementara aku melihatnya menangis nangis terisak isak, menjerit jerit perih, berteriak "ARRGGGHHH!!!" Tiba tiba suasana gedung itu riuh. Ricuh. Adikku berdiri dari kursinya, mengambil kursi dengan cepatnya, lalu melemparkannya ke arahku.

"Orang sepertimu takkan pernah mengetahui rasanya!" Teriaknya. Aku mencoba menunduk untuk menghindar dari serangan kursinya. Beberapa orang penonton, dan rekan rekan hakimku yang lain berlarian ke arahnya, berusaha menenangkannya. Dari beberapa mereka berteriak "Dia itu dokter gila!" Dia seperti monster. Monster yang berada di panggung kebesaran bernama dunia, yang sepi, sendiri, gelap, selalu tanpa senja.

Beberapa orang telah menangkapnya dan menenangkannya, ada yang memukul kepalanya, sehingga monster itu diam, tenang, lalu jatuh ambruk ke lantai. Dia pingsan. Aku masih menangis terdiam dari kejauhan. Mungkin kami berdua memang mosnter, aku adalah singa yang hanya pandai berkata kata, sementara dia monster yang sebenernya, bukan hanya tikus, dia seorang monster yang lebih buas dan kejam dari singa. Aku tak menyangka dia akan menjadi seperti ini sekarang, menjadi monster yang diselubungi kegelapan, yang hitam dan pekat tanpa senja dariku, ayah, dan ibu. Aku tahu dik, aku tahu rasanya hatimu! Karena aku juga merasakannya! Aku sangat merindukan senja. Sangat merindukan senja itu kembali.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun