Mohon tunggu...
Ayyu Sandhi
Ayyu Sandhi Mohon Tunggu... -

People may forget who you are, but they will not forget what you've done.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

My Thoughts on Wedding

9 Agustus 2014   07:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:00 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernikahan yang dipersiapkan selama kurang lebih empat bulan ini cukup memberi saya waktu untuk merenungi berbagai hal. Baik tentang proses persiapan yang lumayan memakan banyak waktu dan tenaga (juga biaya, hehe), tentang hubungan saya dengan calon suami, keluarga, teman, dan masyarakat sekitar, dan pada akhirnya, tentang makna pernikahan itu sendiri.
Saya heran mengapa di Indonesia, pernikahan menjadi suatu hal yang sangat diagung-agungkan. Pernikahan ibarat prestasi tertinggi dalam kehidupan bersosial dan berbudaya; sementara, mereka yang menikah dalam usia yang tak lagi muda dianggap sebagai sosok yang 'kalah', tak peduli setinggi apapun raihan prestasinya di luar ajang pencarian jodoh tersebut. Makanya saya paling jengah kalau ditanya, "kapan nikah?" Hadirin dan hadirat yang berbahagia, mencari presiden satu saja buat seluruh bangsa Indonesia saja susah, apalagi mencari jodoh satu buat kita semua masing-masing. Kita hanya bisa berpatokan bahwa jodoh itu tidak pernah memilih. Jodoh itu ditakdirkan. Saya pun begitu. Dulu sudah bagus-bagus sama pegawai. Eh bubaran pas injury time, malah nyantolnya sama mahasiswa. Hahaha.
Syukurlah saya memiliki keluarga yang sangat suportif; yang, alih-alih memotivasi saya untuk mengejar jodoh, mereka memotivasi saya untuk meraih prestasi di puncak tertinggi. Mereka mendoktrin saya bahwa pria dan wanita harus setara. Setara bukan berarti sama loh. Pria dan wanita jelas berbeda. Jelas, pria yang memegang kendali dalam tampuk pemerintahan (baca: rumah tangga). Akan tetapi, menjadi wanita yang kuat, mandiri, dan produktif akan membuat kita lebih terlindung dari pria yang berniat menginjak-injak kita seenaknya.
Terdapat kecenderungan di antara para gadis bahwa menikah itu ibarat memasuki kerajaan yang menawarkan hidup senang tak berkesudahan dan bahagia dalam jumlah yang tak terbatas. Jika Anda adalah salah satu yang berpikiran demikian, Anda salah. Lihat saja banyak sekali pernikahan yang tidak berakhir dengan bahagia. Banyak sekali pernikahan yang diawali dengan fairy-taley love story, dan diresmikan dengan pesta bertema negeri dongeng, harus kandas di tengah jalan. Jangan terlalu muluk-muluklah. Anggap saja menikah itu ibarat membangun jembatan. Menjembatani apa? Ya dua individu yang berbeda (dengan dunianya masing-masing, tentu saja). Memfasilitasi ketika seorang insan ingin 'mengunjungi' dunia  insan lainnya, kemudian menghabiskan waktu bersama di sana. Atau 'menjemput' insan itu untuk dibawa ke dunianya sendiri. Atau saat mereka lelah, mungkin mereka ingin berada di dunia sendiri masing-masing untuk sementara waktu. Jembatan itu memang harus kokoh, dan boleh saja dibikin mewah, megah. Tapi pada akhirnya, yang terpenting adalah dua individu itu sendiri. Masing-masing harus jadi individu yang kuat untuk bisa membangun jembatan yang kokoh. Masing-masing harus punya rasa seni untuk bisa membangun jembatan yang indah. Masing-masing harus punya kegembiraan untuk membawa riang saat 'berkunjung' ke dunia orang yang dicintainya. Titik tekannya sebetulnya pada individunya, bukan pada jembatannya. Ketika kita mengharapkan pernikahan itu seperti kerajaan, otomatis kita maunya dilayani. Tapi ketika kita mengibaratkan pernikahan seperti jembatan, otomatis kita harus bekerja. Jadi kunci pernikahan sebetulnya ada dua hal: individu dan bekerja. Individu yang bekerja. Simpel, sekaligus sulit.
Kita sering berpuas diri ketika berhasil membangun jembatan yang baik, yang bagus. Tapi kemudian kita lupa, kita menjadi takabur dan menganggap bahwa kita tidak perlu lagi mengupgrade kemampuan untuk 'memelihara' jembatan tersebut. Kita tidak lagi bekerja dan memilih berleha-leha. Dan jembatan yang sudah kita bangun itupun melapuk. Dan ketika hal terburuk terjadi, kita mengatakan, 'pernikahan saya tidak berhasil'. Apa sebab pernikahan kok tidak berhasil? Dimanapun ada jembatan runtuh, yang disalahkan bukan jembatannya, melainkan si pembuatnya.
Jadi balik lagi ke pandangan kita terhadap pernikahan. Tidak usahlah terlalu jumawa ketika kita sudah menikah, kita justru harus mawas diri dan hati-hati. Tidak usah berlebihan, baik dalam merayakan pernikahan atau 'memberitakan' hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga Anda. You may be grateful that you have a shoulder to cry on and a place to call home, but remember that you don't need to broadcast it so often. Pernikahan itu bukan sinetron kejar tayang, melainkan tanggungjawab mahaberat, yang hanya bisa dipikul oleh dua orang yang istimewa, yang mampu saling memahami dengan cara yang biasa saja, yang realistis, namun bermakna. Dan tidak usahlah tanya-tanya, "kapan nikah?" Tuhan sudah menggariskan atas semua makhluk-Nya, bahwa akan ada waktunya untuk semua hal yang terjadi di dunia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun