Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Pembelajar

Terbiasa menikmati buah pikir orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyusuri Ruang Kebebasan dan Ketidakpastian Hubungan dalam Puisi Ribet karya Fatio Nurul Efendi

13 Oktober 2025   19:43 Diperbarui: 14 Oktober 2025   16:44 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oktober 2025

Puisi di atas adalah sebuah puisi yang cukup menyentil karena dibagikan pada sebuah grup whatsapp komunitas literasi. Kebetulan temanya adalah  cinta dan persahabatan. Mungkin sekilas teks yang disebut puisi ini hanya sekadar keisengan belaka, atau kepepet, karena tekanan harus memproduksi puisi saban hari dengan tema yang beragam yang sudah membuat para anggotanya agak keblinger, tapi saya cukup mengendus bau-bau yang cukup asik buat sedikit dibicarakan.

Lupakan kaidah teknis dan bentuk, memenuhi atau tidak sebagai teks puisi, saya tidak bicara hal itu sama sekali. Melainkan mungkin kita bisa coba lihat lebih dalam wacana dari teks yang dipaksakan menjadi puisi di atas ini. 

Saya kira penulis  dengan baik menyoroti keadaan yang terjadi secara telanjang pada sebuah hubungan di antara laki-perempuan yang digambarkan seakan penuh beban dan tuntutan kepastian di jaman sekarang.  Karena mungkin berhubungan dengan pengalaman,  Penulis dengan cermat mengulik fenomena generasi muda kita yang mungkin sebagian  amat relate dan memang  asik-asiknya merayakan kebebasan individual tanpa tanggung jawab ini, dan mungkin ini bukan hal yang asing lagi. Hari ini jalan sama yang ini, besok jalan sama yang itu, tergambar dari pilih pacar atau sahabat / padahal pacar kan bisa jadi sahabat menegaskan bahwa suara-suara semacam ini adalah bentuk bagaimana generasi muda kita memaknai sebuah relasi, cair, terbuka, akan tetapi rapuh. Potret realitas kita, di mana batas antara cinta dan persahabatan kian kabur pada ruang sosial. 

Bait-bait yang dibawa penulis juga  menyinggung betapa hubungan modern antara laki-laki-perempuan sering dipenuhi ego dan klaim kepemilikan di tongkrongan. Siapa lebih dulu kenal, siapa paling berjasa, siapa paling sering mentraktir kopi. Relasi ini menjadi semacam ajang pembuktian, bukan lagi ruang yang alami untuk saling memahami. Padahal,  salah satu di antara mereka yang menjalin relasi, bukan tidak mungkin kemudian ada yang terbawa perasaan hingga berujung pada pertanyaan, "aku ini kamu anggap apa? "

Curhat berkedok teks puisi ini Menggelitik. Wacana yang mempertanyakan standar hubungan ideal di kalangan generasi muda, mendobrak dan mempertentangkan nilai juga aturan. Mempromosikan kebebasan  yang anu. Menyusuri ruang batin hingga kemungkinan pada ruang adu kelamin.  Sipilisme. 

Dalam lapisan yang lebih jauh lagi, mungkin puisi ini juga menyoroti generasi saat ini yang merayakan kebebasan sekaligus takut pada apa yang disebut komitmen. Memang kita hidup Di tengah ketidak-pastian ekonomi-politik, antar gajian dan kebijakan atasan, antara tuntutan karier dan keluarga, juga ketakutan kehilangan kebebasan atau hal-hal lain, menimbulkan dalih-dalih semacam belum siap secara finansial, mental, de-es-be untuk hubungan yang lebih jelas.  Hal ini pula yang membuat muda-mudi kita seringkali terjebak dengan ketidak-pastian hubungan hingga batas-batas norma-susila sudah lama dibuang pula. Dan di sinilah ada absurditas di mana manusia memiliki keinginan bebas untuk dicintai-mencintai tanpa sebuah tanggung jawab. Relasi tidak dibangun atas dasar komitmen, melainkan kenyamanan semu yang sesaat. 

Andai saja penulis atau muda-mudi lainnya hidup di negara yang membuatnya sehat secara mental,  finansial, mungkin ketakutan akan kehialangan kebebasan akibat pernikahan, juga tingginya tingkat perceraian karena masalah ekonomi atau lainnya tak lagi jadi ketakutan. 

Andai pula di KUA bukan hanya diajari teprok sakinah untuk menyelesaikan segala macam persoalan, apakah penulis atau muda-mudi lain tetap akan menyusuri jalan lubang gelap dan berliku itu? --karena jalan cuma dikasih tanda perbaikan, tapi tak kunjung beres dibenahi, juga lampu-lampu penerang jalan yang tak memadai.

Mungkin satu hari, seorang calon ibu tunggal membaca bait terakhir puisi ini, sambil mengelus perutnya yang telah melembung, ia pun menguatkan tekad.

Begitulah barangkali mengapa kemudian suatu malam seorang jabang bayi keluar begitu saja dan ditinggalkannya di lubang got. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun