Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Seorang bapak satu anak. Mahasiswa prodi Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Berapi-api dan yang Redup

18 Agustus 2022   16:08 Diperbarui: 18 Agustus 2022   21:18 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Pak, kenapa, bendera mesti turun saat petang?" tanya Tole ketika menyaksikan upacara penurunan bendera di televisi. 

Pak Supono yang juga tadinya tiada  pernah memikirkan hal itu jadi terusik. Hanya saja ia menjawab pertanyaan bocah kelas empat esde itu dengan serampangan saja. 

"Biar nggak rusak."

"Berarti kemerdekaan cuma beberapa jam, gitu pak?  

"Mungkin juga." Jawab Pak Supono 

Sementara Tole memonyongkan bibirnya karena tak puas, Pak Supono membiarkan pikirannya berkelana. Apa iya ya?  Kemerdekaan.

Salah satu kata dari banyaknya kata yang direkayasa sedemikian rupa, sehingga dalam benak setiap orang merasa bahwa kata itu ada. Sebagai yang pernah mengenyam pendidikan bahasa, ia setidaknya pernah mencoba merenungi, tapi, kata rekayasa itu bila direnungi malah bikin pusing sendiri. 

Sambil ngelepus, Pak Supono mikir. Sebenarnya, usaha pejuang sebegitu kerasnya untuk kemudian pada tanggal 17 agustus 1945 itu, kemerdekaan diproklamirkan, pastilah memiliki tujuan. Yang sampai kini barangkali belumlah tercapai.

Sambil memperhatikan Tole yang ikutan jalan di tempat seolah dia komendan upacara, Pak Supono bertanya-tanya, bukankah kemerdekaan bukanlah suatu hal yang final, lalu hanya termanifestasi dalam wujud ritual baris-berbaris saban tahun, dengan terompet dan genderang, lalu berujung pada bendera yang dikibarkan pada pagi hari, untuk kemudian kita turunkan kembali pada saat petang? 

Lalu anak-anak seperti Tole bisa  berpikir bahwa kemerdekaan hanyalah sebatas beberapa jam.

Hari Kemerdekaan.  Yang gempitanya dulu begitu dinantikannya, ketika  kanak-kanak. Ia ingat ketika seusia Tole, betapa senang seringkali memenangkan bermacam perlombaan.

Lalu pada malam tanggal tujuh belas, akan makan tumpeng bersama warga kampung dan bermacam acara digelar. Begitu membahagiakan. 

 Tapi kok seiring beranjak dewasa, hingga   kini, Pak Supono  telah merasa begitu muak dengan ritual-ritual itu. Ia jadi apatis. Ia bahkan tidak membaca grup whatsapp Rukun Tetangga yang isinya kiriman dokumentasi acara perlombaan dan acara puncak perayaan ulang tahun Republik Indonesia di kampungnya tinggal. 

Pak Supono merenungi, apakah tepat bila kata kemerdekaan itu dikelompokkan pada kata benda abstrak, yang tak begitu dapat dirasakan? 

Sedang usaha kongkret untuk mendapatkannya barangkali jarang disinggung, untuk coba dipertanyakan, atau memang karena telah ada hari dan tanggal, semua beres, diingat seharian lalu menguap.

Pak Supono kemudian bertanya, bukankah para pahlawan yang kemudian pengorbanan mereka seenaknya dirangkum menjadi teks proklamasi kemerdekaan, menyatakan bahwa para pahlawan itu, telah mengantarkan rakyat Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan.

Lalu bukankah kemudian yang masuk gerbang kemerdekaan itu kini, Pak Supono  sendiri, juga kemudian anaknya, cucunya, generasi sesudahnya?

Dalam alam kemerdekaan ini, Pak Supono bertanya-tanya, apa sebenarnya kemerdekaan itu?

Dilanjutkannya bermacam pertanyaan dalam benaknya, dibawanya sampai pada tempat tidur ketika malam hari. 

Sambil termenung, Pak Supono berpikir, dirinya sebagai salah seorang rakyat, Pak Supono sudah tentu memiliki  kewajiban, lalu kewajibannya dirasa makin lama mengungkungnya. 

Misal, dia harus bayar pajak. Pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak kendaraan. Kini semakin lama semakin dirasa mencekik.

Lalu sebagai seorang suami, sudah semestinya Pak Supono memiliki kewajiban. Lalu kewajiban itu dirasa makin lama mengungkungnya. Juga, sebagai seorang bapak, sudah semestinya juga dirinya memiliki kewajiban. 

Alah! Bukankah kemerdekaan itu tidak ada? Ia tetap terbelenggu. Terikat dalam kewajiban-kewajiban. 

Biar begitu, Pak Supono merasa, bahwa meski merasa terkungkung, kok anehnya bila disyukuri, terasa juga nikmatnya. 

Apakah jangan-jangan  kemerdekaan selama ini seperti tetek-bengek kehidupan yang lain, tidak patut dipertanyakan? Hanya perlu dijalani dan disyukuri?

Tapi bila dulu, para pahlawan itu,  berhenti untuk bertanya, menjalani keterkungkungan dan lantas hanya mensyukurinya, apa iya proklamasi  kemerdekaan itu akan tercatat dalam sejarah pada akhirnya? 

Loh kok jadi bertanya lagi. Semakin dipikirkan malah tambah pusing. Akhirnya Pak Supono memilih nyusul tidur saja. Seperti Istrinya di sebelah yang telah mendengkur dari tadi

...

Pagi hari ketika Pak Supono nyekrol berita di temlen instogram, sembari ngopi dan ngelepus,  ia begitu terkejut. Pak Supono menemukan berita seorang ibu-ibu meninggal ketika lomba tujuhbelasan. 

Diputarnya video, seorang perempuan yang sepertinya masih cukup muda, postur badannya sedang, terlihat tengah begitu semangat empat-lima, seperti air yang dipompa begitu kuatnya oleh sorak-sorai para penonton. 

Ia melompat dengan karungnya, dan berhasil memimpin di posisi pertama. Tiba-tiba saja setelah berputar arah, perempuan itu terjatuh dan tak sadarkan diri, bersamaan sorak sorai penonton yang berhenti. 

Dalam berita itu disebutkan, bahwa sang perempuan warga  Tasikmalaya itu diduga mendapatkan serangan hipertensi mendadak. 

Mirisnya, perempuan itu baru dua bulan lalu melahirkan seorang anak.(sumber berita: akun instagram timesindonesia)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun