Bayangkan sebuah kelas di mana tawa murid menyatu dengan bunyi shutter kamera, ruang belajar bertransformasi jauh melampaui papan tulis dan spidol. Ia menjelma menjadi layar monitor yang memancarkan karya visual sarat imajinasi. Di ruang itu, murid bergerak bebas, bereksperimen, bahkan berdebat sengit soal angle terbaik untuk menangkap sebuah adegan. Inilah panggung kecil masa depan, tempat bibit unggul ditempa dengan pengalaman nyata.
Saya, Ayu Sarwendah, guru produktif broadcasting dan perfilman di SMKN 2 Kediri, menjadikan kelas sebagai studio kreatif. Di sinilah gagasan liar lahir, keberanian ditempa, ketekunan diasah, dan kolaborasi dirayakan. Sebab bagi saya, pendidikan sejati menuntut lebih dari sekadar mengajar, ia adalah keberanian mendorong anak melampaui batas dirinya hingga tumbuh hebat.
Saya meyakini bahwa Pendidikan Bermutu untuk Semua terwujud ketika guru sanggup menyalakan bara antusiasme dalam diri murid. Sebab pendidikan sejati itu transformasi. Pendidikan sejatinya tumbuh dari langkah berani keluar dari ruang nyaman, dari gairah mencoba sesuatu yang segar, dan dari tekad menempa keterampilan tanpa henti.
Setiap kali kaki ini menjejak lantai kelas, satu pertanyaan selalu menari di kepala, "Bagaimana caranya pelajaran hari ini jadi bekal yang benar-benar mereka bawa pulang untuk hidupnya?" Pertanyaan itu jadi kompas. Maka ketika bicara soal teknologi media digital, saya sengaja mengikatnya erat dengan dunia mereka sendiri dari kebiasaan menggenggam gawai seolah sahabat setia, obrolan riuh di media sosial yang jadi panggung ekspresi, sampai derasnya hiburan daring yang membanjiri setiap layar.
Bukankah lebih seru kalau belajar terasa seperti menonton film favorit, yang tiap adegannya bikin penasaran dan memantik tawa sekaligus renungan? Di situlah seni mengajar menemukan makna, mengubah pelajaran jadi cerita hidup yang melekat, bukan sekadar hafalan di kepala. Tata kamera saya kaitkan dengan tren content creator. Tata artistik dan suara saya hubungkan dengan dunia perfilman nyata. Editing saya gunakan untuk melatih kesabaran dan ketelitian. Bahkan standar K3LH saya tekankan sebagai kesadaran menjaga diri, rekan, dan lingkungan.
Saya ingin setiap murid memahami bahwa waktu di kelas ibarat tabungan emas, terus berlipat nilainya seiring perjalanan hidup. Proses belajar hadir dari kesadaran, sebab keterampilan yang dikuasai hari ini akan menjadi senjata pamungkas ketika mereka berdiri di panggung kehidupan.
Namun bagi saya, pendidikan selalu haus inovasi. Inovasi adalah denyut yang membuat pembelajaran hidup, segar, relevan. Maka saya menantang murid untuk menghadirkan ide segar: film dengan sentuhan dokumenter vlog, editing dengan sentuhan AI, hingga karya yang berani tampil di festival digital. Inovasi pendidikan bukan sekadar variasi metode, melainkan keberanian menciptakan ruang baru tempat imajinasi, teknologi, dan nilai karakter saling berpelukan.
Belajar terasa gersang tanpa ajang pembuktian. Karena itu, saya melibatkan murid dalam kompetisi film pendek, video kreatif, hingga festival perfilman nasional. Tahun 2023 saya melangkah sebagai finalis video mengajar APBN. Tahun 2024 saya meraih juara 2 kategori konsistensi dan kreativitas karya video. Tahun 2025 saya naik panggung lebih tinggi sebagai juara 2 Kementerian Keuangan Learning Festival.
Apakah itu sudah cukup? Tentu saja belum. Kemenangan pribadi hanya berarti ketika berubah menjadi magnet yang menarik murid ikut melangkah. Maka setiap lomba saya sulap menjadi laboratorium nyata: ide cerita, manajemen produksi, penataan kamera, hingga editing film. Hasilnya? Mereka menorehkan juara 1 film pendek FLS2N tahun 2024, serta juara 3 video kreatif HUT RSUD Kilisuci.
Prestasi ini hanyalah bukti bahwa ruang belajar terbaik seringkali berada di luar kelas.
Namun perjalanan penuh warna. Ada murid absen latihan, ada yang larut dalam game daring, ada yang terlalu nyaman dengan scroll media sosial. Tantangan terbesar seorang guru justru di sini, mengalirkan kebiasaan sia-sia menjadi energi produktif.