Mohon tunggu...
Ayu Sarwendah
Ayu Sarwendah Mohon Tunggu... Guru

Lahir di Kediri, 10 Februari 1990 dari kedua orang tua guru. Menikah dan dikaruniai 2 putri yang menekuni balap sepeda BMX. Berpengalaman mengajar di SMK bidang elektronika komunikasi, broadcasting dan perfilman, serta aktif sebagai pengurus IGI (Ikatan Guru Indonesia).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pajak di Era Digital, Masa Depan Ada di Tangan Kita

8 Agustus 2025   09:13 Diperbarui: 8 Agustus 2025   09:13 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Coba jujur, kapan terakhir kali kamu mikir soal pajak? Saat gaji dipotong? Atau justru waktu lagi check out barang diskon di marketplace, tanpa mikir kontribusi?

Padahal, di balik tiap transaksi digital yang kamu lakukan, dari beli kopi kekinian lewat aplikasi, sampai langganan drama Korea di platform streaming, ada peluang emas untuk membiayai jalan raya, sekolah, rumah sakit, bahkan masa depan negeri ini.

Tapi masalahnya, sebagian dari kita masih berpikir pajak itu urusan orang kaya atau pegawai kantoran saja. Duh, sudah bukan zamannya lagi! Dunia sudah berubah, dan pajak pun harus ikut berevolusi.

Sekarang pertanyaannya, apakah kita siap jadi generasi digital yang bukan cuma jago konsumsi, tapi juga sadar kontribusi? Karena masa depan penerimaan negara ada di genggaman kita. Secara harfiah, lewat layar ponselmu sendiri.

Digitalisasi pajak bukan ancaman, melainkan peluang emas yang jika dimanfaatkan dengan tepat, akan mengubah wajah Indonesia dari bangsa konsumtif menjadi bangsa kontributif.

Ketika PMK-37 Tahun 2025 diterbitkan, mungkin banyak yang mengernyit. “Marketplace memungut pajak? Gimana caranya?” Tapi hei, ini bukan pajak baru, ini cara baru yang lebih pintar. Marketplace kini tak cuma tempat belanja, tapi juga simpul perpajakan digital. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) langsung dipotong saat transaksi berlangsung. Praktis? Banget! Adil? Tentu saja!

Model ini menciptakan level playing field antara pelaku usaha digital dan konvensional. Tak ada lagi ‘penumpang gelap’ yang cuan besar tanpa kontribusi sepeser pun. Sekarang, bahkan selebgram dan konten kreator tak bisa lagi ngeles, karena endorse mereka pun masuk radar pajak. Bravo!

Dan ini bukan hanya soal penerimaan negara. Ini adalah pembenahan sistem. Negara butuh pendapatan, tapi juga butuh keteraturan. Karena kalau semua bebas tanpa pengawasan, yang kecil makin kecil dan yang besar makin kaya. Pemungutan otomatis ini menyelamatkan banyak usaha kecil dari kekacauan administratif, karena mereka tak perlu repot menghitung dan menyetor sendiri.

Masih ingat zaman dulu ketika wajib pajak harus mengurus bukti potong manual, setor ke bank, lapor ke KPP, dan semuanya butuh waktu dan tenaga? Sekarang, dengan sistem Coretax DJP, sistem tunggal yang menyatukan semua kewajiban perpajakan dalam satu dashboard digital.

Sistem ini memotong birokrasi yang panjang dan menyebalkan, mengganti berkas fisik dengan klik digital. Mulai dari penerbitan faktur, bukti potong, pembayaran hingga pelaporan, semuanya one click away. Tidak perlu lagi buka lima sistem untuk satu kewajiban. Coretax adalah jawaban atas tuntutan zaman, memudahkan dan sebagai bentuk nyata dari good governance.

Namun tentu, secanggih apa pun sistemnya, tanpa edukasi dan pendampingan, sistem hanya akan jadi menara gading digital. Maka tugas kita bersama, pemerintah, guru, pelaku usaha, dan masyarakat untuk memastikan tidak ada yang tertinggal dalam gerbong digitalisasi pajak ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun