Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Simon Bertemu Petrus: Penawaran "Franchise" yang Ditolak

10 Juni 2010   02:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:38 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 30 Masehi. Ketika jemaat mula-mula yang waktu itu bermarkas di Yerusalem mendapat aniaya, mereka kemudian tersebar ke daerah Yudea dan Samaria dan memberitakan Injil di sana. Inilah tahap berikutnya dari "nubuatan" Tuhan Yesus sebelum Ia naik ke surga, "...dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kis. 1:8).

Filipus, salah satu penatalayan jemaat, mengungsi ke daerah Samaria dan memberitakan Injil di sana. Salah satu petobat baru yang dihasilkan adalah Simon, mantan penyihir di kota itu. Simon mungkin-seperti sebagian petobat baru di Indonesia-percaya kepada Yesus Kristus karena melihat berbagai tanda dan mujizat yang dilakukan Filipus oleh pertolongan Roh Kudus.

Nah, suatu kali para rasul mendengar adanya pertobatan di tanah Samaria. Mereka pun berangkat ke sana. Para rasul, sesampainya di kota itu, berdoa dan menumpangkan tangan mereka ke atas orang percaya agar mereka menerima Roh Kudus. Mungkin terjadi tanda atau mujizat yang menakjubkan ketika jemaat Samaria itu menerima Roh Kudus, dan Simon melihatnya. Berdasarkan pengalaman dalam dunia sihir-menyihir, Simon menawarkan sejumlah uang kepada para rasul agar ia juga menerima kuasa untuk memberikan Roh Kudus seperti meraka. Simon yang baru mengenal iman Kristen mengira bahwa "ilmu" itu juga bisa diperjualbelikan. Tidak puas dengan mendapat Roh Kudus, Simon ingin "membuka gerai" agar ia bisa juga memberikan Roh Kudus pada orang lain. Inilah penawaran franchise pertama di sejarah kita. :)

Namun, para rasul dengan tegas menolak maksud Simon. Petrus (dulunya juga bernama Simon) menegor Simon dengan keras: "Binasalah kiranya uangmu itu bersama dengan engkau, karena engkau menyangka, bahwa engkau dapat membeli karunia Allah dengan uang... Jadi bertobatlah dari kejahatanmu ini dan berdoalah kepada Tuhan, supaya Ia mengampuni niat hatimu ini; sebab kulihat, bahwa hatimu telah seperti empedu yang pahit dan terjerat dalam kejahatan." (Kis. 8:20-23). Petrus dan rasul-rasul yang lain tahu betul bahwa karunia yang mereka miliki terlalu kudus dan berharga untuk diperjualbelikan. Meski Simon adalah jemaat yang potensial untuk menyokong pendanaan pelayanan, para rasul lebih mengutamakan kebenaran Allah. Perlakuan mereka tetap sama kepada jemaat, tak peduli kaya-miskin.

Di masa sekarang, saya mendapati hal sebaliknya. Para hamba Tuhan justru lebih tunduk pada jemaat yang kaya daripada kepada Allah. Ketika jemaatnya melakukan pelanggaran terhadap firman Tuhan, tidak ada tegoran yang keluar. Mereka takut, kalau-kalau jemaat kaya itu meninggalkan gereja dan beribadah ke gereja lain. Inilah gejala gereja yang menjadi "perusahaan." Gereja yang takut kehilangan donatur.

Kembali ke kisah kita. Setelah mendapatkan penolakan yang memalukan, kita pasti maklum jika Simon kecewa dengan para rasul dan meninggalkan mereka. Akan tetapi, yang terjadi kemudian sungguh mengharukan. Simon, mantan penyihir yang kaya ini, dengan penuh kerendahan hati mengakui kesalahannya. Tidak ada satupun kata pembelaan yang keluar dari mulutnya. "Hendaklah kamu berdoa untuk aku kepada Tuhan, supaya kepadaku jangan kiranya terjadi segala apa yang telah kamu katakan itu." Demikian jawabnya kepada rasul Petrus (Kis. 8:24). Hati saya seolah meneteskan air mata ketika membaca bagian ini.

Dengan banyaknya denominasi gereja saat ini, jemaat dengan mudah berpindah dari satu gereja ke gereja yang lain. Bahkan, dalam beberapa kasus, meninggalkan iman mereka sama sekali. Saya sering mendapati jemaat-jemaat kaya yang berpindah gereja, hanya karena apa yang mereka inginkan tidak terpenuhi. Jemaat seperti ini seribu kali lebih bobrok daripada Simon, si mantan penyihir!

Saya merindukan gereja seperti di Samaria. Pemimpinnya tidak silau dengan harta, jemaatnya tidak pongah dengan kekayaan mereka. Suatu hubungan harmonis terjalin satu sama lain. Tegoran pemimpin disampaikan dengan tegas namun lembut, dan jemaat yang mendapat tegoran mau merendahkan hati, menyadari dan menyesali kesalahannya. Semua orang bertumbuh di dalam Tuhan.

Kapan ya, gereja seperti itu bisa terjadi di sini? Kitalah yang harus menjawabnya. Tuhan memberkati. :D

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun