Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu...

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Polemik Si Komo

31 Oktober 2011   10:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:14 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="si Komo/blogspot"][/caption] Setelah beberapa tahun yang lalu si Komo mendadak terkenal karena dituduh sebagai biang kerok kemacetan lalu-lintas dalam sebuah lagu, kini si Komo juga dituduh oleh Persatuan Satwa-satwa Langka Nusantara (PSLN) telah mengundang polemik berkepanjangan karena keikut sertaannya dalam sebuah kontes-kontesan berjudul New 7 Wonders. Kenapa kontes-kontesan? Karena sejatinya penyelenggara kontes itu tak pernah minta ijin sekalipun via telepon atau sms kepada si Macan Kumbang, ketua PSLN saat ini. Padahal, ponsel si Macan Kumbang selalu aktif, tak pernah dimatikan. Si Komo yang mendengar tuduhan seperti itu jelas saja berang. Bukan karena merasa tidak didukung, melainkan karena dia merasa tidak tahu-menahu mengenai kontes tersebut. Yang dia tahu, teman-teman dan kerabatnya sudah mulai berkurang drastis. Ada yang mati, ada pula yang dibawa ke luar negeri. Lingkungan tempat hidupnya sudah tak begitu ramah seperti dahulu. Lagipula, si Komo justru merasa terancam keluarganya jika ia makin dikenal dunia. Dia tak bisa membayangkan seandainya seluruh spesiesnya punah, habis dijarah tangan-tangan serakah. Sahabat-sahabat dekatnya dulu, harimau Jawa dan harimau Bali, sekarang hanyalah bagian dari memori. Ingatan tentang labilnya manusia ketika berhadapan dengan uang. Dan sekarang, insting si Komo mengendus hal serupa. Namanya dicatut untuk kepentingan komersial semata. Embel-embel kebangsaan pun bahkan ikut disertakan. Bukan, bukan berarti si Komo tidak nasionalis, tetapi dia tidak begitu nyaman jika istilah sakral seperti nasionalisme ditempelkan pada hal-hal yang sesungguhnya kurang pas. Si Komo memang kebetulan saja hidup di wilayah nusantara dan karena kelangkaan dan keunikannya, dijadikan objek penelitian dan pariwisata. Amerika ataupun Malaysia, misalnya, tak berhak mengklaim dirinya sebagai salah satu hewan khas mereka, karena si Komo memang tidak berhabitat di negeri mereka. Lagipula, dikaruniai satwa khas bukan berarti harus berkompetisi. Yang lebih penting justru adalah memelihara dan melestarikan karunia Tuhan itu, bukan? Itu menurut si Komo. Si Komo menyadari, bahwa dirinya memang tercipta unik, dan itu sudah diketahui oleh (setidaknya) para ilmuwan Biologi semenjak dahulu kala. Konon, ia adalah keturunan dari satwa purba yang masih bertahan hingga abad milenium ini. Si Komo itu unik, bahkan mungkin bisa dikatakan ajaib (sampai-sampai manusia pun mengikutsertakannya dalam kontes keajaiban dunia). Tapi, bukankah sebenarnya semua ciptaan itu unik dan ajaib? Lihat saja si cicak dan tokek yang bisa jalan di semua kemiringan, atau si kunang yang bisa bersinar tanpa beli pulsa dari PLN. Lagipula, keunikan dan keajaiban si Komo sudah melekat sejak ia tercipta, tak perlu diakui dunia. Sama seperti emas adalah batu berharga, meski ia didiamkan begitu saja di sungai-sungai pedalaman Papua. Gara-gara kontes-kontesan ini, si Komo hampir-hampir saja dikucilkan dan didepak dari keanggotaan PSLN. Tapi syukurlah, setelah menjelaskan duduk perkaranya kepada Dewan Penasehat PSLN, akhirnya si Komo tidak jadi dikeluarkan. PSLN pun membuat siaran pers, yang pada intinya menghimbau kepada semua mahluk hutan agar tidak mudah terprovokasi untuk menyudutkan si Komo dan tetap memelihara jiwa persatuan di antara mereka. Yang kedua, mereka menginginkan perubahan wacana, yakni bahwa mereka tak butuh pengakuan, melainkan perhatian yang sungguh-sungguh, supaya kelangsungan hidup mereka tetap terjaga. Si Komo pun (sementara ini) akhirnya bisa bernafas lega.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun