Mohon tunggu...
Ayu Oktaviana Miftahul Jannah
Ayu Oktaviana Miftahul Jannah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis adalah healing terbaik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kapitalisme Digital dan Sunyinya Perlindungan Negara

15 Juli 2025   15:55 Diperbarui: 15 Juli 2025   17:06 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah kemajuan dunia digital yang begitu cepat, kita dihadapkan pada paradoks yang memilukan: anak-anak dan perempuan, yang seharusnya dilindungi dan diberdayakan oleh teknologi, justru menjadi kelompok paling rentan terhadap bahaya ruang siber. Berbagai laporan menyebutkan bahwa kekerasan berbasis digital, pornografi anak, perundungan daring (cyberbullying), hingga eksploitasi seksual secara daring meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Paparan konten yang tidak sesuai usia serta ketergantungan pada gawai sejak dini telah menjadikan anak-anak mudah terjerumus dalam dunia yang penuh ancaman. 

Fakta tersebut diperkuat dari ungkapan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifatul Choiri Fauzi, bahwa kebanyakan kasus kekerasan pada perempuan dan anak bermula dari penggunaan media sosial. Ia menuturkan bahwa masalah ini sangat mengkhawatirkan, mengingat anak-anak saat ini sangat mudah mengakses dunia digital tanpa adanya pengawasan dan arahan yang cukup. "Hampir semua kasus kekerasan yang menimpa atau dilakukan oleh anak-anak, penyebab utamanya adalah pengaruh dari media sosial atau gawai," ujar Arifatul saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jakarta Pusat, pada Kamis, 10 Juli 2025. (Tempo.co). 

Bersamaan dengan hal ini, Pemerintah Indonesia baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Sistem Elektronik untuk Perlindungan Anak, yang disebut sebagai PP TUNAS. Diharapkan aturan ini bisa menjadi contoh baik secara global dalam hal melindungi anak-anak di dunia maya, bahkan bagi organisasi telekomunikasi internasional seperti International Telecommunications Union.(10/7/2025, Menpan.id).

 Gadget dan Bonus Demografi : Peluang atau Bencana? 

Indonesia saat ini sedang menuju puncak bonus demografi yang digadang-gadang akan menciptakan generasi emas 2045. Namun, benarkah generasi ini sedang disiapkan dengan matang? Walaupun terdapat peluang yang baik, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga) sekaligus Kepala BKKBN, Wihaji menegaskan bahwa bonus demografi bukanlah berkah instan yang datang begitu saja. Jika tidak ditangani dengan tepat, justru bisa berbalik menjadi masalah serius seperti lonjakan pengangguran, kesenjangan sosial, dan kemiskinan di kalangan lanjut usia. (9/7/2025, Tempo.co). 

Fakta mencatat, hanya sekitar 54% wanita yang terserap di dunia kerja formal. Kemudian, hampir 20% anak-anak Indonesia masih menderita stunting karena kurangnya asupan nutrisi dalam jangka panjang. Belum lagi, tantangan juga muncul dari sisi peningkatan kualitas SDM. Rata-rata pendidikan di Indonesia masih sebatas SMP. Jika tidak ada perbaikan yang berarti, hal ini bisa memicu ledakan jumlah lansia miskin di masa mendatang. 

Di sisi lain pemakaian gadget di kalangan remaja menjadi sebuah persoalan krusial untuk meraih bonus demografi. Wihaji berpendapat pemakaian gadget yang berlebihan di usia remaja dapat membuat anak muda lebih berisiko terhadap bahaya dunia maya. (9/7/2025, AntaraNews.com). Maka dari itu, pemakaiannya perlu dikontrol agar tidak menimbulkan persoalan yang baru. Penggunaan gadget tanpa batas, bahkan sejak balita, telah menciptakan ketergantungan akut yang berimplikasi pada perkembangan psikososial anak. Tak hanya itu, anak-anak juga menjadi sasaran empuk bagi predator siber, paparan pornografi, dan ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. 

Sistem Sekuler Kapitalis dan Konsekuensinya 

Semua ini bukanlah masalah teknis semata. Lebih dalam lagi, masalah ini adalah konsekuensi dari sistem kehidupan sekuler kapitalistik yang mengesampingkan nilai-nilai agama dan moral dalam penyusunan kebijakan publik. Dalam sistem kapitalisme, teknologi bukan dilihat sebagai alat untuk membangun peradaban mulia, tetapi sebagai komoditas yang mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Maka jangan heran jika negara lebih sibuk mengejar percepatan transformasi digital daripada menjamin ruang siber yang aman dan sehat.

 Kehidupan yang dipandu oleh sekularisme telah menjauhkan manusia dari kontrol moral. Sementara penguasaan atas dunia siber oleh pihak asing tidak hanya menjadi ancaman kultural, tapi juga ancaman terhadap kedaulatan negara. Sebab, siapa yang menguasai data dan algoritma, dialah yang sesungguhnya menguasai arah sosial-politik suatu bangsa.

 Penggunaan teknologi tanpa iman dan tanpa batas dalam sistem sekuler ini menghasilkan ruang digital yang bebas, vulgar, dan mematikan secara perlahan. Ruang siber tidak hanya mengancam moral anak-anak, tetapi juga membuka peluang penjajahan gaya baru oleh kekuatan global melalui teknologi. 

Negara Hadir sebagai Junnah 

Dalam Islam, negara wajib hadir sebagai junnah (pelindung dan penjaga umat) dari segala bentuk kerusakan. Negara tidak cukup hanya mengeluarkan aturan-aturan normatif, tetapi harus secara aktif membangun ekosistem digital yang sehat dan mandiri. Dalam konteks ini, peran negara sangat krusial dalam:

 1.Pendidikan Digital Berbasis Akidah dan Akhlak Negara seharusnya menyusun kurikulum pendidikan digital yang tidak hanya berbasis teknis, tetapi juga membangun kesadaran moral dan nilai Islami sejak usia dini. 

2.Kontrol Ketat atas Konten Berbahaya Negara wajib menutup akses terhadap situs pornografi, kekerasan, dan konten yang merusak akhlak anak-anak. Pengawasan ini tidak boleh setengah-setengah. 

3.Kemandirian Infrastruktur Teknologi Negara harus membangun sistem komunikasi, data center, dan platform digital yang tidak bergantung pada teknologi asing. Hal ini penting untuk menjamin keamanan data dan kemerdekaan informasi. 

4.Penegakan Hukum Tegas terhadap Pelaku Kejahatan Siber Pelaku kekerasan digital, eksploitasi anak, dan penyebar konten haram harus dijatuhi hukuman tegas dengan mekanisme hukum yang adil. 

Sayangnya, sistem demokrasi sekuler saat ini tidak menjadikan iman dan syariat sebagai fondasi kebijakan. Perlindungan hanya sebatas jargon dalam peraturan, tanpa implementasi menyeluruh. 

Solusi Sistemik Dunia Siber yang Aman 

Khilafah adalah bentuk pemerintahan Islam yang menerapkan syariat secara menyeluruh (kaffah), termasuk dalam bidang teknologi dan informasi. Dalam sistem Khilafah teknologi tidak dibiarkan berkembang secara liar tanpa arah, melainkan diarahkan oleh negara agar tetap berada dalam jalur halal dan membawa maslahat bagi umat. Setiap inovasi dan pemanfaatan teknologi dikontrol berdasarkan hukum syariat, sehingga tidak keluar dari batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Ruang digital pun akan disterilkan dari berbagai konten haram seperti pornografi, kekerasan, dan segala bentuk kemaksiatan lainnya melalui sistem pengawasan ketat yang berbasis syariat Islam. 

Negara Islam juga tidak akan menggantungkan infrastruktur teknologinya pada negara asing atau perusahaan kapitalis global, melainkan akan membangun dan mengembangkan sistem teknologi sendiri untuk menjaga independensi dan kedaulatan informasi. Selain itu, pendidikan digital akan dibangun di atas landasan tauhid, mengajarkan masyarakat terutama generasi muda untuk menggunakan teknologi sebagai sarana dakwah, penyebaran ilmu, dan kemaslahatan umat, bukan sebagai alat hiburan yang sia-sia atau sarana bermaksiat. Dengan sistem seperti ini, kemajuan teknologi tidak akan menjadi ancaman, tetapi menjadi bagian dari peradaban mulia yang membawa keberkahan dunia dan akhirat.

Negara Islam tidak anti-teknologi. Justru dalam sejarahnya, peradaban Islam di era Khilafah memimpin dunia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun teknologi dalam Islam digunakan untuk menjaga kehormatan manusia, bukan merusaknya.

 Khatimah 

Hari ini kita menyaksikan anak-anak yang kehilangan arah, perempuan yang menjadi korban eksploitasi digital, dan negara yang tidak hadir sebagai pelindung. Sistem sekuler kapitalis telah gagal memberikan jaminan keselamatan. Alih-alih melindungi, sistem ini justru menjadikan anak-anak sebagai target pasar yang menguntungkan. Sudah saatnya kita kembali pada sistem yang menempatkan iman dan akhlak sebagai dasar pengaturan kehidupan. Perlindungan digital yang sejati hanya akan terwujud ketika Islam ditegakkan secara menyeluruh dalam sistem pemerintahan. Hanya Khilafah yang mampu menjamin keamanan siber yang hakiki bukan hanya untuk dunia, tetapi juga akhirat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun