Di tengah kemajuan dunia digital yang begitu cepat, kita dihadapkan pada paradoks yang memilukan: anak-anak dan perempuan, yang seharusnya dilindungi dan diberdayakan oleh teknologi, justru menjadi kelompok paling rentan terhadap bahaya ruang siber. Berbagai laporan menyebutkan bahwa kekerasan berbasis digital, pornografi anak, perundungan daring (cyberbullying), hingga eksploitasi seksual secara daring meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Paparan konten yang tidak sesuai usia serta ketergantungan pada gawai sejak dini telah menjadikan anak-anak mudah terjerumus dalam dunia yang penuh ancaman.Â
Fakta tersebut diperkuat dari ungkapan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifatul Choiri Fauzi, bahwa kebanyakan kasus kekerasan pada perempuan dan anak bermula dari penggunaan media sosial. Ia menuturkan bahwa masalah ini sangat mengkhawatirkan, mengingat anak-anak saat ini sangat mudah mengakses dunia digital tanpa adanya pengawasan dan arahan yang cukup. "Hampir semua kasus kekerasan yang menimpa atau dilakukan oleh anak-anak, penyebab utamanya adalah pengaruh dari media sosial atau gawai," ujar Arifatul saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jakarta Pusat, pada Kamis, 10 Juli 2025. (Tempo.co).Â
Bersamaan dengan hal ini, Pemerintah Indonesia baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Sistem Elektronik untuk Perlindungan Anak, yang disebut sebagai PP TUNAS. Diharapkan aturan ini bisa menjadi contoh baik secara global dalam hal melindungi anak-anak di dunia maya, bahkan bagi organisasi telekomunikasi internasional seperti International Telecommunications Union.(10/7/2025, Menpan.id).
 Gadget dan Bonus Demografi : Peluang atau Bencana?Â
Indonesia saat ini sedang menuju puncak bonus demografi yang digadang-gadang akan menciptakan generasi emas 2045. Namun, benarkah generasi ini sedang disiapkan dengan matang? Walaupun terdapat peluang yang baik, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga) sekaligus Kepala BKKBN, Wihaji menegaskan bahwa bonus demografi bukanlah berkah instan yang datang begitu saja. Jika tidak ditangani dengan tepat, justru bisa berbalik menjadi masalah serius seperti lonjakan pengangguran, kesenjangan sosial, dan kemiskinan di kalangan lanjut usia. (9/7/2025, Tempo.co).Â
Fakta mencatat, hanya sekitar 54% wanita yang terserap di dunia kerja formal. Kemudian, hampir 20% anak-anak Indonesia masih menderita stunting karena kurangnya asupan nutrisi dalam jangka panjang. Belum lagi, tantangan juga muncul dari sisi peningkatan kualitas SDM. Rata-rata pendidikan di Indonesia masih sebatas SMP. Jika tidak ada perbaikan yang berarti, hal ini bisa memicu ledakan jumlah lansia miskin di masa mendatang.Â
Di sisi lain pemakaian gadget di kalangan remaja menjadi sebuah persoalan krusial untuk meraih bonus demografi. Wihaji berpendapat pemakaian gadget yang berlebihan di usia remaja dapat membuat anak muda lebih berisiko terhadap bahaya dunia maya. (9/7/2025, AntaraNews.com). Maka dari itu, pemakaiannya perlu dikontrol agar tidak menimbulkan persoalan yang baru. Penggunaan gadget tanpa batas, bahkan sejak balita, telah menciptakan ketergantungan akut yang berimplikasi pada perkembangan psikososial anak. Tak hanya itu, anak-anak juga menjadi sasaran empuk bagi predator siber, paparan pornografi, dan ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa.Â
Sistem Sekuler Kapitalis dan KonsekuensinyaÂ
Semua ini bukanlah masalah teknis semata. Lebih dalam lagi, masalah ini adalah konsekuensi dari sistem kehidupan sekuler kapitalistik yang mengesampingkan nilai-nilai agama dan moral dalam penyusunan kebijakan publik. Dalam sistem kapitalisme, teknologi bukan dilihat sebagai alat untuk membangun peradaban mulia, tetapi sebagai komoditas yang mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Maka jangan heran jika negara lebih sibuk mengejar percepatan transformasi digital daripada menjamin ruang siber yang aman dan sehat.
 Kehidupan yang dipandu oleh sekularisme telah menjauhkan manusia dari kontrol moral. Sementara penguasaan atas dunia siber oleh pihak asing tidak hanya menjadi ancaman kultural, tapi juga ancaman terhadap kedaulatan negara. Sebab, siapa yang menguasai data dan algoritma, dialah yang sesungguhnya menguasai arah sosial-politik suatu bangsa.
 Penggunaan teknologi tanpa iman dan tanpa batas dalam sistem sekuler ini menghasilkan ruang digital yang bebas, vulgar, dan mematikan secara perlahan. Ruang siber tidak hanya mengancam moral anak-anak, tetapi juga membuka peluang penjajahan gaya baru oleh kekuatan global melalui teknologi.Â