Manusia sangat menyukai dan menikmati penggunaan plastik dalam berbagai aktivitasnya sehari-hari mulai dari penggunaannya sebagai kantong belanja hingga penggunaannya sebagai peralatan makan dan minum seperti gelas, piring, sendok dan sebagainya. Plastik dianggap selain lebih awet dan praktis untuk digunakan, plastik juga mudah ditemukan di pasaran dan harganya terjangkau. Mengutip penelitian dari Ivar Do Sul & Costa (2014), saat ini plastik sintetik yang paling sering digunakan adalah low- and high- density polyethylene (PE), polypropylene (PP), polyvinyl chloride (PVC), polystyrene (PS) dan polyethylene terephthalate (PET). Banyaknya penggunaan plastik dan sifat plastik yang sulit terurai (non-biodegredable) membuat timbulnya berbagai macam masalah lingkungan, salah satunya adalah terjadinya pencemaran plastik. Plastik-plastik yang tidak terurai akan hanyut hingga ke laut dan mencemari ekosistem laut. Menurut Eriksen et al. (2013), puing-puing plastik yang mengambang, termasuk mikroplastik, telah dilaporkan di wilayah subtropis sejak awal tahun 1970-an di Atlantik, Pasifik Utara, Pasifik Selatan dan di luar wilayah subtropis di lingkungan dekat pantai. Limbah plastik umumnya menyumbang 50-90% dari semua sampah laut (Blair, Waldron, Phoenix, & Gauchotte-Lindsay, 2017).
Mikroplastik adalah salah satu jenis plastik yang mempunyai ukuran kurang dari 5 mm hingga 0,33 mm (Fachrul & Rinanti, 2018). Mikroplastik terbagi menjadi mikroplastik primer dan sekunder. Mikroplastik primer diproduksi dan digunakan sebagai pelet resin untuk menghasilkan barang yang lebih besar atau secara langsung dalam produk kosmetik seperti scrub wajah dan pasta gigi (Wagner & Lambert, 2018). Mikroplastik sekunder adalah partikel plastik berukuran kecil yang dihasilkan karena degradasi makroplastik (limbah plastik terbuang) akibat fotodegradasi/proses pelapukan lainnya atau aktivitas biologis selama periode waktu (Shahnawaz, Sangale, & Ade, 2019).
 Menurut Boucher & Friot (2017), pada tahun 2014 sekitar 15–51 triliun keping mikroplastik (setara dengan 93.000–236.000 metrik ton) diperkirakan berada di lautan di tingkat global. Pencemaran mikroplastik juga tidak dapat terhindarkan di lautan Indonesia. Berbagai jenis dan bentuk mikroplastik banyak ditemukan di beberapa lokasi yaitu Teluk Jakarta; pulau-pulau kecil di Bintan, Riau; dan Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Mayoritas mikroplastik di Teluk Jakarta adalah low density polypropylene (PP) (Manalu, Hariyadi, & Wardiatno, 2017). Mayoritas mikroplastik di pulau-pulau kecil Bintan, Riau didominasi oleh PP, PE, LDPE dan PS (Syakti et al., 2018). Di perairan Sumba, NTT mikroplastik didominasi oleh polietilen, polipropilen, polistirena, dan poliamida (Cordova & Hernawan, 2018). Â
Menurut pendapat ahli gizi dari Persatuan Ahli Gizi (Persagi) dalam kompas.com, mengatakan bahwa, 90% mikroplastik yang ditelan manusia akan masuk melalui saluran cerna yang pada akhirnya dibuang melalui feses. Namun, apabila mikroba patogen ikut serta di dalam mikroplasktik, akan sangat mungkin partikel masuk ke peredaran darah. Hal ini yang bisa menginfeksi tubuh yang kemudian memberikan beberapa efek. Mulai dari efek keracunan, kerusakan jaringan, hingga kematian.
Ancaman pencemaran plastik tidak hanya untuk kesehatan manusia, namun juga menyerang biota-biota laut. Beberapa foto viral di sosial media, seperti foto penyu yang mulutnya terperangkap kantong plastik atau paus yang mati terdampar di pantai yang ternyata menelan berkilo-kilo sampah plastik. Tidak hanya itu, sampah plastik yang berada di laut, akhirnya hancur menjadi pecahan mikroplastik dan mencemari hewan-hewan termasuk ikan di lautan yang dikonsumsi manusia. Mikroplastik sangat berbahaya karena dapat mencapai organisme laut terkecil seperti plankton dan benthic. Mikroplastik mengandung zat aditif serta berpotensi menjadi rute paparan bahan kimia berbahaya. Mikroplastik juga dapat bertindak sebagai vektor untuk pengangkutan polutan organik persisten (POPs) dari lingkungan ke biota.Â
Berdasarkan laporan PBB pada tahun 2016, tercatat lebih dari 800 spesies hewan terkontaminasi plastik melalui saluran cerna. Untuk menghindari hal-hal yang mengerikan karena mikroplastik, maka diperlukan berbagai macam strategi untuk mengurangi dan mengendalikan pencemaran mikroplastik. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah mengganti pemakaian plastik tradisional (non-biodegradable) dengan penggunaan biodegradable plastic (bioplastic) dan penerapan teknik bioremediasi.Â
Plastik biodegradable adalah plastik yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat terdegradasi melalui aksi mikroorganisme yang terjadi secara alami. Bahan baku yang dapat digunakan untuk pembuatan bioplastic diantaranya pati, selulosa, dan Poly Lactic Acid (PLA). Menurut Kamsiati, Herawati, & Purwani (2017), pati dapat diperoleh dari tanaman sumber karbohidrat seperti sagu,jagung,  ubi  kayu,  ubi  jalar,  dan  umbi-umbian  lainnya. Selulosa dapat diperoleh dari limbah pertanian seperti jerami, tongkol jagung, dan pelepah nenas. PLA merupakan hasil fermentasi bakteri asam laktat terhadap substrat yang mengandung gula. Polyhydroxylkanoate (PHA) dan Poly-3-hydroxybutyrate (PHB) juga sering digunakan sebagai bahan baku bioplastic. Reddy, Reddy, & Gupta (2013) menjelaskan bahwa PHA berasal dari konversi gula alami dan minyak menggunakan mikroba yang dapat diolah menjadi sejumlah bahan termasuk barang cetakan, serat dan film yang biodegradable dan bahkan telah digunakan sebagai pelapis tahan air. Poly-3-hydroxybutyrate (PHB) adalah poliester dengan sifat termoplastik yang terjadi secara alami dan diproduksi oleh bakteri seperti Ralstonia eutropha H16 dan Bacillus megaterium (Hempel et al., 2011).
Kemudian, teknik bioremediasi juga dapat menjadi alternatif pengendalian pencemaran mikroplastik. Tujuan utama bioremediasi adalah untuk membersihkan atau mengembalikan lingkungan yang terkontaminasi dengan biaya rendah dan metode ramah lingkungan menggunakan mikroorganisme sebagai pemain kunci. Mikroba ini menargetkan limbah untuk mendapatkan sumber karbohidrat dan kebutuhan nutrisi lainnya yang diperlukan untuk kelangsungan hidup (Shahnawaz et al., 2019). Terdapat beberapa mikroorganisme yang dapat digunakan untuk mendegradasi mikroplastik meliputi Shewanella, Moritella sp., Psychrobacter sp., dan Pseudomonas sp. yang dapat mendegradasi PCL; Vibrio alginolyticus dan Vibrio parahemolyticus yang dapat mendegradasi PVA-LLDPE; Zalerion maritimum yang dapat mendegradasi PE; Aspergillus versicolor dan Aspergillus sp. yang dapat mendegradasi LDPE (Urbanek, Rymowicz, & Mirończuk, 2018).
Referensi