Mohon tunggu...
Ayu Kusuma Pertiwi
Ayu Kusuma Pertiwi Mohon Tunggu... Peneliti - Puskaha Indonesia

Peneliti dan aktivis yang bekerja pada isu terkait lingkungan, hukum, dan hak asasi manusia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Melintasi Terowongan Menuju 'Dunia Roh Spirited Away' Studio Ghibli

2 Oktober 2025   20:53 Diperbarui: 3 Oktober 2025   01:03 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengkonstruksi ulang cara pandang Indonesia terhadap hak makhluk bukan manusia.

Tidak pernah terlintas di benak Chihiro bahwa terowongan gelap itu adalah ruang liminal yang menghubungkan dunia manusia yang ia kenal dengan dunia para roh. Ia dan kedua orang tuanya berlama-lama di sana hingga senja tiba, saat batas antara dua dunia itu semakin menipis. Dari situlah awal petualangan Chihiro dimulai, kisah transisi menuju kedewasaan seorang gadis berusia 10 tahun di Kami, dunia roh dalam film animasi Jepang (anime) epik Studio Ghibli, Spirited Away. Dalam usahanya menyelamatkan orang tuanya, Chihiro bekerja di pemandian supernatural milik seorang penyihir dan berjumpa dengan berbagai roh, mulai dari roh bau yang melambangkan sungai tercemar hingga sosok ikonik No-Face, makhluk bertopeng putih dengan tubuh hitam.


Spirited Away adalah film kedelapan Studio Ghibli yang ditulis sekaligus disutradarai oleh Hayao Miyazaki dan tayang perdana di Jepang pada tahun 2001. Film ini meraih penghargaan sebagai Film Animasi Terbaik pada Academy Awards ke-75 pada 2003, dan hingga kini menjadi satu-satunya film anime yang berhasil memenangkan kategori tersebut (The Hollywood Reporter, 2021).


Pengalaman Chihiro memasuki 'dunia baru' yang penuh makhluk asing sejatinya tidak jauh berbeda dengan hubungan manusia dengan makhluk bukan manusia di bumi ini. Kita semua hidup di planet biru yang sama: planet bumi, tetapi urbanisasi telah menjauhkan manusia dari alam. Pengetahuan tentang lingkungan dan keanekaragaman hayati sering kali berhenti pada teori atau pandangan antroposentris yang menempatkan manusia di pusat, tapi memandang makhluk lain semata dari segi kebermanfaatannya bagi kita.


Logika konsumerisme dari kapitalisme global memperkuat cara pandang ini, menjadikan alam sebatas produk atau komoditas demi keuntungan. Namun, pandangan dunia mulai bergeser, terutama diakibatkan oleh krisis lingkungan dan iklim yang semakin parah. Kesadaran individu global tentang isu ekologi kini terhubung dengan pengetahuan kolektif komunitas yang hidup lebih dekat dengan alam, yang berlandaskan prinsip saling ketergantungan dan koeksistensi, bahwa semua kehidupan di bumi ini terkait, tak terpisah, dan saling memengaruhi.


Dari kesadaran itu berkembang cara baru melihat aktivitas manusia, misalnya reforestasi, pertanian berkelanjutan, konservasi hutan dan satwa. Bahkan perilaku sehari-hari, seperti konsumsi berkelanjutan melalui etika konsumerisme, termasuk veganisme, bukan semata-mata prinsip tidak memakan hewan, tapi juga penolakan terhadap segala bentuk eksploitasi hewan. Pada dasarnya kesadaran bahwa 'kesadaran' itu sendiri bukan monopoli manusia semakin bertumbuh. Sebab, makhluk bukan manusia, mulai dari hewan, tumbuhan, hingga ekosistem, memiliki bentuk kesadarannya masing-masing. Jamur, misalnya, meski tidak memiliki otak, mampu menunjukkan tanda-tanda kecerdasan, seperti mengingat, belajar dari pengalaman, bahkan membuat keputusan (Fungal Ecology, 20204).


Pergeseran cara pandang ini juga melahirkan perkembangan hukum yang disebut nonhuman personhood, atau pengakuan subjek hukum bagi makhluk bukan manusia. Pada 2015, pengadilan di Argentina mengakui Sandra, orangutan, sebagai subjek hukum bukan manusia beserta hak-haknya. Lahir di Jerman, Sandra hidup 25 tahun di Kebun Binatang Buenos Aires tanpa pernah bertemu orangutan lain, sampai melahirkan anaknya, Gembira. Gembira dipindahkan ke kebun binatang di Tiongkok saat berusia dua tahun, dan setelahnya Sandra mengalami tekanan mental. Kasusnya kemudian dibawa ke pengadilan oleh kelompok pengacara untuk hak-hak hewan AFADA (Abogados por los Derechos de los Animales) untuk menuntut kehidupan yang lebih layak bagi Sandra (Eco Jurisprudence Monitor, 2025).


Pengadilan memenangkan Sandra berdasarkan prinsip habeas corpus, yakni hak tradisional untuk bebas dari penahanan sewenang-wenang, dan menyatakannya sebagai makhluk hidup dengan perasaan dan pikiran yang dilanggar oleh kurungan. Putusan bersejarah oleh Hakim Elena Liberatori pada 2015 tersebut mengubah status Sandra dari 'properti' menjadi subjek hukum dengan hak atas kondisi hidup terbaik. Kini, di usia 39 tahun, Sandra tinggal di Center for Great Apes di Florida bersama puluhan orangutan dan simpanse yang diselamatkan dari eksploitasi.

Sumber: WALHI Kalimantan Tengah
Sumber: WALHI Kalimantan Tengah


Prinsip dasar dari perlindungan terhadap Sandra berdasarkan personhood adalah bahwa mereka adalah makhluk hidup yang berperasaan, dan hak pertama mereka adalah kewajiban manusia untuk menghormati mereka. Dalam konteks Indonesia satwa dilindungi seperti orangutan, masih menghadapi banyak ancaman terhadap penghormatan dan perlindungan hak mereka. Perburuan ilegal, penyelundupan, dan perdagangan satwa liar, termasuk orangutan, masih marak, bahkan kini berkembang secara dalam jaringan (daring) melalui media sosial dan platform jual beli daring. Salah satu kasus yang sempat ramai adalah terkait bupati Tapanuli Utara yang diketahui memelihara bayi orangutan Tapanuli di rumah dinasnya selama empat bulan. Padahal orangutan adalah satwa yang dilindungi berdasarkan hukum Indonesia, dan diatur ancaman hingga lima tahun penjara apabila terbukti memeliharanya.


Tentu saja akar persoalan yang ada tidak sederhana, seperti faktor ekonomi, budaya, hingga permintaan pasar gelap. Namun yang paling mendasar adalah lemahnya regulasi dan penegakan hukum yang berlaku. Pengaturan konservasi telah diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2024 yang merevisi UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, dan tidak lepas dari masalah, mulai dari proses legislasi undang-undang yang tidak transparan, tumpang tindih kewenangan antar lembaga, serta aturan yang justru mengancam masyarakat adat dan komunitas lokal. Sejumlah kelompok masyarakat sipil bahkan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mengkritik bahwa undang-undang tersebut tidak memiliki visi ekologis yang jelas dan justru berpotensi menimbulkan kriminalisasi, perampasan hak, dan diskriminasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun