Pendahuluan
Bayangkan Anda berdiri di tengah hamparan sawah subak di Canggu, menikmati siluet pura di kejauhan saat matahari terbenam. Pemandangan yang ikonik, damai, dan merepresentasikan jiwa Bali. Namun, kedamaian itu perlahan terinterupsi oleh deru mesin konstruksi dari villa mewah yang sedang dibangun di sebelahnya. Jalanan kecil yang dulu lengang kini macet oleh kendaraan, dan aliran air di selokan tak lagi jernih. Fenomena ini adalah potret Bali hari ini, sebuah pulau yang dipuja karena kearifan lokalnya tentang harmoni, Tri Hita Karana, namun secara bersamaan berjuang melawan dampak pembangunan yang terkadang terasa disharmonis. Filosofi ini secara resmi diadopsi sebagai landasan kebijakan pembangunan provinsi, namun jurang antara idealisme dalam dokumen dan realitas di lapangan semakin melebar. Artikel ini tidak hanya akan menyoroti paradoks tersebut, tetapi juga menggali bagaimana merekonstruksi nilai-nilai luhur Tri Hita Karana ke dalam manajemen organisasi dan praktik kehidupan sehari-hari bisa menjadi kunci untuk menyelamatkan roh Bali yang sesungguhnya.
Latar Belakang Masalah
Urgensi untuk membahas topik ini bukan lagi sekadar wacana akademis, melainkan sebuah panggilan untuk bertindak. Fakta di lapangan menunjukkan gejala ketidakseimbangan yang serius. Pertama, krisis ekologis (Palemahan). Data menunjukkan laju alih fungsi lahan sawah di Bali mencapai ratusan hektar per tahun, tergantikan oleh hotel, villa, dan perumahan. Pembangunan masif di area resapan air turut memperparah risiko banjir di wilayah seperti Denpasar dan Kuta. Masalah sampah menjadi bom waktu, dengan TPA Suwung yang berulang kali mengalami kelebihan kapasitas dan kebakaran, mencemari udara dan tanah. Kedua, tekanan sosial-ekonomi (Pawongan). Perekonomian Bali sangat bergantung pada pariwisata, sebuah sektor yang rentan terhadap guncangan global seperti pandemi. Ketergantungan ini menciptakan ketimpangan, di mana tidak semua lapisan masyarakat dapat menikmati "kue" pariwisata secara adil. Komersialisasi budaya juga berisiko mengikis otentisitas hubungan sosial yang tulus. Ketiga, pergeseran nilai (Parhyangan). Ketika lahan dengan nilai sakral diubah menjadi properti komersial, terjadi desakralisasi ruang. Fokus pada materialisme berpotensi menggerus fondasi spiritual yang selama ini menjadi kekuatan masyarakat Bali. Kegagalan menyeimbangkan ketiga pilar ini menunjukkan bahwa Tri Hita Karana dalam praktiknya seringkali hanya menjadi jargon, kalah oleh desakan kepentingan ekonomi jangka pendek.
Pembahasan
Memahami Tri Hita Karana: Sebuah Sistem Operasi Kehidupan
Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami bahwa Tri Hita Karana bukanlah sekadar slogan pariwisata. Ia adalah sebuah "sistem operasi" holistik yang memandu kehidupan. Prinsipnya sederhana namun mendalam yaitu kebahagiaan sejati (hita) lahir dari tiga (tri) sumber (karana) yang harmonis.
- Parhyangan: Hubungan harmonis dengan Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa). Ini adalah dimensi vertikal, sumber etika, moralitas, dan rasa syukur.
- Pawongan: Hubungan harmonis dengan sesama manusia. Ini adalah dimensi sosial, yang diwujudkan melalui gotong royong, toleransi, dan keadilan.
- Palemahan: Hubungan harmonis dengan alam lingkungan. Ini adalah dimensi ekologis, di mana manusia sadar perannya sebagai penjaga, bukan penakluk alam.
Ketiganya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Merusak alam (Palemahan) akan memicu bencana yang merugikan sesama (Pawongan) dan merupakan wujud ketidaksyukuran pada Sang Pencipta (Parhyangan).
Kebijakan di Atas Kertas vs. Realitas di Lapangan
Pemerintah Provinsi Bali sebenarnya telah berupaya mengintegrasikan Tri Hita Karana ke dalam kerangka regulasi. Berbagai produk hukum telah lahir, seperti:
- Perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Provinsi Bali, yang menetapkan bahwa kawasan lindung, kawasan suci, dan zona hijau tidak boleh dialihfungsikan.
- Pergub Bali No. 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai, sebuah kebijakan populer untuk menjaga Palemahan.
- Konsep pembangunan "Nangun Sat Kerthi Loka Bali", yang secara eksplisit bertujuan menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali.