Mohon tunggu...
Ayu Diahantari
Ayu Diahantari Mohon Tunggu... Guru

hobby Menyanyi, membaca dan Akting, karakter ceria namun terkadang cuek kadang juga perhatian tergantung kondisi dan situasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bali Di Pesimpangan Jalan: Masihkan Tri Hita Karana Menjadi Roh Pembangunan

13 Oktober 2025   03:54 Diperbarui: 13 Oktober 2025   03:54 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mind Mapping Bali Di pesimpoangan Jalan, Sumber Pribadi: Modifikasi dari Aplikasi Canva

Namun, mengapa implementasinya seringkali timpang? Analisisnya menunjukkan beberapa celah. Kebijakan tata ruang yang ideal seringkali berhadapan dengan tekanan ekonomi dan lemahnya penegakan hukum. Izin mendirikan bangunan (IMB) terkadang bisa "dinegosiasikan", mengabaikan prinsip-prinsip arsitektur Bali (Asta Kosala Kosali) yang menghormati kontur alam dan skala manusia. Kebijakan pengurangan sampah plastik memang bagus, namun belum diimbangi dengan sistem pengelolaan sampah dari hulu ke hilir yang komprehensif. Inilah jurang antara kebijakan makro dan praktik di level mikro.

Rekonstruksi Nilai: Manajemen Berbasis Tri Hita Karana sebagai Solusi

Di sinilah peran rekonstruksi nilai menjadi vital. Kebijakan dari atas (top-down) tidak akan efektif tanpa kesadaran dan praktik dari bawah (bottom-up). Inilah saatnya membawa Tri Hita Karana dari dokumen pemerintah ke dalam ruang rapat perusahaan dan ruang keluarga.

1. Implementasi dalam Manajemen Organisasi (Contoh: Industri Perhotelan)

Hotel, sebagai salah satu motor utama pariwisata Bali, bisa menjadi agen perubahan alih-alih menjadi bagian dari masalah.

  • Manajemen Parhyangan:
    • Bukan Sekadar Ornamen: Menggunakan arsitektur Bali bukan hanya sebagai estetika, tetapi memahami filosofinya. Misalnya, menyediakan Padmasana (tempat ibadah kecil) yang layak bagi karyawan dan tamu beragama Hindu.
    • Menghormati Jadwal Ritual: Memberikan kelonggaran dan dukungan bagi karyawan untuk melaksanakan kewajiban upacara adat dan agama, tanpa memotong upah. Ini membangun loyalitas dan ketenangan batin karyawan.
  • Manajemen Pawongan:
    • Pemberdayaan Komunitas: Alih-alih hanya merekrut tenaga kerja, hotel dapat bermitra dengan banjar (komunitas desa adat) sekitar. Membeli pasokan sayur, buah, dan kebutuhan lainnya dari petani lokal, bukan dari pemasok besar luar daerah.
    • Kesejahteraan Karyawan: Menerapkan upah yang adil, memberikan pelatihan, dan menciptakan lingkungan kerja yang saling menghormati. Karyawan yang sejahtera akan memberikan pelayanan yang tulus, bukan sekadar senyum transaksional.
    • CSR yang Tepat Sasaran: Program Corporate Social Responsibility (CSR) yang berfokus pada kebutuhan nyata masyarakat sekitar, seperti beasiswa untuk anak kurang mampu atau perbaikan fasilitas desa.
  • Manajemen Palemahan:
    • Menuju Zero Waste: Mengimplementasikan sistem pemilahan sampah yang ketat di seluruh area hotel. Mengolah sampah organik menjadi kompos untuk taman hotel dan bekerja sama dengan bank sampah lokal untuk sampah anorganik.
    • Konservasi Air dan Energi: Menggunakan teknologi hemat air (misalnya, sistem daur ulang greywater untuk menyiram taman), memasang panel surya, dan mengedukasi tamu untuk berpartisipasi dalam program penghematan energi.
    • Desain Berkelanjutan: Saat membangun atau merenovasi, menggunakan material lokal yang ramah lingkungan dan desain yang memaksimalkan sirkulasi udara alami untuk mengurangi ketergantungan pada AC.

2. Implementasi dalam Kehidupan Personal Sehari-hari

Perubahan besar selalu dimulai dari individu.

  • Parhyangan: Meluangkan waktu untuk hening dan bersyukur setiap hari, bukan hanya saat hari raya. Menjaga ucapan dan pikiran agar tetap positif.
  • Pawongan: Memilih untuk berbelanja di warung tetangga atau pasar tradisional ketimbang di jaringan supermarket besar. Terlibat aktif dalam kegiatan gotong royong di lingkungan tempat tinggal. Menjadi pengguna media sosial yang bijak, tidak menyebar kebencian.
  • Palemahan: Membawa tas belanja dan botol minum sendiri. Memilah sampah rumah tangga. Mematikan lampu dan alat elektronik saat tidak digunakan. Hal-hal kecil ini, jika dilakukan secara kolektif, akan berdampak masif.

Penutup

Bali saat ini memang berada di persimpangan jalan. Tantangan pembangunan yang dihadapinya adalah cerminan dari adanya diskoneksi antara nilai luhur Tri Hita Karana yang tertuang dalam kebijakan dengan praktik nyata di lapangan. Regulasi pemerintah adalah fondasi yang penting, namun tidak akan cukup tanpa "roh" yang menghidupinya. Roh itu hanya bisa hadir melalui rekonstruksi nilai ke dalam sistem manajemen organisasi dan kesadaran dalam tindakan personal sehari-hari. Setiap dari kita, baik sebagai pemerintah, pengusaha, masyarakat lokal, maupun wisatawan, memiliki andil dalam menentukan arah masa depan Bali. Sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: apakah tindakan kita hari ini membangun keharmonisan atau justru memperlebar jurang ketidakseimbangan? Tri Hita Karana bukanlah warisan untuk dipajang di museum, melainkan kompas yang harus digunakan untuk menavigasi zaman. Diharapkan sinergi antara kebijakan pemerintah yang tegas dan penegakan hukum yang tanpa kompromi dapat bertemu dengan gerakan kolektif dari sektor swasta dan masyarakat untuk menerapkan manajemen berbasis Tri Hita Karana. Semoga falsafah ini tidak hanya menjadi identitas Bali, tetapi menjadi solusi nyata yang memastikan bahwa pembangunan ekonomi berjalan selaras dengan kelestarian alam, keadilan sosial, dan kedamaian spiritual.

Referensi

  • Pemerintah Provinsi Bali. (2019). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun 2018-2023.
  • Pemerintah Provinsi Bali. (2018). Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.
  • Putra, I. N. D. (2016). Tri Hita Karana as a Local Wisdom of Hindu in Bali to Maintain the Harmonious of Human and Environment. Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies).
  • Warren, C. (1993). Adat and Dinas: Balinese Communities in the Indonesian State. Oxford University Press.
  • BPS Provinsi Bali. (Berbagai Tahun). Provinsi Bali dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun