Mohon tunggu...
Ayu Diahantari
Ayu Diahantari Mohon Tunggu... Guru

hobby Menyanyi, membaca dan Akting, karakter ceria namun terkadang cuek kadang juga perhatian tergantung kondisi dan situasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membangun Ruang, Membentuk Manusia: Bagaimana Filosofi Tri Hita Karana Menjawab Krisis Zaman Modern?

6 Oktober 2025   14:13 Diperbarui: 6 Oktober 2025   14:33 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mind Mapping Membangun Ruang, Membentuk Manusia ,  Sumber: Foto Pribadi (Design Canva)

Membangun Karakter di SMA: "Arsitektur Jiwa" Berbasis Tri Hita Karana

Jika Asta Kosala Kosali adalah panduan untuk membangun ruang fisik, maka pendidikan karakter berbasis Tri Hita Karana adalah panduan untuk membangun "arsitektur jiwa" siswa di sekolah. Implementasinya dapat diintegrasikan melalui empat pilar: proses pembelajaran di kelas, budaya sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan kerja sama dengan masyarakat.

  1. Menumbuhkan Nilai Parhyangan (Hubungan dengan Tuhan) Tujuannya adalah membentuk siswa yang religius, toleran, dan penuh rasa syukur.
    • Pembiasaan Doa: Memulai dan mengakhiri pelajaran dengan doa bersama sesuai agama masing-masing. Bagi siswa Hindu, bisa dilakukan persembahyangan Trisandya bersama di pura sekolah. Praktik ini menanamkan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan adalah anugerah Tuhan.
    • Peringatan Hari Besar Keagamaan: Sekolah secara aktif memfasilitasi dan merayakan hari besar semua agama yang dianut warganya, seperti Purnama dan Tilem bagi umat Hindu, Idul Fitri bagi Muslim, Natal bagi Kristen, dan lainnya. Ini bukan hanya ritual, tapi pelajaran toleransi yang hidup.
    • Kantin Kejujuran & "Syukur Box": Mengajarkan nilai-nilai ilahiah seperti kejujuran melalui praktik nyata. Sebuah "kotak syukur" di kelas tempat siswa bisa menuliskan hal-hal kecil yang mereka syukuri hari itu dapat melatih kepekaan spiritual.
  2. Menguatkan Nilai Pawongan (Hubungan dengan Sesama) Tujuannya adalah menciptakan lingkungan sekolah yang aman, inklusif, dan penuh rasa persaudaraan (menyama braya).
    • Budaya 3S (Senyum, Salam, Sapa): Ini adalah fondasi interaksi sosial yang positif. Guru menjadi teladan, menyapa setiap siswa di gerbang sekolah. Budaya ini terbukti efektif mengurangi ketegangan dan membangun kedekatan.
    • Proyek Kolaboratif Antar Kelas/Angkatan: Tugas-tugas yang mengharuskan siswa dari latar belakang berbeda untuk bekerja sama dapat memecah sekat-sekat eksklusivitas dan membangun empati.
    • Program Anti Perundungan & Mediasi Sebaya: Sekolah membentuk tim siswa yang dilatih menjadi mediator untuk menyelesaikan konflik-konflik kecil di antara teman. Ini mengajarkan tanggung jawab, pengendalian emosi, dan cara berkomunikasi yang konstruktif.
    • Bakti Sosial: Mengadakan kunjungan rutin ke panti asuhan atau panti jompo, di mana siswa tidak hanya memberi bantuan materiil tetapi juga waktu dan perhatian.
  3. Menanamkan Nilai Palemahan (Hubungan dengan Lingkungan) Tujuannya adalah membentuk siswa yang peduli, bertanggung jawab, dan menjadi agen pelestarian lingkungan.
    • Program Sekolah Adiwiyata: Mengintegrasikan isu lingkungan ke dalam semua mata pelajaran. Misalnya, pelajaran Matematika menggunakan data sampah sekolah untuk latihan statistik, pelajaran Bahasa Indonesia membuat poster kampanye lingkungan.
    • Manajemen Sampah Terpadu: Siswa diajarkan dan diwajibkan memilah sampah organik dan anorganik. Sampah organik diolah menjadi kompos untuk kebun sekolah, sementara sampah anorganik didaur ulang melalui bank sampah sekolah.
    • "Sabtu Bersih" dan Kebun Sekolah: Kegiatan rutin membersihkan lingkungan sekolah dan merawat kebun yang ditanami tanaman obat (apotek hidup) atau sayuran. Siswa belajar secara langsung siklus hidup tanaman dan pentingnya menjaga kebersihan.
    • Edukasi Upacara Tumpek: Bagi sekolah di Bali, mengenalkan makna upacara Tumpek Wariga/Bubuh (penghormatan pada tumbuhan) dan Tumpek Kandang/Uye (penghormatan pada hewan) sebagai wujud kearifan lokal dalam konservasi alam, dapat memberikan pemahaman filosofis yang lebih dalam tentang menjaga lingkungan.

Penutup

Kesimpulan Tri Hita Karana bukanlah sekadar falsafah eksotis dari Bali, melainkan sebuah kerangka kerja universal yang sangat relevan untuk mengatasi krisis ekologis, sosial, dan spiritual di zaman modern. Dari tata ruang arsitektur yang harmonis hingga kurikulum pendidikan karakter di SMA, prinsip keseimbangan antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), sesama (Pawongan), dan alam (Palemahan) terbukti mampu menjadi fondasi untuk membangun kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan.

Refleksi Sudah saatnya kita berhenti melihat pendidikan hanya sebagai proses transfer pengetahuan akademis. Sekolah harus menjadi miniatur masyarakat ideal, sebuah "kawah candradimuka" tempat nilai-nilai luhur tidak hanya diajarkan, tetapi dihidupi setiap hari. Implementasi Tri Hita Karana mengajak kita untuk membangun sekolah yang tidak hanya megah bangunannya, tetapi juga agung jiwanya.

Harapan Ke depan, diharapkan model pendidikan karakter berbasis kearifan lokal seperti Tri Hita Karana ini dapat diadopsi dan diadaptasi secara lebih luas di berbagai daerah di Indonesia. Dengan menggali kembali akar budaya kita sendiri, kita memiliki semua perangkat yang dibutuhkan untuk membentuk generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional, peka secara sosial, dan bijaksana secara spiritual.

Referensi

  • Asih, Jayaning Tyas. (2022). Implementasi Pendidikan Karakter Berbasis Tri Hita Karana (Thk) Pada Siswa Sman Satu Atap Lembongan. Indonesian Journal of Educational Development Volume 3 Nomor 2, Agustus 2022
  • Depdiknas. (2011). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan.
  • Depdiknas. (2011). Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran https://jdih.kemdikbud.go.id/detail_peraturan?main=1677
  • Windia, W., & Sudarsana, I. K. (2017). Pendidikan Karakter Berbasis Tri Hita Karana Menurut Perspektif Agama Hindu. Jurnal Penjaminan Mutu.
  • Zuchdi, D. (2015). Pendidikan Karakter: Konsep Dasar dan Implementasinya di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: UNY Press.
  • Geertz, C. (1980). Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton University Press. (Sebagai referensi tentang struktur sosial dan filosofis Bali).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun