Pendahuluan
Setiap pagi, jutaan siswa di seluruh Indonesia memasuki gerbang sekolah, sebuah ruang yang dirancang untuk menimba ilmu. Namun, di luar gerbang itu, mereka dihadapkan pada realitas yang kontras yaitu berita tentang bencana ekologis akibat alih fungsi lahan yang serampangan, maraknya perundungan (bullying) di media sosial, dan perasaan cemas akan masa depan yang kian kompetitif. Kita membangun gedung-gedung pencakar langit yang megah, namun seringkali kehilangan rasa keterhubungan dengan tetangga. Kita mencetak siswa-siswa berprestasi secara akademis, namun terkadang alpa menanamkan empati dan rasa hormat pada alam. Fenomena ini bukanlah isu yang terpisah-pisah, melainkan gejala dari sebuah ketidakseimbangan. Di tengah hiruk pikuk modernitas ini, sebuah kearifan lokal dari Bali, Tri Hita Karana, menawarkan sebuah lensa untuk melihat dan menata kembali dunia kita. Filosofi ini bukan sekadar konsep spiritual kuno, melainkan sebuah cetak biru yang sangat relevan untuk membangun ruang hidup yang harmonis sekaligus membentuk generasi masa depan yang berkarakter. Lantas, bagaimana cara kerjanya?
Latar Belakang Masalah
Pentingnya pembahasan Tri Hita Karana hari ini didasari oleh urgensi krisis multidimensional yang kita hadapi. Secara lingkungan, data dari berbagai lembaga menunjukkan laju deforestasi dan alih fungsi lahan di Indonesia terus mengkhawatirkan. Di Bali sendiri, konversi sawah menjadi properti komersial tidak hanya mengancam ketahanan pangan tetapi juga memicu bencana hidrologis seperti banjir dan kekeringan. Ini adalah bukti nyata rusaknya hubungan manusia dengan alam. Secara sosial, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) memang menunjukkan angka yang baik, namun kasus-kasus intoleransi dan perpecahan di level akar rumput masih menjadi tantangan. Di dunia pendidikan, data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada tahun 2023 mencatat puluhan kasus perundungan di satuan pendidikan. Ini menandakan adanya disrupsi dalam hubungan antarmanusia. Dari sisi individu, riset kesehatan mental menunjukkan peningkatan tingkat stres dan kecemasan di kalangan remaja. Tuntutan akademis yang tinggi dan tekanan sosial seringkali membuat mereka merasa terasing dan kehilangan pegangan spiritual. Ketiga krisis yaitu ekologis, sosial, dan spiritual ini secara langsung mencerminkan terabainya tiga pilar Tri Hita Karana. Sistem pendidikan kita mungkin berhasil melatih otak, tetapi seringkali gagal menyentuh hati dan menumbuhkan kesadaran holistik. Oleh karena itu, mengintegrasikan kembali kearifan lokal seperti Tri Hita Karana ke dalam fondasi kehidupan dan pendidikan bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keniscayaan untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan.
Pembahasan
Konsep Dasar: Tiga Penyebab Kebahagiaan
Secara sederhana, Tri Hita Karana adalah filosofi hidup masyarakat Bali yang berarti tiga penyebab kebahagiaan atau keharmonisan. Konsep ini mengajarkan bahwa kesejahteraan sejati hanya bisa dicapai jika manusia mampu menjaga keseimbangan dalam tiga hubungan fundamental:
- Parhyangan: Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Ini adalah dimensi vertikal yang menjadi sumber nilai, etika, dan rasa syukur.
- Pawongan: Hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya. Ini adalah dimensi horizontal yang menekankan pentingnya empati, gotong royong, dan toleransi dalam komunitas.
- Palemahan: Hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungannya. Ini adalah kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem dan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam.
Ketiganya saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Rusaknya salah satu hubungan akan berdampak pada dua hubungan lainnya, menciptakan ketidakseimbangan yang kita rasakan hari ini.
Cermin Fisik Harmoni: Tri Hita Karana dalam Arsitektur Bali
Sebelum membahas implementasinya di sekolah, kita bisa melihat wujud fisik Tri Hita Karana yang paling nyata dalam arsitektur tradisional Bali, yang diatur oleh pedoman Asta Kosala Kosali. Ini bukan sekadar "feng shui" versi Bali, melainkan manifestasi filosofi yang mendalam.
- Implementasi Parhyangan: Dalam setiap pekarangan rumah adat Bali, area paling suci (kaja-kangin atau arah timur laut) selalu diperuntukkan bagi Pura Keluarga atau Sanggah/Merajan. Ini adalah simbol bahwa aktivitas spiritual adalah prioritas utama dan menjadi pusat orientasi kehidupan keluarga.
- Implementasi Pawongan: Tata letak bangunan seperti Bale Daja (untuk tidur orang tua), Bale Dangin (untuk upacara dan menerima tamu), dan Paon (dapur) diatur sedemikian rupa untuk mendorong interaksi dan menjaga keharmonisan antar anggota keluarga. Adanya natah atau halaman tengah yang lapang berfungsi sebagai ruang komunal untuk beraktivitas bersama.
- Implementasi Palemahan:Â Arsitektur Bali sangat menghormati kontur tanah. Pembangunannya tidak melawan alam, melainkan menyatu dengannya. Penggunaan material lokal seperti bambu, kayu, dan batu alam, serta adanya pekarangan hijau menunjukkan penghargaan terhadap lingkungan.
Ketika prinsip ini dilanggar misalnya dengan membangun hotel di kawasan suci (merusak Parhyangan), mendesain perumahan tanpa ruang interaksi sosial (merusak Pawongan), atau meratakan bukit untuk villa (merusak Palemahan), maka lahirlah berbagai masalah seperti yang kita lihat sekarang. Arsitektur ini menjadi pelajaran nyata bahwa harmoni yang kasat mata lahir dari prinsip yang tak kasat mata.