1. Sistem penggantian tempat dalam pembagian harta warisan menurut hukum adat, hukum barat dan hukum islam
- Hukum Adat
  Dalam hukum adat Indonesia, sistem pembagian warisan memiliki karakteristik yang berbeda dengan sistem hukum waris Islam maupun hukum perdata Barat. Salah satu konsep penting yang dikenal dalam hukum waris adat adalah sistem penggantian tempat atau representasi. Sistem ini memberikan hak kepada keturunan dari seorang ahli waris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu untuk menggantikan posisi orang tuanya dalam menerima bagian harta warisan dari pewaris. Artinya, cucu dapat menerima bagian warisan dari kakek atau neneknya apabila orang tua kandungnya (yang merupakan anak dari pewaris) telah wafat sebelum pewaris meninggal.
  Menurut Soepomo dalam bukunya Bab-bab tentang Hukum Adat (2003), sistem penggantian tempat ini muncul sebagai bentuk pengakuan terhadap hubungan darah dalam garis keturunan dan didasarkan atas prinsip kekeluargaan yang sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat adat. Ia menegaskan bahwa penggantian tempat merupakan wujud dari perlindungan terhadap hak-hak keturunan, terutama cucu, agar tidak kehilangan hak waris hanya karena orang tuanya telah meninggal terlebih dahulu. Konsep ini mencerminkan nilai-nilai gotong royong dan rasa keadilan dalam masyarakat adat.
  Menurut Ter Haar dalam karyanya Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat juga menjelaskan bahwa dalam berbagai sistem kekerabatan adat, khususnya yang bersifat patrilineal dan matrilineal, prinsip penggantian tempat adalah bagian yang melekat dalam sistem pewarisan. Di masyarakat Minangkabau misalnya, sistem kekerabatan matrilineal menjadikan anak perempuan sebagai penerus garis keturunan, dan dalam hal seorang ahli waris perempuan telah wafat, maka anak-anaknya dapat menggantikan kedudukannya sebagai ahli waris dari harta pusaka tinggi. Demikian pula dalam adat Jawa yang bersifat bilateral, penggantian tempat dapat terjadi agar warisan tetap turun ke garis keturunan langsung dari pewaris.
  Penerapan sistem penggantian tempat juga ditemukan dalam hukum adat Bali, Batak, Bugis, dan berbagai komunitas adat lainnya di Indonesia, meskipun dengan variasi yang berbeda-beda. Prinsip umumnya tetap sama, yaitu memberikan hak waris kepada cucu atau keturunan lain sebagai pengganti anak yang telah lebih dahulu meninggal dunia, guna menjaga 2kesinambungan hak milik dalam keluarga besar.
- Hukum Barat
  Perguruan tinggi universitas Islam terbesar didunia "al-Azhar", telah mengeluarkan undang-undang kewarisan menurut Islam, yaitu Undang-undang Nomor 77 tahun 1942. Seterusnya Undang-undang Nomor 71 tahun 1946. Dalam Pasal 74 undang-undang Mesir tahun 1946, tersebut menetapkan bahwa apabila pewaris tidak mewasiatkan kepada keturunan dari anak yang sudah meninggal lebih dulu atau meninggal bersama-sama pewaris, maka berdasarkan wasiat wajibah, keturunan tersebut berhak menerima bagian sejumlah bahagian orang tuanya andaikata orang tuanya masih hidup. Dengan ketentuan tidak boleh melebihi 1/3 dari harta peninggalan, dengan syarat bahwa keturunan tersebut tidak menjadi ahli waris dan belum pernah diberikan sejumlah itu pada masa hayat (hidup) pewaris. Kalau sudah diberikan tetapi kurang dari jumlah itu, sempurnakanlah jumlah tersebut sampai 1/3.
  Adapun yang menetapkan wasiat wajibah itu adalah pengadilan, karena si mati memang tidak meninggalkan wasiat sendiri. Ide wasiat wajibah ini diajukan ulama Mesir untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yatim. Langkah Mesir itu ternyata dipandang lebih mendekati keadilan, sehingga wasiat wajibah itu juga diberlakukan oleh Syria, Tunisia, Maroko dan Pakistan dengan beberapa modifikasi. Di Mesir, aturan wasiat wajibah diberlakukan bagi semua cucu, baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Di Syiria dan Maroko, wasiat wajibah hanya berlaku bagi cucu dari anak laki-laki. Di Tunia, aturan wasiat wajibah itu sama dengan di Mesir, tetapi hanya untuk generasi pertama. Di Pakistan, dengan ordonansi Hukum Keluarga tahun 1861 diberlakukannya aturan yang radikal lagi, yaitu cucu dalam keadaan demikian mendapat bagian yang sama dengan bagian yang semestinya diterima oleh ayahnya bila ia masih hidup.
- Hukum Islam
  Setelah adanya KHI, Terlihat telah diadakannya upaya guna mengatasi atau menyelesaikan perkara penggantian tempat ahli waris, yaitu dengan dirumuskan dan diundangkannya masalah ahli waris pengganti dalam Pasal 185 KHI tersebut. Dengan demikian, telah dikenal dua cara penyelesaian kasus penggantian tempat; melalui wasiat wajibah yang memiliki landasan hukum yang jelas dalam Fiqih Islam dan melalui ahli waris pengganti sebagaimana yang telah diundangkan dalam KHI, yaitu Pasal 185 ayat (1) dan (2). Secara jelas bunyi ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat diganti oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
  Dari kedua ayat tersebut dapat dipahami bahwa ahli waris yang telah meninggal lebih dahulu (telah meninggal pada saat warisan dibagikan) daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya dengan catatan mereka (ahli waris atau penggantinya) tidak terhalangnya menerima warisan sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 173 KHI. Selanjutnya, dalam ayat {2} dijelaskan bahwa bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang digantikannya.
- Â Â Dalam kitab "Hasyiyah" Ibnu Umar al-Baqri, kata "munasakhah" didefinisikan dengan "kematian seseorang sebelum harta peninggalan dibagi bagikan sampai seseorang atau beberapa orang yang mewarisinya meninggal dunia".Â
  Apabila kita hubungkan kedua definisi di atas, maka antara keduanya tidak terdapat perbedaan yang prinsipil karena keduanya sudah mencakup unsur-unsur munasakhah atau penggantian tempat. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. Harta pusaka si mati belum dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut ketentuan pembagian harta pusaka.
2. Adanya kematian dari seseorang satu atau beberapa orang ahli warisnya.
3. Adanya pemindahan bagian harta pusaka dari orang yang meninggal kemudian kepada ahli waris yang lain atau ahli waris yang semula belum menjadi ahli waris terhadap orang yang meninggal pertama.
4. Pemindahan bagian ahli waris yang telah meninggal kepada ahli warisnya harus dengan jalan mempusakai bukan dengan jalan pemberian atau hibah.
  Dalam kitab "Khulasah Ilmil Faraidh"ditegaskan bahwa penggantian ahli waris itu sudah merupakan suatu keharusan, bahkan dalam kitab ini sudah ditegaskan siapa-siapa yang bisa menggantikan tempat orang lain dalam warisan serta bagian mereka masing-masing.
2. Rukun dan Syarat Hibah.
a. Rukun Hibah
1. Penghibahan dan Penerima Hibah
Penghibahan yaitu orang yang memberikan harta miliknya sebagai hibah. Orang ini harus Memenuhi syarat-syarat:
a. Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah, dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan.
c. Penghibahan tidak dipaksa Untuk memberikan hibah, dengan demikian haruslah didasarkan kepada kesukarelaan.
  Penerima hibah adalah orang yang diberi hibah. Disyaratkan bagi penerima hibah benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalah kandungan adalah tidak sah.
  Sedangkan seorang anak masih kecil diberisesuatu oleh orang lain (diberi hibah), maka hibah itu tidak sempurna kecuali dengan adanya penerimaan oleh wali. Walian yang bertindak Untuk dan atas nema penerimaan hibah dikala penerima hibah itu belum ahlinya al-Ada' al Kamilah. Selain orang, lembaga juga bisa menerima hadiah, seperti lembaga pendidikan.
2. Barang yang Dihibahkan
  Yaitu suatu harta benda atau barang yang diberikan dari seseorang kepada orang lain. Pada dasarnya Segala benda dapat dijadikan hak milik adalah dapat dihibahkan, baik benda itu bergerak atau tidak bergerak, termasuk Segala macam piutang. Tentunya benda-benda atau barang-barang tersebut harus Memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Banda tersebut benar-benar ada
b. Benda tersebut mempunyai nilai
c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannyadan pemilikannya dapat dialihkan.
d. Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dandiserahkan kepada penerima hibah.
e. Benda tersebut telah diterima atau dipegang oleh penerima
f. Menyendiri menurut ulama Hanafiyah, hibah tidak dibolehkan terhadap barang-barang bercampur dengan milik orang lain, sedangkan menurut ulama Malikiyah, Hambaliyah, dan Syafi'iyah hal tersebut dibolehkan.
g. Penerima pemegang hibah atas seizing wahib.
3. Sigat (Ijab dan Qobul)
  Sigat adalah kata-kata yang diucapkan oleh seseorang yang melaksanakan hibah karena hibah adalah akad yang dilaksanakan oleh dua fihak yaitu penghibah dan penerima hibah, maka sigat hibah itu terdiri ijab dan qobul, yang menunjukkan pemindahan hak milik dari seseorang (yang menghibahkan) kepada orang lain (yang menerima hibah). Sedangkan pernyataan menerima (qobul ) dari orang yang menerima hibah. Karena qobul ini termasuk rukun. Bagi segolongan ulama madzhab Hanafi, qobul bukan termasu rukun hibah.
b. Syarat Hibah
1. Syarat orang yang menghibahkan (penghibah) yaitu:
a. Penghibah harus memiliki sesuatu yang dihibahkan.
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya artinya orang yang cakap dan bebas bertindak menurut hukum.
c. Penghibah itu orang dewasa, berakal, dan cerdas. Tidak disyaratkan penghibah itu harus muslim. Hal ini berdasarkan hadis Bukhari yang menyatakan diperbolehkan menerima hadiah dari penyembah berhala.
d. Penghibah itu tidak dipaksa sebab hibah merupakan akad yang disyaratkan adanya kerelaan.
2. Syarat orang yang diberi hibah yaitu orang yang diberi hibah benar-benar ada pada waktu diberi hibah, bila tidak ada atau diperkirakan keberadaannya misalnya masih dalam bentuk janin maka tidak sah hibah. Jika orang yang diberi hibah itu ada pada waktu pemberian  hibah, akan  tetapi ia  masih kecil  atau gila  maka hibah itu harus diambil  oleh  walinya,  pemeliharanya,  atau  orang  yang  mendidiknya  sekalipun  ia orang asing.
3. Syarat benda yang dihibahkan yaitu:
a. Benda yang dihibahkan harus milik sempurna dari penghibah.
b. Benda yang dihibahkan sudah ada dalam arti sesungguhnya saat pelaksanaan akad.
c. Objek yang dihibahkan merupakan sesuatu yang dibolehkan dimiliki oleh agama.
d. Harta yang dihibahkan harus telah terpisah secara jelas dari harta penghibah.
e. Harta  itu  benar-benar  milik  orang  yang  menghibahkan.  Maka  tidak  boleh menghibahkan  sesuatu  yang  ada  ditangannya  tetapi  itu  kepunyaan  orang  lain seperti harta anak yatim yang diamanatkan kepada seseorang.
4. Syarat ijab kabul yaitu jika hibah dilakukan dengan ijab kabul, maka menurut Pasal 693  Kompilasi  Hukum  Ekonomi  Syariah  (KHES)  "ijab  dalam  hibah  dapat dinyatakan dengan kata-kata, tulisan, atau isyarat, yang mengandung arti beralihnyakepemilikan  harta  secara  cuma-Cuma."
3. Urgensi hibah, wasiat dan wasiat wajibah dalam masyarakat
Urgensi hibah, wasiat, dan wasiat wajibah dalam masyarakat, khususnya dalam studi Hukum Perdata Islam, sangatlah penting karena berkaitan langsung dengan pengaturan dan perlindungan hak-hak harta seseorang sebelum dan setelah wafat. Ketiga instrumen ini merupakan bagian dari mekanisme distribusi harta kekayaan yang diatur dalam syariat Islam guna menciptakan keadilan, keseimbangan sosial, serta menjaga keharmonisan hubungan keluarga dan masyarakat.
Pertama, hibah memiliki urgensi sebagai bentuk pemberian sukarela dari seseorang kepada orang lain yang dilakukan semasa hidupnya. Dalam konteks masyarakat, hibah tidak hanya berfungsi sebagai wujud kasih sayang atau pemberian terhadap anak-anak dan kerabat, tetapi juga sebagai sarana untuk menghindari sengketa warisan di kemudian hari. Dalam Hukum Perdata Islam, hibah dapat menjadi solusi preventif agar seseorang dapat membagi sebagian hartanya sesuai kehendaknya tanpa melanggar ketentuan hukum waris. Ini penting dalam realitas sosial di mana tidak semua ahli waris berada dalam kondisi ekonomi yang sama.
Kedua, wasiat merupakan pernyataan seseorang untuk memberikan sebagian hartanya kepada pihak tertentu yang bukan ahli waris, yang berlaku setelah ia wafat. Wasiat memiliki peran penting dalam konteks solidaritas sosial Islam, karena dapat diarahkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, seperti fakir miskin, lembaga sosial, atau individu yang berjasa dalam kehidupan pewaris. Dalam studi Hukum Perdata Islam, wasiat dibatasi maksimal sepertiga dari harta peninggalan agar tidak merugikan hak para ahli waris. Hal ini menunjukkan prinsip keseimbangan antara kebebasan individu dan perlindungan terhadap hak-hak ahli waris.
Ketiga, wasiat wajibah merupakan konsep kontemporer dalam Hukum Perdata Islam yang berangkat dari kebutuhan untuk memberikan keadilan terhadap pihak-pihak yang secara hukum tidak termasuk ahli waris, seperti anak angkat, orang tua angkat, atau kerabat jauh yang tidak memiliki bagian warisan secara syar'i. Wasiat wajibah, sebagaimana diadopsi dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, menjadi bentuk legalitas pemberian harta kepada pihak-pihak tersebut secara wajib, meskipun tidak ada wasiat eksplisit dari pewaris. Ini sangat penting dalam konteks masyarakat modern yang kompleks, di mana relasi kekeluargaan tidak hanya terbatas pada hubungan darah, tetapi juga mencakup hubungan sosial dan emosional yang kuat.
Secara keseluruhan, keberadaan hibah, wasiat, dan wasiat wajibah dalam Hukum Perdata Islam mencerminkan fleksibilitas dan keadilan hukum Islam dalam mengatur harta kekayaan. Ketiganya memberikan ruang bagi pewaris untuk menyalurkan hartanya dengan tanggung jawab moral dan sosial, sekaligus menjaga stabilitas dan ketertiban dalam keluarga dan masyarakat setelah ia wafat.
4. hibah, wasiat dan wasiat wajibah dilakukan dalam praktik hukum islam di indonesia
Hibah, wasiat, dan wasiat wajibah dilakukan dalam praktik hukum Islam di Indonesia karena ketiganya merupakan bentuk pengaturan harta yang memiliki landasan syar'i dan relevansi sosial yang kuat dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk. Dalam hukum Islam, ketiganya menjadi instrumen penting untuk menjaga keadilan, kasih sayang keluarga, dan keberlanjutan ekonomi keluarga setelah pewaris meninggal dunia.
Pertama, hibah dilakukan karena memberikan kesempatan bagi seseorang untuk mengalihkan sebagian hartanya secara sukarela kepada orang lain, baik anggota keluarga maupun pihak lain, selama ia masih hidup. Dalam konteks masyarakat Indonesia, hibah sering digunakan untuk menjaga keharmonisan keluarga dan menghindari konflik warisan di kemudian hari. Hukum Islam mengatur hibah dengan ketentuan tertentu agar tidak menimbulkan ketidakadilan, terutama di antara ahli waris.
Kedua, wasiat menjadi cara bagi seorang muslim untuk menyampaikan pesan terakhir atau menetapkan pemberian kepada pihak yang bukan ahli waris---dengan batasan maksimal sepertiga dari harta peninggalan. Wasiat ini penting dalam konteks kemanusiaan dan sosial, misalnya untuk membantu orang miskin, lembaga keagamaan, atau anak angkat yang tidak mendapatkan bagian warisan secara syar'i. Di Indonesia, praktik wasiat ini diakomodasi dalam hukum positif melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang menghormati nilai-nilai agama.
Ketiga, wasiat wajibah merupakan bentuk perkembangan hukum Islam yang lebih responsif terhadap kebutuhan sosial, terutama menyangkut pihak-pihak yang secara hukum tidak berhak mewarisi, seperti anak angkat atau orang tua angkat, tetapi secara sosial dan emosional memiliki hubungan yang kuat dengan pewaris. Wasiat wajibah muncul sebagai solusi untuk memberikan keadilan dan perlindungan kepada mereka, dan telah diadopsi dalam praktik hukum di Indonesia melalui Kompilasi Hukum Islam Pasal 209, yang memberi hak kepada anak angkat untuk menerima harta peninggalan melalui mekanisme wasiat wajibah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI