Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sejak Senja Sampai Pagi Tiba

15 Mei 2023   15:04 Diperbarui: 15 Mei 2023   20:25 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Twigg studios dari Pinterest

Mataku tak berhenti memandang sikap nyonya Almaide di meja makan. Dia seperti tidak ingin menikmati makanannya meski aku sudah bersusah-payah belakangan ini.

Sejak kakak lelakiku dan putri mereka tewas dalam kecelakaan, wanita itu terlihat kehilamgan semangat hidupnya. Benar kata orang, mencintai keluarga akan memperpanjang umur. Setidaknya kita masih ingin terbangun esok pagi untuk memberi mereka kehangatan, bukan?

Sebenarnya aku pernah mendengar dari kakakku, nyonya Almaide menderita gangguan kecemasan entah pada level berapa. Itu sebabnya aku merasa terpanggil untuk membawanya ke rumah kami agar dia cepat pulih. Setidaknya di sini dia terbebas dari banyak kenangan yang akan membunuhnya.

Tiba-tiba nyonya Almaide menatap ke arahku. Tersenyum canggung, lalu menanyaiku. "Apa kau sedang memikirkan seseorang?" 

Astaga! Dia memperhatikan gerak-gerikku juga.

"Kurasa, ya," sahutku tak ingin berbohong. Sekalipun wanita ini sedikit terganggu jiwanya, tidak baik jika aku memhonginya. Aku ingin mempercepat kesembuhannya.

"Apa Anda tidak menyukai buburnya?" tanyaku mencari tahu.

Dia menyuap perlahan, mengecapkan lidahnya berulang-ulang, mirip gadis kecil menikmati masakan ibunya.

"Beritahu aku apa saja yang dibutuhkan untuk memasaknya?"

Aku menjadi tertegun. Dia ingin tahu resepnya? Kalau begitu ini menjadi pertanda baik. Dia mulai peduli sesuatu di sekitarnya.

"Sebenarnya aku hanya menulisnya dari sebuah situs online." Aku menyerahkan lipatan kertas dari saku celanaku.

Roasted Vegetarian Soup

Bahan Mentah
• 1 labu Butternut, besar
• 1 sdt cabai kering cincang kasar
• 4 siung bawang putih, kupas kulitnya
• 1 bawang bombay, besar
• 1 sdt oregano, dikeringkan
Makanan dalam kaleng
• 1 1/2 Lt stok
Memanggang & rempah
• 1 1/2 sdt paprika, asap manis
• 2 paprika Romano
• 1 garam dan merica
Minyak & cuka
• 2 sdm minyak zaitun

Nyonya Almaide selesai membacanya, lalu menatapiku tanpa berkata lagi. 

Dihabiskannya isi mangkuknya serta sepotong roti sourdough di piring lainnya. Diteguknya setengah isi gelasnya, lalu berguman dengan lembut, "Kau pandai memasak meski tak memiliki anak-anak untuk mencicipinya."

Aku terdiam seperti patung. 

Aku ingat sejak dulu dia selalu menyindirku seperti itu. Pernikahanku dan Adams hanya berselang dua tahun dari kakak lelakiku, dan keponakanku sudah berusia hampir tujuh belas tahun saat tewas karena kecelakaan.

"Tetapi saat ini aku juga tak mempunyai anak. Oh, Ellis yang malang..." 

Matanya kosong.

Aku menyadari nyonya Almaide mulai terseret lagi ke dalam permasalahannya. Karena itu aku tak boleh terpancing dan membencinya. Mendiang kakak lelakiku begitu mencintainya, dan sekarang wanita itu menjadi pengganti kakakku satu-satunya.

Nyonya Almaide membantuku menyimpan peralatan makan, lalu duduk kembali di kursi dengan lilin yang dibiarkannya menyala. 

Wajahnya tak memiliki ekspresi apa-apa. Untuk beberapa saat dia terlihat membeku.

Aku menebak-nebak apa yang ingin diceritakannya setelah ini. 

"Apakah kau tahu aku sulit memejamkan mata dan tidur pada malam hari? Obat-obat dari Dr. Shyant tidak bisa menyelesaikan semuanya."

Aku menggenggam tangan wanita itu di atas meja, sangat iba dengan apa yang dialaminya.

Dua hari setelah pemakaman suami dan putrinya, Adams memang mendorongku untuk membujuk nyonya Almaide bertemu Dr. Shyant. Di tangan ahlinya, mungkin dia akan mendapatkan terapi yang cocok. Selebihnya kami berdua akan menghangatinya dengan setulus hati.

"Nyonya tidak sendirian. Kami akan selalu bersamamu. Kami akan menjagamu dari yang terburuk. Jangan pikirkan lagi, ya..."

"Tidak ada orang yang rela membuang waktunya. Aku wanita yang tidak berguna...."

Wajahnya muram. Di matanya terpancar keraguan tentang orang lain. 

Aku harus menemukan ide untuk membuatnya menyadari kalau dia salah. Dia tak boleh secemas itu. 

"Kita akan melihat matahari esok pagi, Nyonya. Kita akan menikmatinya di balkon kamarmu sambil melihat Ipomoea bermekaran."

"Apa kita bisa menanam yang lainnya juga? Sudah lama aku...."

"Tentu saja. Kita akan pergi membeli bibit apapun yang kau inginkan!" kataku sambil memegang kedua tangannya. Tanpa sadar air mataku mengalir.

"Tapi bagaimana dengan dosa-dosaku? Aku takut mendiang suamiku belum memaafkanku karena selalu meninggalkannya."

Mendengar penjelasan nyonya Almaide, tiba-tiba keluhan kakak lelakiku terngiang lagi di telingaku.

Ya, dia pernah mengatakan ingin sekali istrinya kembali seperti sebelumnya. Dia merasa nyonya Almaide begitu dingin dan tidak mencintainya.

"Apakah kau bisa merasakan angin dari semua jendela ini?"

Aku memperhatikan beberapa jendela masih terbuka. Senja telah pulang, berganti malam yang menyembunyikan daun-daun di luar.

Gelap. Sepertinya malam ini tak ada bulan. Dan semilir angin memang berembus berkali-kali sejak tadi. 

Ternyata penderita gangguan kecemasan seperti nyonya Almaide seharusnya tak merasakan ini semua. Dia tidak boleh terus larut dan kehilangan harapan.

Aku beranjak menutup semua jendela, lalu mengajaknya kembali ke kamar dan menyalakan penghangat ruangan. 

Aku membantunya menyiapkan obat yang harus diminum, tetapi wanita itu menolaknya.

"Aku tidak membutuhkannya."

"Oh, baiklah, aku akan tidur bersama Anda agar semuanya baik saja." 

"Apa?"

"Segalanya akan berjalan dengan baik. Kita akan segera melewatinya."

Dia menatap tepat ke dalam mataku, seperti mencari-cari sesuatu.

"Bukankah dulu kau dan saudarimu mengatakan baby Ellis lahir membawa sial?"

Aku terdiam. Tak terasa air mataku mengalir ke atas bantal.

"Kami mohon maaf tentang itu. Aku dan saudariku telah membuatmu menderita dengan kelakuan yang tidak pantas."

"Maksudmu, kalian menyesal?" 

Aku terdiam, teringat pesan kakak lelakiku beberapa waktu sebelum kecelakaan itu merenggut hidupnya.

Tidak ada gunanya mendukungku dengan cara menjatuhkan mental Almaide. Dia adalah bagian dari kita.

"Benar, Nyonya. Dan kami berjanji Anda tidak akan sendirian lagi. Percayalah."

Dia tersenyum, lalu mulai memejamkan matanya dan tertidur.

***

Kota Kayu, 15 Mei 2023

Cerpen Ayra Amirah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun