Tentunya kegiatan ini tidak memberatkan. Seperti halnya kegiatan ekstra kurikuler yang sifatnya sebagai tambahan, di luar jadwal mata pelajaran.
Juga tidak sampai menyita waktu ataupun mengurangi jumlah jam belajar setiap minggunya, yaitu hanya selama 15 menit di awal jam pelajaran pertama.Â
Bisa dengan mengatur waktu. Misal, dijadwalkan tiga kali dalam seminggu sesuai kebijaksanaan perangkat sekolah.
Artinya tidak harus setiap hari, tergantung kesepakatan atau ketersediaan buku bacaan, dan sebagainya.
2. Memperhatikan ragam buku dan menambah jumlah secara rutin
Umumnya, pada awal kegiatan euforia siswa diibaratkan seperti api unggun yang baru dinyalakan. Berkobar menyala-nyala dan menghangatkan.Â
Tapi apa yang terjadi beberapa waktu kemudian? Api mulai surut, mulai kekurangan kayu bakar dan pada gilirannya akan padam meninggalkan sisa abu belaka.
Untuk mengantisipasi "matinya" ruang literasi di sekolah, jauh-jauh hari hal ini perlu dipikirkan.
Dapat dipahami buku adalah "bahan bakar" Pojok Baca Sekolah. Maka perlu ditunjuk pengelola Pojok Baca yang tugasnya memantau perkembangan dan minat yang tengah ramai di kalangan siswa.
Di sekolah lanjutan tempat sulung kami belajar, dia ditunjuk oleh wali kelas bersama tiga siswa lainnya untuk mengelola Majalah Dinding (Mading) yang turut meramaikan Pojok Baca di kelasnya.
Secara berkala dilakukan penggantian (regulasi) karya di sana. Kebetulan cerpen saya turut diminta untuk ambil bagian mengisi kategori sastra.
Bagaimana dengan Pojok Baca di Sekolah Dasar?Â
Sekali lagi diperlukan peran aktif perangkat sekolah untuk mengelola program yang cikal bakalnya adalah lingkungan pendidikan itu sendiri. Salah satu yang terpenting adalah memperhatikan ragam buku dan menambah koleksi buku bacaan secara rutin.Â