Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Ikan Nila yang Lenyap

6 Agustus 2022   10:51 Diperbarui: 6 Agustus 2022   11:01 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tentang Ikan Nila yang Lenyap|foto: Steff Liu/Pinterest

Sebuah tempat yang tidak terlalu menarik, tapi kita sudah sepakat mendatanginya hari ini. 

Tanpa terlihat ragu sedikitpun, kamu (sepupuku) terus menerabas rumput liar yang tumbuh di antara pasir. 

Tentu menyenangkan bisa melihat vegetasi cemara tanah (Lycopodium clavatum) tumbuh bertebaran. Ditambah lagi jenis kantong semar yang sedang berbunga. 

Aku sempat mengira kamu baru saja menemukan peti harta karun. Wajahmu tiba-tiba sangat suka. Tentu saja, baru kali ini kamu melihatnya saat aku membawamu. Tapi aku sudah sering datang ke tempat ini. 

"Lihat di sana!" aku menunjuk bangunan kayu di bawah bukit. Sebuah gubuk kecil untuk bapak beristirahat saat membersihkan kebun.

"Kak Mala masih tinggal di sana?" Aku mengangguk sebagai jawaban. Wajahmu berubah.

Kak Mala adalah kakak kami. Dari lima bersaudara, aku anak keempat. 

Warga di tempat kami tinggal menganggap Kak Mala sudah gila karena calon suaminya meninggal dua hari menjelang pernikahan mereka. 

Kak Mala stres dan depresi. Ini tidak sama dengan gila.

"Pohon apa itu, bunganya pink?" katamu membuyarkan.

Aku memgikuti telunjukmu.  "Oh, itu?"

Dulu sekali, bapak membeli lima kapling tanah untuk investasi. Lokasinya merupakan lembah pasir yang terus ditambah dari erosi gunung di sebelah sana. 

Sayangnya meski harga tanah kaplingan terbilang murah, kondisi tanah yang minim unsur hara sama sekali tidak cocok untuk kegiatan berkebun. 

Bapak sempat menanam beberapa jenis pohon, tetapi hanya bibit mangga yang tumbuh subur dan berbuah lebat. 

Nah, saat Kak Mala mulai tinggal di sini, dia menanam bunga bougenvil di bawah salah satu pohon mangga. Sekarang bunga bougenvil itu seolah menyatu dengan pohon mangga yang tingginya delapan atau sepuluh meter. 

Kamu mengangguk-angguk, dan senyum terpana.

Kamu berlari, tak sabar ingin melihat kolam ikan nila yang kuceritakan. Dengan mudah kamu menemukannya dekat kandang ayam yang sudah rusak dan tidak digunakan.

Saat tiba di sana, aku melihat rumpun mawar di dekat kolam. Beberapa bunganya tampak bergerombol pada bagian ujung rantingnya yang memanjang keluar. 

Bunga itu juga ditanam Kak Mala sebagai pengisi waktu. Perlahan-lahan, Kak Mala bisa melupakan kesedihan hatinya.

"Ikan di kolam cuma ini?" kamu menatapku dengan heran. "Cuma lima ekor?"

"Apa??" aku memeriksa kolam. "Yuk kita tanya Kak Mala..." aku menarik tanganmu ke arah gubuk.

"Kak? Kak Mala?" 

Tak ada sahutan. 

Aku mendorong pintu kayu yang sudah lapuk dimakan rayap. 

Memang, di daerah tidak subur, rayap hadir sebagai penyeimbang ekosistem. Sarang rayap yang dapat tumbuh setinggi lima meter akan menjadi petunjuk adanya cadangan air di dekatnya. 

Di hutan, rayap membantu siklus air hujan dengan membangun rongga tanah. Air hujan diserap dan disimpan sebagai cadangan air bagi makhluk hidup.

Rayap adalah serangga pengurai daun kering dan pohon mati di hutan untuk mengambil selulosa di dalamnya, agar tidak terus memenuhi hutan dan siklus nutrisi kembali ke ekosistem. Apa jadinya sebuah hutan tanpa koloni rayap? Demikian Kak Mala pernah bercerita panjang lebar tentang rayap. 

"Kita masuk saja. Ini ada sandal Kak Mala. Mungkin dia tidur?"

Aku mengangkat bahu, tapi kemudian mendahuluimu masuk ke kamar.

Terlihat sesosok tubuh ringkih tergeletak di bale kayu.

*

Ikan nila di kolam terpal yang susut airnya|foto: dokpri
Ikan nila di kolam terpal yang susut airnya|foto: dokpri
Kolam terpal itu disiapkan bapak untuk Kak Mala. Posisinya memanjang ke timur, dua meter dari pohon mangga kuweni kedua. 

Saat kita datang, bagian dalan terpal sudah berjamur dan kotor. Beberapa tulangan kayunya lapuk dan patah. 

Di sekitarnya teronggok beberapa polibag yang tidak terawat. Banyak daun-daun kering tidak dibersihkan. 

Konon dari arah sinilah seekor biawak merayap melewati tulangan kayu yang patah, atau dia yang membuatnya patah. 

Pada bulan Juli saat itu, ikan nila di kolam sedang menjalani fase musim kawin. Nila jantan berubah keperakan dengan sirip dan ekor berubah pink cerah. Hampir seperti dari spesies lain, bukan lagi nila.

Mimpi buruk pun datang. 

Ikan nila panik karena seekor predator menyeringai di tengah-tengah mereka. Matanya mengintai, cakar yang tajam, dan kulit yang keras untuk dilumpuhkan.

Ancaman kematian terasa sangat mengerikan. Lebih menakutkan dari jala penangkap ikan, saat Kak Mala ingin menjadikan menu makan siang. 

Beberapa kali air di kolam susut. Kak Mala selalu menambah air, tetapi sepertinya memang ada bagian yang bocor

Entah pada serangan keberapa, pada suatu hari yang hujan, ikan nila itu melompat seperti gila, bahkan satu di antaranya sudah keluar meninggalkan kolam. Kak Mala memergoki ikan itu sudah lima meter dari sana, nyaris masuk saluran air atau menjadi mangsa tujuh ekor kucing peliharaannya.

Pada hari yang lain, biawak yang tak kenal belas kasihan, masuk ke dalam kolam dan memilih ikan nila paling menggairahkan. 

Kak Mala mengasihani nila betina yang sedang bertelur dan selalu menjaga pojok kolam wilayahnya. Pasti ikan nila betina ketakutan luar biasa. 

Suatu ketika, biawak sialan itu kembali menyergap dalam kolam. Entah saat itu Kak Mala sedang istirahat dalam gubuk.

Seekor nila terluka dengan dua goresan di tubuhnya. Dua hari berikutnya, dia sudah mati mengapung karena trauma dan menderita. Enggan menyantap makanannya, ususnya tak terisi sedikitpun.

Kematian ikan nila masih berlanjut. Kali ini Kak Mala memergoki pada suatu siang. Biawak itu lari tunggang langgang, ikan nila yang digigitnya terlepas, disambut cengkeraman kucing jantan tanpa ampun. 

Kak Mala berusaha merebutnya, tapi ikan itu telah kehilangan nyawa. Sebelah matanya tercungkil, dan mukanya hilang sepotong. 

Hati Kak Mala hancur begitu rupa. Ikan di tangannya, dadanya terburai dan kantong telur calon anak-anak nila terlihat. Kak Mala sedih, calon ibu ikan nila mati percuma karena dimangsa.

Ini bukan tentang rantai makanan. Sama sekali bukan.

Kak Mala stres dan terpukul. Dia ingat calon suaminya yang juga meregang nyawa sebagai korban begal. Dulu.

Kenangan buruk itu memasungnya sekali lagi. Sebaliknya, biawak semakin leluasa memangsa ikan-ikan nila, tanpa peduli, tanpa belas kasihan.

***

Kota Kayu, 6 Agustus 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun