Dia sama sekali tidak takut tentang kegelapan, karena dia merasa di hatinya ada sedikit nyala terang.Â
Itu adalah cahaya keberanian. Di rumahnya yang lama dia seperti terusir oleh ibunya sendiri. Perempuan itu selalu memarahinya, seolah tidak menghendaki dirinya.
Anak perempuan itu belum cukup mampu memahami. Dia hanya merasa ibunya tidak menyayanginya, mungkin karena dia perempuan dan adiknya laki-laki.Â
Dan laki-laki yang dia panggil bapak, juga tidak tampak membutuhkannya. Mereka jarang berbincang, atau sekedar bertanya apakah dia sudah makan hari ini. Dia tidak pernah mendengarnya, atau menerima kecupan seperti anak-anak lainnya.
Kakinya mulai lelah, saat air matanya susut dan mengering di atas kulit wajahnya yang dipenuhi debu bercampur keringat. Tak seorang pun memberinya sisa makanan atau air untuk membasahi kerongkongannya.Â
Ada sedikit harapan di hatinya, sebuah tempat yang gelap memiliki kehidupan yang lebih baik. Dia ingin tidur, dan juga makan walau hanya sepotong roti kering.
Tidak ada orang, dan juga pasar seperti yang ditemuinya siang tadi. Tidak ada kendaraan satu pun yang mungkin menyorotkan lampunya untuk melihat tempat seperti apakah ini?
Dari sedikit sinar di hatinya, dia bisa tahu ini adalah hutan dengan pohon-pohon menjulang, rimbun dan gelap. Apakah dia benar-benar berada di hutan dengan beberapa binatang buas seperti yang pernah didengarnya?
Tuhan pasti melindunginya, bisik anak perempuan itu. Tidak mungkin ada serigala hutan, dan Tuhan pasti tidak akan membiarkan tubuh kurusnya menjadi santapan.
Dia benar-benar lelah, dan perutnya begitu perih. Seperti ada yang robek di sana. Bukan. Dia yakin dia hanya kelaparan dan butuh sedikit makanan. Dia pun lunglai, tak sadarkan diri.
Sesosok peri kecil melihatnya dari balik celah daun. Dia terbang menghampiri dan mencari tahu siapa gadis kecil ini.Â